6. Tentang Helena

64 17 25
                                    

Kring-kring

Bel pulang berbunyi. Seluruh siswa di dalam ruangan kelas sibuk mengemasi barang-barang mereka untuk pulang kerumah.

Sabrina sedikit lega karena awal masuk sekolahnya tidak buruk. Dia sudah punya teman sekarang, Helena Natasha.

"Aku tinggal di Sukaraja, kalau searah yuk barengan?" tanpa basa-basi gadis yang mengikat rambutnya asal itu menawarkan diri. First impression mengenal Helena memang terlihat sangat cuek dari luar, dia seolah acuh untuk tidak terlihat tampil cantik. Padahal jika dia ingin berpenampilan sedikit rapi dan tertata, aura kecantikannya lebih terpancar, dan enak dipandang. Aku bisa berani taruhan jika ada yang mengajakku, akan banyak laki-laki yang ingin dekat dengan dia.

Sabrina mengangguk, seolah mengiyakan ingin pulang bersama Helena karena rumahnya memang searah dengannya.

Saat berjalan menuju gerbang depan sekolah, Reza datang dengan keempat gundiknya yang mereka sebut istilah GENG yang terdiri dari Melki, Dika, Rama, dan Alex satu-satunya bule blasteran Indonesia-Australia yang ada disekolah itu.

"Hey anak baru, mau barengan gak?" Reza sedikit berteriak menawarkan diri sambil bersandar didepan mobil jemputannya.

Sabrina dan Helena berhenti berjalan. Memandangi Reza yang terlihat mencoba mengeluarkan pesonanya dengan gayanya sok cool.

Keempat gundiknya keluar dari dalam mobil dan menatap satu sama lain dengan mimik muka yang terheran.

"Apa cuman gue yang salah dengar?" Melki berbisik pada Dika yang seketika mengangguk dengan ekspresi cuek.

"Lu kenapa sih selalu saja gentayangan dimana-mana?" Helena berjalan mendekati Reza, sementara Sabrina memilih diam menjadi penonton.

"Apa sih lu? Narsis amat, gue jelas nawarin teman lu itu bukan lu? Salah gue berada disini?" Reza melipat kedua tangganya didepan dadanya menampilkan kesan ingin menantang.

"Salah besar! Lu salah pilih sekolah! Dan lu salah napak, apalagi di sini!" Helen menjawab begitu judes tidak ingin dikalahkan dengan menaikkan nada bicaranya.

"Gak usah, gue pulang sama Helen aja. Makasih tawarannya" celetup Sabrina seolah ingin memecah pertikaian yang ada.

"Mampus lu ditolak!" turur Helena mengumpat kepada Reza sedikit terkekeh melihat mimik wajah Reza yang berubah menjadi kesal mendengar ucapan Sabrina yang menolaknya.

Tanpa basa-basi, Helena dan Sabrina naik ke mobil jemputan Helena yang tepat datang dan berhenti didepan mereka meninggalkan Reza dan keempat gundiknya tanpa pamit.

****

Suasana rumah gadis yang baru dia kenal yang tanpa ragu ingin berteman dengannya, terlihat begitu sepi. Dari luar sangat terlihat jelas, jika rumahnya begitu besar dengan tiga lantai. Tidak bisa dipertanyakan lagi jika Helena berasal dari keluarga yang cukup berkecukupan juga.

Ini yang kadang membuat miris, orang kaya berlomba-lomba membangun sebuah rumah luas yang seolah menandingi luas lapangan sepak bola. Menghiasinya dengan berbagai furniture mewah utnuk menciptakan kesan elegant. Padahal yang tinggal didalamnya kadang tidak lebih dari 4 orang. Seperti sebuah ajang untuk menjudge jika sang pemilik rumah adalah golongan atas yang punya derajat tinggi, dan bergelimang harta.

Bukan hal aneh sebenarnya, karena Sekolahnya bertaraf Internasional yang dominan siswa-siswinya diperuntukkan untuk golongan kalangan atas.

"Bin, Lapar gak? Kita makan dulu yuk baru naik keatas ke kamarku" tutur Helena yang dengan seenaknya melemparkan tasnya ke arah sofa didepan ruang tv-nya.

Sabrina mengangguk, dia langsung duduk di sofa tempat Helen membuang tasnya.

"Bi. Buatin nasi goreng yah dua porsi" teriak Helen dengan cuek kepada asisten rumahnya.

"Bi? Bi Rina..." teriak Helen sekali lagi karena tak ada jawaban sahutan mengiyakan permintaannya.

