Part 3✨

35.8K 1.5K 6
                                    

Tiga puluh menit mereka habiskan makan di restoran dan selama itu pula Wirna menahan rasa ketidak nyamannya. Wirna beberapa kali harus menelan paksa makanan di depannya agar cepat habis dan segera keluar dari sana. Namun, sekeras apapun Wirna berusaha, usahanya tidak membuahkan hasil karena ada Niana yang kadang harus disuapi dan anak gadis Ibrah sangat lambat mengunyah makanannya.

"Darimana aja, Wir?" Tanya sebuah suara yang menggoda untuk di pukul. Wirna memutar matanya malas. Fita, gadis yang baru saja bertanya padanya dengan kerlingan nakalnya. Mereka berpapasan di pintu masuk kantor. Wirna yakin mereka baru saja selesai makan siang, terlihat beberapa teman satu divisinya berbondong-bondong masuk.

Beruntung saja Ibrah terlebih dahulu masuk bersama anak-anaknya, jadi tidak perlu mendengar nada jenaka Fita.

"Gimana rasanya jadi pelakor, Wir?" Jika saja orang lain yang mengatakan hal sensitif itu padanya, mungkin Wirna akan tersinggung dan marah pada orang itu. Tetapi ini, sahabatnya yang berkata seperti itu. Wirna mendengus kesal, ia mengamati sekitar, takut ada yang mendengar lalu melirik Fita dengan tajam.

"Jangan mulai, deh, Ta," kata Wirna jengah melihat tingkah Fita yang selalu saja menggoda dirinya.

"Pasti deg-degan parah kan, Wir. Pasti suami orang menggoda untuk di jamah kan, Wir? Sensasinya seperti naik roller coaster gitu," cerocos Fita membuat Wirna menganga tidak percaya. Darimana sahabatnya bisa berkata seperti itu? Apakah sahabatnya sekarang lagi mencoba jadi pelakor?

"Apa sih, Ta. Kok, kayaknya kamu lebih tahu. Kamu mau jadi pelakor, ya?" Ujar Wirna membalikkan kalimat Fita padanya. Wirna lelah meladeni sikap bar-bar Fita. Semakin di diamkan, sikap Fita padanya semakin melunjak, dan karena itu Wirna di buat pusing olehnya.

"Kalau ditanya, ya iya, keinginan itu ada. Tapi orang yang mau aku pelakor-in itu agak susah di dapat, Wir. Ada, sih tapi nggak sesuai kriteria. Sensasi jadi pelakor itu beda, lho, Wir," kata Fita sok sedih, matanya di buat se-menyedihkan mungkin.

"Astaga, Fita. Sadar, kamu nggak merasa kasihan sama istri dan anak yang kamu pelakor-in nanti, hah. Gimana kalau kamu nantinya di gituin sama suamimu, sadar, Fit," tegur Wirna berusaha menyadarkan Fita dari kewarasannya.

"Makanya pilih-pilih juga kalau melakor, jangan asal ada. Juga mainnya diam-diam gitu," Fita masih saja bicara melantur dan lama kelamaan Wirna lelah sendiri menasehati.

"Terserah, Ta. Terserah," ucap Wirna berlalu masuk ke dalam ruang divisi khusus marketing dan duduk di dalam bilik kerja miliknya. Karena terlalu meladeni sikap bar-bar Fita, Wirna tidak menyadari jika ternyata mereka sudah berada di dalam ruang kerjanya.

"Serius, lho, Wir. Rasanya kayak ngemil permen nano-nano," setelah mengucapkan kalimatnya, Fita tertawa sendiri. Menertawakan dirinya sendiri yang mengibaratkan dengan permen. Tujuan Fita mengatakan itu hanya ingin menggoda Wirna saja, Fita juga tidak mungkin dan tidak akan melakukan hal nista itu. Fita percaya akan karma.

"Serah, Ta, terserah kamu aja. Ngomong sesuka aja, aku mau kerja," Wirna mengalah, ia kemudian menyalakan komputer dan memulai pekerjaannya.

***

"Udah mau pulang, Ta?" Tanya Wirna begitu melihat Fita membereskan kertas dan barang lainnya yang berserakan di atas mejanya.

Fita mengangguk sekilas. "Iya. Kerjaan aku udah selesai."

"Gitu, ya. Bantuin aku, dong, Ta. Kerjaan aku masih belum kelar. Banyak laporan untuk bulan ini belum aku ketik, nih," ujar Wirna memohon.

Boss & His Children [END]Where stories live. Discover now