4. Missing U

10.5K 1.2K 139
                                    

110 missed calls
2371 new messages

Kepulan asap rokok keluar dari bibirnya, tak lagi mendelik bahkan saat panggilan masuk baru kembali memenuhi notifikasi ponsel. Si empu sedang sibuk menata hati, berharap agar perasaannya berubah seratus delapan puluh derajat dalam satu malam. Angin malam sepoi-sepoi menabrak lembut kulit tak terlindung fabric, menyengatkan rasa dingin. Rokok yang terselip di antara jarinya masih tersisa setengah, dibiarkan saja tanpa dihirup. Kakinya kemudian bersedekap di depan dada, salah satu tangannya yang bebas ia taruh di atas dengkul, siap menjadi bantalan bagi kepalanya yang mulai berat. Matanya terpejam, mencoba mencari tenang ditemani sebatang rokok di tangan dan membiarkan semesta mengoloknya yang meringkuk kaku di bangku ayun balkon kamar dengan taburan kerlip bintang pada langit malam.

Ponselnya kembali bergetar, satu panggilan dari kontak yang sama masih setia mengganggunya. Tak terhitung jumlahnya dan ia mulai lelah saat lagi-lagi sebulir air mata menyeruak keluar meminta kebebasan. Demi Tuhan, ia benci dirinya yang lemah, ia benci harus merasa sesakit ini, sepatah ini, seremuk ini, ia bahkan benci dirinya yang harus merasakan segala bentuk kesakitan. Tak berbanding lurus dengan angannya yang mendamba bahagia pada satu cinta.

'Drrrttttt.....drrrrtttt....drrrttttt....'

Persetan, pikirnya. Tangan bergetarnya meraih ponsel, menggeser ikon telepon berwarna hijau kemudian menyambungkannya pada telinga.

"OH MY GOD, FINALLY!" suara panik bercampur lega langsung terdengar sesaat setelah menjawab panggilan.

Ia masih geming, dadanya bergemuruh rusuh. Tak ada sapaan lembut seperti biasanya dan ia mahfum. Pegangan pada ponselnya mengerat, barisan gigi putih mengapit paksa bibir kemerahannya, mencoba menahan isak. Ia baru menyadari ternyata rindu sesakit ini.

"Are you okay? Kenapa nggak jawab semua chat-ku?" sergah suara di seberang tak sabaran.

"...masih nanya?" akhirnya ia bersua, meski harus sekuat tenaga berlagak baik-baik saja.

"Frank-," ucapnya terpotong.

"Nggak usah hubungin aku lagi. Apa kurang jelas?" geming, keduanya terdiam dan saat ia mendengar helaan napas di seberang, Frank langsung angkat bicara, "Nanon sayang banget sama kamu dan kamu juga, 'kan? Kita udah selesai, udah lama. Maaf kalo selama ini aku selalu ganggu kamu, ngerepotin kamu. Maaf banget."

"Frankie..."

"Makasih buat semuanya." Frank terdiam sesaat, "tolong jaga Nanon," ia mulai terisak dengan tangis yang tak lagi bisa terbendung, "jangan sakitin dia. Aku nggak akan ganggu kamu lagi, jadi kamu juga-," ucapannya kini terpotong.

"Aku ke rumah sekarang, jangan menghindar. Kita perlu bicara." Hanya suara sambungan terputus yang memenuhi pendengarannya kemudian.

Tangannya terjatuh lemas di sisi tubuh, punggungnya kini menyerah ikut bersandar pada bangku ayun membawa tubuhnya terkulai di sana, meringkuk dengan pecahan tangis yang sudah lelah ia bendung. Biarkan ia sendiri, meluapkan segala rasa sesak yang berkemul di dadanya. Selama hampir satu jam lamanya ia bertahan dengan posisi seperti itu, hingga kelopak matanya menyerah dan terlelap.

***


Deru suara mesin mobil sayup-sayup terdengar di depan rumah, Purim yang masih terjaga lantas melongok bingung pada jam di dinding kamarnya. Sudah lewat tengah malam siapa yang bertamu, pikirnya. Ia kemudian beranjak menuju jendela kamarnya, menyibak gordyn dan mendapati Pajero hitam terparkir tepat di halaman rumahnya.

"Ini Pak Eko ngebolehin masuk ya?" gumam Purim terheran karena satpam rumahnya membiarkan orang bertamu di lewat tengah malam begini. Sigap, ia kemudian langsung beranjak keluar dari kamar. Bersamaan dengan suara langkah kaki yang menuruni tangga dari lantai tiga di tengah ruangan.

VIHOKRATANA [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang