Pagi itu ketika semua mata menatapku. Asya hanya diam di pelukan. Tangannya erat mencekram jaketku, ia ketakutan. Dan aku seperti masuk ke dalam dunianya yang gelap. Kosong matanya seakan berusaha menarikku untuk masuk ke dalamnya. Bagaimana bisa aku membayangkan jika adikku telah direnggut kesuciannya.Bersamanya aku masuk ke dalam rumah, dan dari semua mata hanya Bibi Nati yang kulihat berderai air matanya.
"Bi, tolong bantu siapkan semua kebutuhan Asya," kataku dan kakek seperti mengekor di belakang lalu berkata.
"Andra! Kamu sah di mata hukum, tapi belum sah di mata agama. Kalian tidak bisa tinggal bersama, tunggu sampai Asya melahirkan, baru kalian bisa menikah lagi dan serumah!" seru kakek, dan begitu saja keraguanku padanya muncul.
Entah, apapun yang dikatakan olehnya, mulai saat ini harus kuragukan. Karena hanya dia satu-satunya lelaki di rumah ini. Aku tarik Asya dari pelukan, memegang kedua pundaknya erat lalu mengatakan padanya untuk menungguku di kamar.
"Andra sudah dewasa, Kek. Andra tahu harus apa!" jawabku ketus.
"Justru karena kamu dewasa! Kalian tidak bisa hidup bersama!"
"Andra tak ada sedikit pun berniat menjadikan Asya istri Andra. Selamanya Asya adik Andra. Andra sayang sama dia sebagai kakak bukan suami! Jadi kakek nggak usah cemas, Andra hanya ingin melindungi dia. Itu saja!" kataku dan tiba-tiba saja terlihat Bibi Nati semakin meneteskan air mata di sudut ruang.
"Melindungi dia dari apa? Rumah ini adalah tempat yang aman buat Asya. Di kota kalian akan tinggal di mana? Di kamar kos?" Suara kakek meninggi aku semakin yakin saja jika yang diprediksikan temanku benar.
"Andra akan sewa rumah!"
"Dengan apa? Kuliah kamu saja, kakek yang bayar!"
"Andra punya pekerjaan sampingan, Kek!"
"ANDRA!" Suara Ibu menggelar memotong ucapanku, sementara kakek beringsut dan perlahan duduk di kursi seraya memangku kepalanya. Aku diam, belum pernah aku melawan perkataannya. Lelaki yang selama ini berperan sebagai pengganti Bapak bagiku itu terduduk lemah, napasnya tersengal. Tak ingin merasa bersalah aku masuk ke kamar lalu duduk, menarik napas panjang. Mencoba mengimbangi pikiranku. Sampai tak lama Ibu masuk dan lagi-lagi menegur.
"Kamu itu kenapa mendadak menjadi seperti ini? Nggak sopan dengan kakek! Kamu harus ingat Andra, siapa yang menafkahi keluarga kita!" rutuk Ibuku. Lalu, seperti asap terempas dari lilin yang meredup. Terlepas bayangan ketika Bapak menutup mata. Saat itu, kami kembali dari rumah kontrakan menuju rumah kakek. Tiada harta yang kami bawa, karena Bapak pekerja serabutan. Saat itu sudah ada Asya juga Bibi Nati di rumah, karena Paman Karim sudah meninggal lebih dulu sebelum Bapak.
Masih teringat. Bagaimana Kakek, menerima kami dengan hangat di rumahnya. Dan ketika Paman Abdi datang, sebuah rapat kecil diadakan. Saat itu aku baru saja lulus SMA, sedang Seyna baru duduk di tingkat satu SMP.
[Bagaimana Abdi, kita diberikan lagi amanah untuk merawat anak yatim. Mereka keponakanmu]
[Abdi, sudah habis-habisan membiayai Asya juga Nati, Pak. Kalo ada rezeki Abdi kasih tapi kalo nggak ada gimana? Untuk Sari, Andra, Seyna dan Zahra. Abdi belum ada kepikiran. Bisnis juga lagi susah. Andra sudah besar, dia bisa kerja]
[Sari akan kerja kok Mas, Pak. InsyaAllah masih kuat.]
Aku yang duduk saat itu di samping Ibu, melihat begitu teduh kakek menatapku dengan ketiga adikku.
[Ya sudah begini saja. Urusan keluarga Sari itu tanggung jawab Kakek. Kakek masih ada kebon juga tanah. Sari kalo mau kerja, cari kerja yang ringan-ringan aja. Kasihan Zahra masih kecil.] katanya cukup bijak, sampai kuyakin jika dia adalah penyelamat kami.

KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA KARENA LUKA
RomanceAsya gadis remaja yang mendapatkan pelecehan seksual. Harus menerima bahwa masa depan tak lagi berputar. Dirinya hamil di usia muda hingga harus dinikahkan dengan sepupunya untuk menyelamatkan nama baik keluarganya. Air mata seperti kabut yang mengh...