1. Pesona Es Berjalan.

32 2 0
                                    


Jam menunjukan pukul 06.45 saat Era tiba di depan gerbang sekolah. Ini adalah hari pertama sekolah di kelas XII IPA 3 dan di hari ini pula Era harus di uji. Sepeda yang biasa gadis itu gunakan untuk berangkat sekolah, tadi saat akan dikeluarkan ke teras bannya kempes total. Sudah dipompa berkali-kali tetap tidak berkembang. Dengan sangat terpaksa, dia harus naik bus ke sekolah.

Gadis berambut sebahu itu berjalan dengan mantap di koridor menuju kelas. Dia sesekali menyapa dan membalas sapaan teman-temannya. Walau langit pagi ini mendung, tidak akan berpengaruh untuk suasana hati Era. Baginya suasana mendung memberi kesegaran tersendiri, yah walau sebagian orang akan sedih ketika mendung, menurut Era, orang yang sedih ketika mendung pasti sudah merasakan pahitnya cinta dan masalah di dunia ini, kalau tidak ya... Mereka tidak bisa lepas dan pergi dari masa lalunya.

“Kelas baruku, aku masuk ya... Aku bahagia akan menjadi bagian dari kamu.” katanya sambil membaca papan kecil yang tergantung di depan pintu kelas. Gadis itu lalu menarik napas perlahan, lalu dia hembuskan perlahan dan senyum dikulum manis muncul.

Dia mulai melangkah,tapi seseorang menyenggol bahunya, sehingga tubuh Era menabrak tembok. Orang yang menabrak hanya menengok sekilas, lalau berjalan angkuh dengan tampang sok kerennya.

Era terus memperhatikan laki-laki itu hingga duduk di bangku dekat Gading, “Itukan laki-laki di hari sabtu.” ucapnya spontan, dia tidak menyangka akan sekelas dengan orang yang tidak dia harapkan. Tetapi, dia tetap berfikir positif bahwa Tuhan telah merencanakan yang terbaik.

Era masuk ke dalam kelas, lalu duduk di bangku sebelah Kila yang sudah disiapakan oleh gadis itu. Sebelum duduk dia melirik ke arah laki-laki di hari sabtu yang duduk persisi di depannya bersama Gading. Pandangan mereka bertemu, laki-laki hari sabtu dengan mata sipit nan dingin dan Era pemilik mata bulat nan hangat.

“Kila, dia siapa? tumben Gading mau duduk sama orang baru.” tanya Era pada Kila dengan berbisik.

“Kita sempat kenalan di hari pengumuman pembagian kelas, jadi Gading mau duduk sama dia.” jawab Kila.

Era menaangguk paham, dia hendak bertanya lagi tentang laki-laki hari sabtu, namun si orang yang sedang dia ingin tahu berbalik menghadap Era. “Kalau mau tanya, langsung aja sama orangnya. Lagian aku persisi di depan kamu.” kata dia dengan ekspresi dingin, tapi keren.

Era memandang mata lawan bicaranya, “Kenalan dulu, aku Fermata Sundari, kamu?”

Akbar membalas uluran tangan Era, “Akbar Pandu Wardani, panggil aja Jaka.” 

Lalu jabatan tangan mereka lepas, Era akan mulai bertanya. Tapi, bu Hera masuk ke dalam kelas. Kelihatannya guru muda itu akan menjadi wali kelas dari kelas XII IPA 3.

“Selamat pagi anak-anak!” sapa bu Hera ramah.

“Pagi bu.”

“Kalian pasti sudah kenal dengan ibu, kali ini saya akan menjadi wali kelas kalian. Oleh karena itu, kita langsung saja  adakan pemilihan pengurus kelas.” setelah itu bu Hera mulai mengambil spidol di meja dan membukanya lalu mulai menulis keanggotaan pengurus kelas di papan  tulis putih.

Saat beliau berbalik, matanya menangkap sosok Jaka, “Kamu murid baru yang dari Sumatra itu ya? Nama kamu Akbar kan?”

Akbar mengangguk, lalu menampilkan senyum manisnya, “Iya bu.” dia tampak 180° berbeda saat tersenyum ketimbang diam dengan raut dingin dan sok kerennya.