Helena memutuskan kedapurnya dengan sedikit kesal. Meninggalkan Sabrina sendiri yang termenung memperhatikan foto keluarga Helena yang berderet terpajang rapi di dinding.

Karena penasaran Sabrina beranjak berdiri menghampiri dinding agar bisa melihat beberapa foto yang terpajang dengan jelas.

Ia memandangi foto masa kecil Helena yang sedang merayakan ulang tahun sambil menggenggam kue ulang tahun dengan mulut yang penuh bekas krim kue. Ada juga foto Helena naik sepeda yang diawasi dengan seorang laki-laki tinggi dan berkumis lebat tersenyum lebar. Dan foto gabung keluarganya yang terdiri dari laki-laki berkumis tadi begitu gagah dengan setelan jasnya yang begitu rapi, wanita cantik yang memeluk Helena kecil dengan gaun pesta.

Helena tunggal juga seperti Sabrina?

Sabrina mengangguk sendiri seolah paham. Ada rasa sakit terbesit dihatinya. Menyadari jika masa kecil Helena dipenuhi kasih sayang melimpah dengan kedua orang tuanya. Semenjak tinggal bersama neneknya, Sabrina tidak pernah dijenguk oleh kedua orang tuanya. Jadi untuk punya foto seperti Helena, ia tentu tidak punya moment masa kecil yang membahagiakan dengan orang tuanya.

"Papaku menginggal ketika aku berumur 10 tahun, foto lengkap kami bertiga yang kamu lihat itu adalah foto terakhir" Ujar Helena tanpa basa-basi yang tiba-tiba datang dari belakang.

Mulut Sabrina tidak bisa berbicara. Dia memilih bungkam karena Helena memergoki dirinya memandangi foto yang terpajang tanpa sepengetahuan Helena. Ini mungkin tidak sopan bagi tamu yang baru datang berkunjung kesini, terlebih Sabrina teman barunya yang belum dua puluh empat jam dia kenali.

"Papaku mengalami kecelakaan mobil dan meninggal di tempat kejadian akibat pendarahan otak yang parah karena menabrak mobil truk. Aku menyesal, karena menuntutnya pulang kerumah saat aku cuman sakit perut biasa karena kekenyangan makan mangga" lanjutnya

"Ibuku sibuk bekerja sering keluar negeri, karena dia punya beberapa hotel di singapura dan jepang warisan dari Kakekku yang harus dikelolanya. Itu membuat aku lebih dekat dengan Papaku dibanding Ibuku. Papaku punya perusahaan juga, tapi dia lebih meluangkan banyak waktunya bermain denganku. Menghabiskan waktu denganku, dan itu membuatku sangat bergantung dengan Papa walau dengan hal kecil seperti mengikat rambutku"

Ini mungkin alasan kenapa Helena tidak mengikat rambutnya rapi. Cuman ada 2 kemungkinan. Dia tidak tahu cara mengikat rambut yang benar, dan tidak ingin menyuruh siapapun mengikat rambutnya kecuali Papanya.

"Aku terus menelfonnya, terus menggerutu menuntutnya pulang. Padahal sebenarnya bisa diatasi karena sakit perut biasa. Tapi itulah aku dulu, manja. Papa selalu mewujudkan semua apa yang aku minta, menuruti semua apa yang aku mau. Alhasil, aku menjadi keras dan egois tidak ingin menerima alasannya entah masih rapat dengan clientnya, karyawannya, atau apapun itu."

"Masih teringat jelas, Dua jam aku menunggu kabarnya dengan emosi yang sudah diubun-ubun. Difikiranku setelah Papa datang aku tidak akan mengajaknya bicara terlebih dahulu atau menggigit tangannya sebagai pelampiasan kekesalanku. Kekanakan memang. Aku sampai ketiduran menunggu kabarnya, dan saat suasana begitu berisik mengganggu ketenanganku, samar-samar aku mendengar isakan tangis banyak orang. Disitu aku terbangun. Bangun dengan keadaan bingung, aku digendong oleh Ibuku, dan fokusku menatap laki-laki yang sangat aku tunggu kehadirannya sudah terbaring tak berdaya dengan wajah begitu pucat di ruangan rumah sakit."

Tanpa sadar Sabrina meneteskan air matanya, dia merasa bersalah karena secara tidak langsung mengulik luka Helena dan kembali berdarah.

Helena membuang nafasnya begitu berat, berusaha menahan air matanya agar tidak menangis dihadapan teman barunya.

****

SADEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang