30

102 3 0
                                    

Berulang kali Leo mengecek sinyal di ponselnya, yang sama sekali tidak berubah. Berada di desa ternyata sangat menyulitkan seseorang untuk berhubungan lewat telepon. Selama dua hari Leo hidup tanpa menelepon atau menerima panggilan dari rekan kerjanya, termasuk Sultan dan Ratih. Leo yakin sekali jika kedua orang itu kewalahan mencarinya, karena dia pun juga tidak memberitahu Marlina atas kepergiannya. Hanna tidak ingin melihat wanita yang sudah dianggap ibunya sendiri menangis.

"Paman, sepertinya siang nanti saya akan balik ke kota." Leo berkata pada Hasan saat lelaki paruh baya itu baru datang dari arah dapur.

"Loh, Nak. Kenapa buru-buru? Padahal sore ini Paman ada niat ingin potong kambing." Beritahu Hasan, berharap sekali Leo mengundur kepulangannya.

"Ada banyak pekerjaan yang harus saya tangani, Paman. Jadi tidak bisa lama."

Hasan tampak kecewa, tetapi dia juga tidak ingin memaksa. Wajahnya yang mulai mengeriput semakin tertekuk. Tidak lama dari arah yang sama Hanna datang menyusul pamannya, wanita itu duduk tepat di hadapan Leo. Hanna tidak lagi penasaran apa yang telah terjadi, karena Leo sudah memberitahunya terlebih dulu.

"Nak, nanti siang Leo balik ke kota. Apa kamu bisa memasak lebih cepat?" Di tengah lamunannya Hanna tampak kaget, dan kebingungan.

"Maaf, Paman, jangan repot-repot. Saya hendak menemui Pak Kades sebentar lagi, setelah dari rumahnya mungkin langsung pulang." Leo menyela sopan.

Untuk kedua kalinya Hasan kecewa. Dia sangat berharap pemuda itu tinggal lebih lama, sehingga bisa menjamunya dengan sangat istimewa. Kepribadian Leo yang terbuka juga ramah membuat Hasan kagum, apalagi setelah Hanna bercerita seluruhnya, Hasan semakin menghargai lebih daripada menantu.

"Nanti saya akan sering berkunjung kok, Paman. In sya Allah." Leo berkata.

Menghela napas Hasan mengangguk, dia mulai memahami kondisinya Leo. "Baiklah, Hanna. Bisa kamu antar Leo ke rumah Pak Kades?"

Dengan patuh Hanna mengangguk. Wanita berpipi merah itu pun bangkit, diikuti oleh Leo. Hasan mengantar keduanya sampai depan rumah, dan mendoakan yang terbaik untuk mereka berdua. Karena sesungguhnya Hasan mengetahui apa yang Leo dan Hanna sembunyikan, mengenai perasaan.

Setelah berpamitan dengan pak Kades, Hanna mengajak Leo berkeliling desa. Menikmati suasana pedesaan yang tidak orang kota temui, sambil menunggu waktu siang tiba. Hanna berjalan di depan pada sepetak lahan, sesekali dia memastikan Leo di belakangnya yang melangkah dengan hati-hati. Keduanya saling bertukar senyum, dan merasa sangat bahagia.

"Kamu jalannya hati-hati, Hanna. Ingat! Ada janin di perut kamu." Leo menegur Hanna, sedang wanita itu hanya mengacungkan jempol.

"Hmm, Leo, kita duduk di bawah jembatan ya." Ajak Hanna, suaranya melengking di tengah arus sungai mengalir.

Saat keduanya sudah turun ke bawah, Hanna langsung memilih batu yang besar untuk tempat duduk berdua. Leo tidak membantah, lelaki itu hanya mengikuti apapun yang Hanna inginkan. Perasaannya bahagia sekali bisa melihat Hanna tersenyum lebar.

Sekarang mereka sudah duduk, tidak Leo maupun Hanna terus tersenyum. Mata keduanya memandang ke arah sungai yang mengalir deras. Melihat dan menyaksikan burung-burung kecil yang singgah, untuk meminum air.

"Hanna ..." lirih Leo, yang dipanggil menoleh. Menaikkan sebelas alisnya.

Tidak langsung mengatakan hajatnya, Leo malah membuang muka. Enggan. "Tidak jadi."

"Loh, ada apa Leo?" Hanna penasaran.

"Aku takut jika mengatakannya kamu akan marah padaku, dan tidak ingin berteman lagi." Terdengar begitu klise.

Hanna menatap Leo bingung. Semenjak kejadian di rumah sakit Leo memang sudah terlihat aneh. Tatapan dan caranya berinteraksi dengan Hanna sangat berbeda dari sebelumnya, bahkan Leo berubah menjadi posesif.

