Chapter 1 : Embark

2.5K 260 15
                                    

Dorothea ingin memakai earphone. Akan tetapi, sepertinya sosok disamping yang terus berceloteh padanya akan merasa tersinggung jika dihiraukan.

Ya, sosok. Karena hantu bukan manusia.

Mungkin ini salah Dorothea juga. Gadis itu tanpa sengaja menatap si hantu dan berjengit ketika melihat luka menganga dan separuh otak pria itu. Dan tentu saja, hantu itu sadar bahwa Dorothea bisa melihatnya. Sedetik kemudian dia sudah melayang di dekat Dorothea dan berbicara dengan kecepatan penuh. Dorothea tidak heran. Saat kau jadi hantu, tidak banyak yang bisa mendengarmu.

Itu sebabnya Dorothea kadang tidak mengacuhkan sosok-sosok itu. Sekali sadar bahwa Dorothea bisa melihat mereka, mulut mereka pasti tidak bisa diam. Walaupun dia juga sering membantu mereka 'menyebrang' dengan cara mengatasi urusan yang belum selesai. Tetapi kadang Dorothea tidak bisa. Dia hanya anak 15 tahun. Tidak banyak yang bisa dia lakukan.

Dorothea tetap diam dan berlagak mendengarkan celotehan si pria. Hal-hal yang biasa dikatakan hantu. Bagaimana dia mati dan hal lain semacam itu. Mata emas Dorothea malah menyisir kerumunan. Dia membenarkan rambut merahnya yang tergelung rapi. Memastikan tusuk rambutnya tidak jatuh.

Beberapa menit berlalu. Si hantu masih mengoceh. Ini akan jadi pengalaman kereta yang paling canggung dan membosankan untuk si gadis.

Ketika speaker mengumumkan tempat pemberhentiannya, Dorothea membuang napas lega. Dia segera keluar dari kereta. Terdorong oleh kerumunan pekerja dan murid yang terburu-buru. Si hantu berusaha memanggilnya, namun Dorothea mempercepat langkah. Lagipula, tidak baik terlambat di hari pertama sekolah. Ditambah lagi, sekolah barunya punya peraturan ketat.

Tidak heran, U.A. mungkin salah satu sekolah paling bergengsi di Jepang.

Sekolah Pahlawan, sebagian pikiran Dorothea yang memberontak memberi komentar. Kau masuk ke Sekolah Pahlawan. Ibumu memasukkanmu kesini dengan susah payah dan kau bahkan tidak-

"Diam," bisik Dorothea kepada dirinya sendiri. "Memang apa yang salah dengan Prodi Umum?"

Dorothea tahu beberapa orang-dan, yah, yang tadinya orang-pasti memandangnya dengan aneh. Dia merutuk. Hari pertama dan dia sudah mengacaukan kesempatannya menjadi 'normal'. Namun, sepertinya kata itu tidak bisa diaplikasikan di dunia baru ini.

Derap langkah Dorothea semakin cepat. Dia hanya tidak ingin terlambat. Bukan lari dari pandangan orang-orang ini.

Itu yang dia katakan pada diri sendiri.

Dia hanya tidak ingin terlambat.

***

Kelas 1-C sejauh ini...

Hampir sama dengan kelas lamanya di London. Beberapa murid sibuk berbincang dan berkenalan dengan satu sama lain dan berbincang. Yang lain juga berbicara dengan volume yang tidak bisa dibilang pelan. Dorthea menyadari tidak ada hantu di kelas itu. Dan dia menghela napas lega.

Satu siswa berkata sebentar lagi guru akan datang. Semua langsung bergerak heboh menempati tempat duduk.

Kelas hening sejenak. Sampai pintu terbuka dan—

"Can I get a YEEEEEAAAH??!??!"

Huh?

Seorang pria masuk dan berdiri di depan kelas. Dengan jaket kulit, kacamata berwarna jingga, dan speaker di kerahnya. Gaya rambut pria itu... unik, agak mengingatkan Dorothea akan burung kakatua.

Sementara dia melongo, murid-murid yang lain saling berbisik.

"Present Mic akan jadi guru kita?"

Present Mic? Apa dia Pahlawan dari Jepang?

"Hahaha! Sepertinya kalian sudah mengenalku! Yeah! Aku Present Mic! Pro Hero! Dan aku akan menjadi wali kelas kalian!"

Dorothea berjengit. Menahan diri untuk tidak menutup telinga. Suara Present Mic keras. Mungkin itu bagian dari quirknya. Dorothea belum tahu banyak soal Pahlawan dari Jepang.