“Kalau begitu, semoga kamu senang di sini, selamat datang di SMA Greesan.” bu Hera tersenyum pada Akbar yang masih menampilan senyum mautnya.

“Terima kasih bu,” laki-laki itu tersenyum lebih manis lagi. Hal tersebut membuat hampir semua mata kaum hawa di kelas XII IPA 3 berpusat pada Akbar, kecuali Era.

Gadis itu tidak bisa melihat senyum yang mengalihkan pandangan teman sekelasnya. Lalu, dia menengok ke Kila. Gadis itu tidak berkedip sedikit pun melihat senyum Akbar.

Era menepuk bahu Kila, "La, kamu kenapa si?”

Kila tidak kaget, dia masih menikmati senyum Akbar yang belum pudar. “Menikmati senyum cogan Ra, kamu gak mau coba?”

Era berdecak, “Lebih manis senyum Oppa kali dari pada dia,” ucapnya asal.

Kila tidak peduli, “Terserah kamu aja deh.”

“Hem.”

Lalu konsentrasi semua siswa kembali ke bu Hera, setelah beliau berkata “Attention, please.”

“Mari kita buat kesepakatan. Kalau ketua kelas sudah terpilih, maka dia berhak memilih anggota lainnya sendiri. Setuju?”

“Setuju!”

Bu hera tersenyum lega, lalu kembali berucap. “Oke, sebutkan nama calon ketua kelasnya!”

“Akbar Bu!” seru para murid perempuan serentak. Lalu bu Hera menulis nama Akbar sebagai kandidat pertama.

“Kandidat berikutnya?”

“Dicky.”

“Reza.”

“Kevin.”

Bu Hera berhenti menulis nama para kandidat, “Sekarang sudah ada 4 kandidat. Langsung saja, harap acungkan jari bila setuju dia menjadi ketua kelas.”

“Suara untuk Akbar?” mulai bu Hera, satu tangannya dia gerakan ke depan seperti meminta murid untuk menjawab pertanyaannya.

Setelah itu, bu Hera terdiam, pasalnya semua siswi mengacungkan tangan. Ditambah Gading dan Akbar. Era aslinya tidak mau memilih Akbar, tapi Kila memaksanya.

“Wow, padahal Akbar murid baru.” bu Hera takjub, "Kalau seperti ini sudah jelas Akbar yang menjadi ketua kelas. Soalnya, Jumlah siswi di kelas ini lebih banyak dari siswanya.” jelasnya.

Kemudian bu Hera menuliskan nama Akbar di papan pengurus kelas.

Guru muda itu tersenyum sebelum mengajukan sebuah pertanyaan, “Kalau boleh tau, apa alasan kalian memilih Akbar sebagai ketua kelas?”

Salah seorang siswi mengacungkan jari, “Itu karena Akbar tampak berwibawa bu, setiap kali kami melihat wajahnya itu kesan pertama yang terlukis. Betul tidak teman-teman?”

“Betul!” semua siswi menjawab kompak kecuali Era.

Bu Hera tertawa menyaksikan reaksi para siswinya, kemudian dia berdiri di hadapan Akbar.

“Siapa yang ingin kamu tunjuk sebagai sekertaris?” tanya bu Hera pada laki-laki itu.

Seketika suara bisik - bisik dari para siswi tetdengar, mereka berharap bahwa diri mereka yang dipilih Akbar menjadi sekertaris.

“Duh, semoga dia pilih aku.”

“Jangan kamu, aku aja yang dipilih. Inget doi mu!”

“Dari pada kalian ribut, biar adil mending aku aja!”

Dasar para pencari kesempatan dalam kesempitan. Akbar saja tidak kenal mereka, bagaimana laki-laki itu akan memilih para gadis yang saling berbisik tadi. Sebegitu besarkah pesona dari Akbar?

Di sisi lain, Akbar menunduk sambil berfikir, kemudian dia tersenyum miring sekilas, lalu dia membalikan tubuhnya ke belakang. Menatap mata bulat perempuan yang penuh tanya,  “Era bu, saya menunjuk Fermata Sundari menjadi sekertaris saya.” jarinya menunjuk wajah Era yang kaget. Sementara Akbar tersenyum penuh kemenangan.

Bersambung↪

ExchangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang