Aku terduduk di sebuah sofa yang berada di lobi dengan hampir seluruh isi tasku berada di pangkuanku. Beberapa menit mengacak tote bag hitam kesayanganku, benda yang kucari tak juga ketemu.
Tiba-tiba, aku merasakan kehadiran sosok yang menjulanh di depanku. Aku mendongak dan disitulah Doni berdiri dengan cengiran pertama yang ia berikan untukku. Iya, pertama. Setelah satu minggu kami menjadi rekan kerja baru, itu adalah senyuman cemderung tawa yanh Doni perlihatkan untukku.
Masih dengan senyumannya, Doni menyerahkan sebuah kartu bertali. "Ya ampun, ID card-ku!" seruku saat itu.
"Kemarin ketinggalan habis kita kerjain presentasi bareng," jelasnya sebelum aku bertanya lebih lanjut.
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih lalu kembali mengacak-ngacak tasku. "Nyariin apa sih? Kirain kami sibuk cari ID Card tadi."
Aku menggeleng. "Flashdisk," jawabku singkat.
"Hei! Keep calm!" Doni memperingatiku. Ia membantu mengutip beberapa barang-barangki yang terjatuh akibat kerusuhanku membongkar tas.
"Gimana mau kalem, Don! Itu flashdisk isinya presentasi kita nanti!" Pada akhirnya, aku menatap Doni dengan raut putus asaku. Aku bisa melihat raut wajah Doni berubah kaget. Namun, ia tetap tenang. Kalau dipikir-pikir, ketenangannya dalam kondisi panik sekalipun yang selalu membuatku merasa aman dekat dengannya.
"Ada di laptop kan?"
Aku menggeleng. "Laptonya aku tinggalin di rumah." Doni menghela napas. "Back up ke email?" Aku menggeleng lagi. "Belum sempat, tadi malem ketiduran."
Aku terus membolak-balikkkan semua barang-barangku, yang sebenarnya sudah kulakukan berpuluh kali dan flashdisku juga masih tidak ada.
"Kamu bawa mobil?" Aku mengangguk. "Yuk, kita lihat di sana sambil trace back langkah kamu tadi. Okay?"
Aku hanya mengikuti saran Doni dan mulai menjelaskan semua tempat yang kulewati mulai dari tempat parkir hingga ke lobi kantor. Hasilnya nihil. Bahkan aku dan Doni sudah membuka setiap inchi karpet mobil.
"Don, gimana nih? Maaf banget ya." Raut wajah Doni mengeras tetapi cepat kembali melunak. Bahkan ia tersenyum lebar. "Yasudah, kita pakai bahan yang kamu kirim tadi malam ke aku saja."
"Tapikan, masih ada tambahan setelah itu."
"Kita perbaiki," jawabnya singkat. Doni segera membuka komputernua saat kami sudah sampai di ruangan kerja.
"Mana sempat! Satu setengah jam menunu meetingnya, Don!" Aku merengek pesimis.
Doni melihatku sekilas. "Sesempatnya aja. Kamu merengek pun enggak akan buat flashdisk kamu ada di sini." Aku bisa merasakan nada tidak enak dari omongannya. Namun, wajar saja Doni marah. Laporan hasil kerja satu minggu yang sudah kami buat terancam tidak bisa dipresentasikan dengan sempurna. Aku merasa sangat bersalah. Meskipun begitu, Doni benar. Tidak ada gunanya aku menangisi yang tidak ada. Jadi, aku segera fokus membantu Doni memperbaiki hasil kerja kami. Hingga, aku merasa Doni memperhatikanku cukup lama, membuatku takut-takut menoleh kepadanya.
"Kenapa, Don? Ngeliatinnya gitu amat?" tanyaku. "Jangan naksir dong!" Tentu saja saat itu aku menambahi komentar seperti itu hanya untuk mencairkan suasana.
"Kalung kamu, bagus ya."
Aku mengerutkan dahi. Sejak kapan aku suka memakai kalung? Aku meraba dadaku sendiri, lalu menoleh ke sana.
For god sake! You, sneaky little bitch! Aku mengumpat pada flashdisk yang tergantung dileherku.
—
Itu cerita awal kedekatanku dengan Doni. Hubungan kami bermula dari kehilangan sebuah flashdisk. Mungkin, akan berakhir juga dengan kehilangan. Namun, bukan kehilangan benda melainkan kehilangan rasa.Hanha saja, dari memori yang menguar itu, aku ingat sesuatu: untuk apa menangisi yang tidak ada?
"Iya, aku ke kantor. Aku lihat kamu mesra banget sama dia, Don! Kok tega sih Don?!" cecarku, pada akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UnKnown - DWC 2020
Random[COMPLETED]Sebuah ketidaktahuan tentang ketidakpastian. Participant of npc2301's DWC2020 Cover ciamik by @alizarinlake