***

Air mata Sultan menetes, kepalanya benar-benar ingin pecah sekarang. Kepergian Hanna membuat hidupnya terasa semakin berat. Berulang kali Sultan mencoba menghubungi Leo, tetapi sebanyak itu pula dia kecewa. Kehadiran Hanna membawa harapan baru yang tidak Sultan dapatkan dari siapapun, bahkan termasuk Arimbi. Wanita itu memiliki cara tersendiri untuk mengambil hatinya, meskipun hingga detik ini belum menghasilkan. Sultan menyayangkan penerus yang tengah berada di dalam rahim Hanna.

"Ya Allah, aku tidak memiliki jalan selain menjemputnya ke desa." Sultan menyimpulkan sesuatu yang pasti.

Sebab, tidak ada tempat lain baginya selain pulang ke desa. Itu sudah jelas.

"Tuan, maaf." Tiba-tiba Marlina datang, menyerahkan ponsel yang berisi pesan.

Paman Hasan

Jangan temui anakku lagi, jika kamu tidak ingin aku melaporkan ke polisi.

Ancaman macam apa ini? Sultan pun bangkit seraya mengusap rambutnya yang gersang. Kalau saja Sultan tidak menandatangani kerjasama itu, maka sudah dijemputnya Hanna. Statusnya masih seorang istri, jadi Sultan berhak atas Hanna. Apalagi jika mengandung.

"Hai, Sultan." Suara nyaring itu menyambar pendengaran Sultan.

Menoleh cepat, Sultan mengeram kesal. "Mau apa kamu ke rumahku?"

"Ya, sekedar ingin tahu bagaimana keadaan calon suamiku," katanya genit.

Sontak Sultan melotot, Marlina juga melakukan yang sama. Wanita tua itu tampak terkejut dengan penuturan Ratih, yang jadi berani dan lancang.

"Bisakah kamu pergi dari rumahku?"

"Aku ingin bertemu dengan Arimbi istri kesayanganmu, Tuan."

"Dia sudah tidur." Sultan berkata jujur.

Ratih mengecurutkan bibirnya seolah kecewa, lantas menghampiri Marlina. "Bu, bisakah kamu membangunkannya?"

Saat Marlina berlari ketakutan Ratih tertawa, dan kembali mendekati Sultan. Matanya yang menggunakan softlens biru menatap Sultan manja. Ternyata menjadi istri dari Sultan tidak sesulit yang Ratih bayangkan. Pengorbanannya sebentar lagi akan terbayar dengan ikatan pernikahan.

"Ibu Marlina ketakutan melihatku." Ratih tampak sedih, tidak lama dia tersenyum. Seorang Ratih memang pandai memainkan segala ekspresi. "Apakah kamu juga memberitahunya tentang pertarungan kita malam itu?"

Kalau saja Ratih seorang lelaki, Sultan sudah melayangkan pukulannya sejak tadi. Pikirannya yang kotor membuat Sultan tidak nyaman. Itu menjijikkan.

"Sebentar, ada telepon." Merogoh saku roknya, dengan cepat Ratih menjauh saat melihat nama Leo yang tertampil.

Dari tempatnya berdiri Sultan terus mengamati Ratih yang menerima telepon. Wajahnya yang berseri membuat Sultan berpikir jika Ratih sedang bertelepon dengan orang istimewa. Setelah selesai wanita itu langsung berhadapan dengan Sultan, yang entah sejak kapan berdiri di sebelahnya, dan menatap penasaran.

"Kekasihmu ya?" Tebak Sultan.

Mengerling nakal Ratih mengedipkan matanya, cukup cepat menyesuaikan diri. "Ah, kamu pasti cemburu ya?"

"Sama sekali tidak, aku hanya bertanya." Sultan segera membantah.

"Baiklah, aku akan jujur padamu. Dia tidak lebih hanya sahabat dari mantan tunanganku, dan kami berteman baik."

Kedua mata Sultan memicing, menatap Ratih lebih dalam. Sekelabat bayangan seketika muncul di pikiran Sultan, akan tetapi dia belum mengenalinya secara pasti. Wajah Ratih yang menor dengan perawat Arimbi yang dulu bertukar. Saat Sultan tengah berpikir keras, Ratih mendekat dan mengecup pipinya kilat.

Wanita itu melambaikan tangannya, senyumnya yang khas mengingatkan Sultan pada seseorang. Namun, Sultan tidak tahu siapa? Ingatannya berhenti pada saat di pemakaman Angga. Dia seperti pernah melihat Ratih sebelum menjadi perawat Arimbi, antara yakin dan tidak.

Arimbi ✓Where stories live. Discover now