A - Kepulangan

659 153 150
                                    

A - K E P U L A N G A N

***

Menjadi topik utama pembicaraan, kadang nggak enak. Mau itu dibicarain yang baik-baik, atau pun buruk-buruknya. Kalau dibilang, "emang di dunia itu nggak ada yang benar" menurutku sih salah besar. Ini hanya masalah pandai-pandai manusianya saja untuk bijak dalam mengartikan sebuah situasi.

Tapi toh, nggak semua manusia Allah ciptakan memiliki sifat bijak. Banyak dari kita sering merasa terpuruk, jika tersudutkan oleh pandangan masyarakat. Atau, banyak yang malah terbang nggak ingat tanah karena terlalu banyak mendengar pujian.

Nggak mau mengindahkan pandangan masyarakat? Sayangnya kita hidup di tengah masyarakat. Coba kalau tinggalnya di Mars sendirian. Nggak mungkinlah dapat sindiran maupun pujian.

"Kemarin aku nggak sempet liat wajahnya. Padahal beliau katanya tampan be-ge-te loh."

Gerombolan santri putri melintas, kalau dilihat dari pita yang tersemat di kerudungnya, mereka masih kelas sepuluh. Aku yang masih asik mengunyah pempek bermandikan cuko, pura-pura nggak mendengar pembicaraan mereka. Malas juga menguping sesuatu yang lagi tranding dibicarakan seantero pondok pesantren. Sementara objek pembicaraan mereka, seolah lempeng saja mendengar kehebohan ini.

Gus Nuril—atau yang akrab kupanggil Gus Nunu itu sudah kembali dari kuliahnya di Turki. Buat santri yang hanya pernah mendengar namanya, mungkin kepulangan beliau adalah sesuatu yang luar biasa. Tapi, buatku yang hampir enam tahun menimba ilmu di Darul Akhyar, hal itu malah terkesan biasa saja.

Bukan karena sudah nggak terkagum-kagum pada wajah beliau, prestasi, dan sifat-sifarnya yang uwow uwow itu. Ekhm, kuakui nih Gus Nunu memang tampan, tipe suami idaman. Tapi nggak tahu kenapa, wajahnya yang irit senyum itu membuatku sama sekali nggak tertarik.

Sejujurnya aku nggak maksa Geng Micin buat ikutan tagar #antifansgusnuril. Nggak ada hal yang kubenci, dan memang bukan sifatku membenci seseorang. Gus Nunu baik, dia juga kadang suka sekali bertukar pikiran dengan santri-santri. Hanya saja, kesempurnaannya suatu saat mungkin bisa menjatuhkannya. Sama halnya denganku, yang jika saja nggak ada Nadiya. Mungkin aku terus meroket, gila akan pujian, dan menjadi makhluk sombong.

Jadi kubuat saja hashtag itu, sebagai sinyal. Jika di antara semua orang yang menyukai beliau, ada anak-anak seperti kami yang nggak terlalu terpengaruh pada kharismanya. Baik dong aku karena masih peduli, dan mengingatkan Gus Nunu akan kodratnya sebagai hamba Allah biasa.

Aku meneguk habis air mineral di meja kantin. Lantas beranjak menuju perpustakaan. Siapa pun yang melihatnya mungkin terdengar modus, namun aku ke sana bukan bertujuan cuci mata. Serius nih, aku cuma mau baca buku baru yang Gus Nunu biasa bawa dan sumbangkan di perpustakaan. Kalau kebetulan ketemu Ustaz Fahri, yaaa ... berarti itu takdir.

"Oh, Me." Baru juga menginjakkan kaki di ambang pintu, tapi namaku sudah disebut oleh seseorang. Suara yang familier ini, seolah melengkapi keterkejutanku saat menemukan dua ikhwan yang berdiri di depan meja penjaga perpus.

"Assalamu'alaikum, Gus." Gus Nunu ada di perpustakaan. Ia benar-benar membawa setumpuk buku di tangan.

"Waalaikumussalam," jawabnya dengan nada tenang. "Sini, Me. Saya punya sesuatu," kata Gus Nunu yang memerkan sejumlah buku.

Kaki ini berjalan ke arahnya, dengan pandangan tertunduk atau memalingkan ke mana saja. Meski Darul Akhyar nggak seperti kebanyakan pondok pesantren yang membatasi interaksi antara santri putri dan putra, namun tetap saja kami diajarkan adab-adab untuk mengatur jarak antara satu sama lain.

"Salamnya cuma buat Gus Nuril saja, Me? Sama saya nggak pake salam ya?" Aku bukan baru sadar keberadaan satu orang lagi di depan meja penjaga perpustakaan. Cuma kalau berhadapan dengan Ustaz Fahri secara langsung, keringat di tangan jadi muncul, dan mulai deh otak mikir gimana caranya biar nggak salting. Jaga image di depan beliau rasanya susah banget.

ASA [TERBIT] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang