[Untuk Samudra][23]

3K 257 28
                                    

Di suatu pagi yang cerah, satu hari setelah surat kelima milik Langit tak kunjung mendapat balasan.

"Kak Langit! Buset dah, udah berumur padahal, tapi pakai baju aja lama banget kayak anak perawan. Cepetan! Ntar keburu siang!"

Benua tak habis pikir mengapa kelakuan Langit tak kunjung berubah. Kebiasaan bangun siang milik lelaki itu benar-benar membuatnya jengah. Kemarin bahkan Langit sendiri yang meminta dijemput tepat pukul delapan pagi. Tapi ketika ia telah menapakkan kaki di depan pintu kamar milik lelaki itu, Langit justru masih sibuk dengan kegiatannya sendiri. Dan Benua yakin sekali saat ini Langit pasti belum mandi.

"Lima menit lagi nggak keluar, gue tinggalin ya! Bodo amat!"

Benua kembali berteriak, tak peduli jika suaranya bisa saja menjadi serak. Ia tak akan berhenti berteriak sambil menggedor pintu meski ia telah melakukan itu sejak sepuluh menit yang lalu.

"Iya, sebentar, tinggal pakai baju doang! Sabaran kenapa sih?"

Sayup-sayup balasan dari dalam kamar menyapa indra pendengaran, dan kalimat yang Langit beri cukup membuat dirinya hilang kesabaran.

"Sabar lo bilang?! Udah hampir lima belas menit, Kak! Lo mandi atau semedi?"

Ampun, Benua jadi kesal sendiri. Langit memang senang sekali bertindak sesuka hati. Lima belas menitnya yang berharga jadi harus terbuang hanya karena lelaki itu. Kalau saja Langit tak lebih tua, sudah Benua lempari lelaki itu dengan batu dari kapan tahu.

Baru saja Benua ingin kembali mengoceh, ketika Langit akhirnya membuka pintu. "Nanti aja minta maaf-nya, biar nggak makin buang-buang waktu," ujar anak itu dengan ketus. Mendengus kesal, Benua langsung berjalan meninggalkan Langit yang masih bersiap dengan buru-buru. Benua bahkan sudah masuk ke mobil lebih dulu ketika Langit masih memakai sepatu.

"Bisa nggak sih lain kali kalau lo yang butuh, lo yang nunggu? Capek tau nggak sih kayak begini melulu. Lo yang ngajak janjian, tapi lo juga yang kesiangan. Kebiasaan lo nggak bagus, Kak."

Kini mobil Benua telah membelah jalan raya. Jalanan masih tak terlalu ramai, mengingat di pesisir pantai seperti ini pengguna kendaraan bermotor tak terlalu banyak jumlahnya. Dan omelan panjang Benua menjadi melodi sumbang yang mau tak mau harus Langit dengar sepanjang perjalanan mereka. Suasana yang lengang membuat suara Benua menjadi lebih jelas ketika masuk ke dalam telinga.

Langit mendengus keras. Benua dan ibu-ibu tetangga kalau mengomel memang sebelas dua belas. Sama-sama tak kenal batas. Sama-sama membuat telinga Langit terasa panas.

"Terus tuh hape jangan suka di-silent, jadi susah buat dihubungin. Lo udah dua puluh tujuh, Kak. Masa' masih mau kena ceramah dari gue yang masih dua puluh? Harga diri lo kacangan ya?"

Jika sudah begini, tak ada yang bisa Langit lakukan selain mengembuskan napas. Benua dan mulut bocornya memang selalu berhasil membuat Langit ingin menggeram dengan keras. Sebenarnya ia tahu segala hal yang Benua ucap tadi memang sebuah kebiasaan yang tak pantas. Tapi sayangnya hal-hal itu telah mendarah daging hingga rasanya sulit untuk dilepas. Menjadi lebih baik selama lima tahun terakhir saja sudah membutuhkan upaya yang cukup keras. Bukannya tak mampu, Langit hanya berusaha mengikuti alur waktu. Sambil memperbaiki diri secara perlahan, dan meninggalkan segala kebiasaan buruk yang Benua jabarkan barusan.

"Sumpah, bisa stop nggak? Panas banget kuping gue rasanya. Lo kenapa jadi makin mirip Samudra sih? Demen banget ceramah."

"Ya lo-nya nyebelin! Gue tuh cuma ngingetin. Lo udah nggak muda Kak. Bentar lagi kepala tiga. Lo juga udah nggak sendiri. Ada satu nyawa yang bentar lagi bakal jadi tanggung jawab lo. Kalau lo-nya aja masih modelan kayak gini, gimana kedepannya?"

Untuk Samudra[√]Where stories live. Discover now