Yena

477 46 22
                                    

Terhitung sudah dua tahun semenjak Yena mengalami 'kejadian' yang membuat dia dan Jihoon terpisah. Sudah dua tahun ini Yena bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan besar. Yena itu pintar asal kalian tahu. Anaknya? Kisah ini memilukan, Yena sendiri bahkan tidak sanggup menceritakannya. Tuhan seakan mempermainkannya. Ketika Yena senang mendapat kabar bahwa bayinya berhasil bertahan, satu tahun kemudian ketika bayi nya berumur delapan bulan, Yena harus menerima kenyataan bahwa bayinya terlahir dengan suatu penyakit.

Bayinya—Jaesun—memang terlahir dalam kondisi sempurna. Tapi....

"Maaf kami harus mengatakan ini, tapi bayi anda terkena kanker otak dan sudah memasuki stadium tiga."

Saat itu juga perasaan Yena hancur berkeping-keping. Dia tidak ingin percaya dengan perkataan dokter kala itu, tapi kondisi Jaesun yang kian memburuk tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jaesun harus dirawat di rumah sakit. Yena hampir saja putus asa dan hilang arah. Dia bahkan sempat berpikir untuk mengakhiri segala nya. Tapi untung saja Sejeong bisa mencegah Yena melakukan itu. Sejeong bahkan terus memberi semangat kepada Yena agar dia bisa menjalani kehidupannya dengan lebih baik. Yena tidak boleh menyerah begitu saja.

"Eonnie, bagaimana keadaan Jaesun?" disela kesibukannya, Yena menyempatkan diri untuk menghubungi Sejeong, dokter yang kini merawat anaknya.

"Kondisinya sudah jauh lebih baik daripada kemarin. Kau harus tetap berjuang untuk Jaesun, ok?"

"Iya, eonnie. Kalau begitu, aku tutup dulu ya. Waktu istirahatku sudah hampir habis."

"Okei, semangat! Jaesun juga bilang, semangat mommy!"

Sejeong menyemangati Yena dengan membuat suaranya terdengar lebih imut seperti suara bayi. Itu membuat Yena bisa tersenyum di tengah pekerjan kantornya.

"Apa jadwalku hari ini?" hampir saja Yena mengumpat sangking terkejutnya dia. Tapi untunglah mulutnya bisa dikendalikan dengan baik. Well, siapa yang mau mengumpat di depan bosmu sendiri?

"A-ah, ternyata anda. Selamat siang." Yena segera berdiri dan memberi salam kepada bos-nya.

"Apa jadwalku hari ini?" tanyanya lagi.

"Satu jam lagi anda harus menghadiri pertemuan penting di restoran xxx. Saya sudah menyiapkan semua berkas yang anda perlukan."

"Ah, baiklah. Eum, apa kau sudah makan?"

"Belum. Tadi saya harus mengurus beberapa hal untuk pertemuan nanti."

"Kalau begitu, ayo kita makan. Aku akan menraktrimu." bos Yena itu langsung saja menarik tangan Yena keluar dari kantor sebelum Yena sempat menolak.

"Tapi, jam istirahat saya hampir habis, pak."

"Hei, kita sudah berada di luar kantor. Kau bisa memanggilku seperti biasa." Mereka sudah berada di mobil sekarang. Dia melepaskan tangan Yena dan beralih memegang kemudi mobilnya.

"Jam istirahatku sudah hampir selesai, Yohan."

"Tak apa, lebih baik kau ikut makan bersamaku kalau tidak mau pingsan di kantor nanti."

"Hei, tetap saja aku harus bekerja! Pekerjaanku masih banyak!"

"Aku akan membantumu nanti. Sudahlah, jangan berisik! Aku mau fokus menyetir dulu." Yena menurutinya dan menutup mulut rapat-rapat.

Selang dua puluh menit, mereka telah sampai di sebuah cafe sederhana yang biasa dikunjungi mereka berdua.

"Kita duduk disitu saja ya?" Yohan menunjuk meja paling sudut yang dekat dengan jendela. Yena melihat ke arah jari Yohan menunjuk, kemudian dia mengangguk. Mereka berdua berjalan ke arah meja itu dan memesan makanannya. Keheningan menyelimuti mereka. Tak biasanya begini. Akhirnya Yohan memutuskan untuk membuka pembicaraan.

Him and HerWhere stories live. Discover now