1/1

638 104 227
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



     Aku pernah
     bercita-cita ingin
     menjadi Afgan. 

                                       ❞



Serius.
Usiaku waktu itu tujuh belas.

Dan sepanjang tahun itu, aku dibuat banyak mendekatkan diri pada Tuhan, berdoa yang panjang-panjang selepas sembahyang sambil mengiba semengiba-mengibanya. Doaku juga konsisten, itu-itu saja lima kali sehari. 

Pertama, tentu, tentang kebahagian orang-orang yang kucinta. Kedua, aku berdoa semoga diberi kelancaran saat ujian masuk perguruan tinggi nanti—sumpah, pasal yang ini, pusingnya enggak kira-kira.


Dan doa pamungkasnya, dan bisa-bisanya, aku berdoa semoga bisa jadi mirip Afgan.


Minimal mirip siluet bayangannya juga aku bersyukur, berhubung kriteria utamanya pun—punya lesung pipi kanan kiri sedalam satu senti—aku enggak memenuhi. Bukannya mau body shaming diri sendiri, tapi agak sedih juga waktu sadar kalau lesung pipi aku cuma di kiri, itu juga enggak sampai satu senti.

Salah aku juga sebetulnya yang telat puber, atau lebih tepatnya bisa-bisanya terjangkit sindrom Fiersa Besari waktu itu. Rasa yang tepat di waktu yang salah—waktunya salah banget, bisa-bisanya urusan hati ikut buat pusing kepala yang harusnya dipakai buat belajar penyetaraan reaksi redoks.


Yah, mau bagaimana? Baru ketemu si cintanya juga di bimbel SBMPTN.


Berkat itu pula aku berterima kasih sebesar-besarnya ke ibun, atas inisiatifnya untuk menjebloskan aku yang belajarnya payah ini ke bimbel SBMPTN paling oke se-Parung Panjang pada zamannya. Berkat ibun, aku jadi banyak belajar strategi menembak.

Pertama, strategi menembak jawaban pilihan ganda soal-soal ujian—percaya enggak kalau sebenarnya ini ada triknya? Kalau enggak percaya, daftar aja di bimbel aku. Pokoknya cari aja di sepanjang Parung Panjang, nanti ketemu. Soalnya enggak banyak bimbel di sana.

Kedua, strategi menembak anak gadis orang.



***



Sebut saja namanya Afgania.

Sekolahnya di Bogor kota—pokoknya, jauh lah dari Parung Panjang. Susah buat enggak sengaja ketemu di angkotnya. Pertama ketemu di masjid dekat bimbel, sama-sama baru selesai sembahyang asar, akhir september, agak gerimis. Pokoknya, syahdu kayak serial telenovela kesukaan ibun.

aku pernah bercita-cita ingin jadi afgan ✓Where stories live. Discover now