"Baiklah, untuk hari pertama, kita akan melakukan perkenalan! Aku akan memanggil kalian satu persatu. Sebutkan nama dan quirk kalian!" ucap Present Mic dengan nada riang. Dorothea tersenyum kecil.

Normal. Seperti yang dia duga dari Prodi Umum.

Satu demi satu murid mulai maju. Memperkenalkan diri dan menjelaskan sedikit tentang quirk mereka. Sampai akhirnya giliran Dorothea.

"Dorothea Tuning!"

Gadis itu menelan ludah. Kemudian melangkah ke depan kelas. Dia tidak ragu dengan kemampuannya berbahasa jepang. Ayahnya asli Jepang. Dia sudah berlatih dari kecil. Namun, tetap saja. Dengan banyak mata menuju ke arahnya, Dorothea merasa agak gugup.

"Namaku Dorothea Tuning," katanya. "Uh, quirk-ku disebut Thread, aku bisa membuat benang dari ujung jariku dan mengendalikannya. Aku juga bisa mengontrol ketebalan dan kekuatan benang itu."

Beberapa murid tampak berbisik-bisik. Dorothea menelan ludah lagi dan memasang muka datar. Present Mic mengangguk-angguk.

"Dan, Dorothea? Kau baru pindah kesini, ya?" tanya si guru. Dorothea mengangguk.

"Ya, aku baru pindah dari London. Jadi, maaf kalau aku masih belum terbiasa. Uh, mohon bantuannya."

Beberapa murid memberikannya senyuman. Dorothea membalas dengan senyuman kecil dan segera kembali ke mejanya. Present Mic memanggil murid berikutnya. Sementara itu, Dorothea mulai melamun. Dia duduk di samping jendela. Jadi dia bisa memandangi awan yang berarak.

"Shinsou Hitoshi!"

Suara kursi digeser dari belakangnya membuat lamunan Dorothea terbuyar. Seorang laki-laki berambut ungu maju ke depan kelas. Ada kantung mata tebal di wajahnya. Seakan dia sudah tidak tidur selama beberapa hari. Langkahnya agak diseret. Seperti dia sama sekaIi tidak ingin maju.

"Namaku Shinsou Hitoshi."

Hening.

Dia tidak mengatakan apapun lagi.

Kecanggungan menyelimuti kelas itu. Sepertinya Shinsou ini tidak mau membicarakan quirknya. Dorothea paham. Quirk bisa menjadi topik sensitif. Beberapa orang tidak nyaman dengan quirknya sendiri. Diskriminasi quirk juga masih marak di masyarakat. Terutama bagi mereka yang memiliki 'quirk penjahat' atau 'quirk lemah'.

Bagi Dorothea, itu semua omong kosong.

"Baiklah Shinsou, kau boleh duduk," kata Present Mic.

Shinsou berjalan dengan malas dan kembali ke meja. Tepat di belakang Dorothea. Si gadis berusaha mencuri pandang dari balik bahunya. Namun, mata Shinsou terfokus pada jendela.

Siswa lain maju. Mulai memperkenalkan diri. Begitu terus sampai semua murid mendapat giliran. Dorothea memangku wajah di tangan.

Kelas 1-C sejauh ini tidak buruk.

***

Setelah pengenalan selesai, Present Mic menggiring murid-murid untuk pergi ke tempat orientasi. Sebelum itu, Dorothea meminta ijin ke kamar mandi. Present Mic mengijinkan dan memberi tahu letak toilet perempuan. Dorothea mengucapkan terima kasih dan segera pergi.

Dia berusaha tidak terlalu lama. Tidak mau melewatkan orientasi. Siapa tahu ada hal penting yang akan diumumkan. Akan tetapi, Dorothea baru mencuci tangan ketika suara itu terdengar.

"Sesuatu yang buruk akan terjadi, aku tahu—"

Itu suara laki-laki.

Dorothea berbalik. Ekspresi marah siap terpasang. Berani-beraninya ada pria yang masuk ke kamar mandi wanita. Apa dia tidak punya mata!? Papan di depan sudah jelas!

"Hei! Ini toilet perem—!"

Mata emas menatap wajah putih.

Wajah yang terlalu putih hampir tembus pandang.

Dan tubuh di depannya melayang.

"Kau bisa melihatku?"

Sial.

***

Normal (A BNHA Fanfiction)Where stories live. Discover now