Too Close

2.9K 395 16
                                    



"Hatimu yang terlampau dingin, atau hatiku yang terlalu ingin?"

.......

Naruto tidak tau harus dengan cara apa lagi dirinya menekan kesabarannya. Ini sudah minggu kedua ia menemukan Hinata selalu menempeli dirinya, seperti hari ini melihat Hinata dengan wajah berseri-seri itu membuat Naruto menarik napasnya dalam-dalam. Akan sangat tidak baik jika dirinya mengusir Hinata dengan kasar, meski Naruto benar-benar ingin melakukannya saat ini.

"Hai...."

Sapaan riang dari Hinata membuat lelaki berusia tujuh belas tahun itu berdecak lidah. "Kali ini apa lagi Hinata?"

"Lihat ini," Hinata mengangkat sebelah tangannya, menampakan dengan jelas dua kertas voucher diskon dari salah satu tempat makan yang Naruto tau sedang naik daun belakangan ini. "Dessert disana kabarnya enak sekali."

"Aku tidak mau." Jawab Naruto dengan ketus. Lelaki itu menutup pintu loker sepatunya dan menatap Hinata yang memiliki tinggi tubuh hanya sebatas bahunya. "Minggir." Ucapnya dengan datar. Hinata membatasi pergerakan Naruto kali ini.

"Tidak mau." Hinata bersedekap tangan, wajahnya yang memberenggut kesal sama sekali tidak menarik minat seorang Uzumaki Naruto. "Ayolah, aku janji ini adalah yang terakhir." Sepersekian detik wajah Hinata berubah merona, bola mata Hinata melirik Naruto dengan malu.

"Kemarin kau juga mengucapkan hal seperti itu."

"Naruto, aku janji kelak saat kau meminta aku menemani mu aku akan selalu ada!"

Naruto mendengkus remeh, ia menyelipkan sebelah telapak tangannya ke saku celana. "Demi tuhan, hari macam itu tidak akan pernah terjadi."

Menerima semua sikap dan ucapan dingin Naruto hampir-hampir membuat Hinata menyerah untuk memiliki hati lelaki ini. Semua yang ada pada Naruto terasa begitu dingin, Hinata tidak tau dengan cara apa lagi ia bisa menjamah perasaan lelaki itu. "Aku sudah pernah bilang bahwa aku akan membuat mu jatuh cinta...."

Sebelah alis Naruto terangkat ia tentu paham arah pembicaraan Hinata, ia mengingat dengan jelas kala gadis yang berdiri di hadapannya ini mengatakan dengan lantang bahwa mereka akan menjadi sepasang kekasih suatu hari nanti. "Jangan terlalu berharap."

Naruto tidak tau masih adakah cela di hatinya yang bisa ia bagi pada Hinata. Merasakan Hinata mendekatinya dengan persuasif tentu saja membuat Naruto kurang nyaman, ada sesuatu mengenai hal tersebut yang tidak bisa Naruto ceritakan pada siapapun.

Hinata terlalu cerah untuk Naruto yang suram.

Begitulah yang ada di pikiran lelaki itu. Maka pilihan paling bijak untuk merespon semua pendekatan Hinata adalah, dengan tidak memberikan gadis itu harapan. Naruto benar-benar tidak ingin Hinata merasa tersiksa karenannya suatu hari nanti, Naruto betul-betul menghindar untuk menjadi alasan Hinata menangis suatu hari nanti.

"Tapi kau sudah setuju untuk menjadi temanku."

Helaan napas lelah kembali terdengar, Naruto betul-betul tidak mengerti apa yang sebenarnya Hinata incar darinya. "Lalu kalau kita berteman, aku harus selalu bersedia untuk melakukan semua hal yang kau inginkan?"

"Tidak seperti itu, yang ku maksud adalah," Suara Hinata berhenti begitu saja, dia khawatir Naruto merasa tidak nyaman dengan gagasannya nanti. "Yang aku maksud, aku benar-benar suka menghabiskan waktu bersama Naruto. Walaupun hanya sebatas teman."

Benar-benar gadis yang berani.

"Ayo." Naruto mengucapkan kata tadi sambil berjalan, meninggalkan Hinata yang masih terpaku.

Hinata terpaku antara rasa tidak percaya dengan jawaban Naruto dan sikap dingin lelaki itu yang rasa-rasanya lebih dingin dari salju di kota Sapporo.

........

Pai apel adalah pai buah yang isian utamanya adalah buah apel. Dalam beberapa kesempatan, biasanya pai apel disajikan dengan baluran whip cream atau es krim di atasnya, atau kadang dengan keju cheddar. Kue ini biasanya memakai lapisan pastri atas dan bawah. Dan Hinata secara sadar akan mengakui makanan ini adalah dessert favoritnya.

Lantunan melodi musim dari band wacci menjadi peneman sore mereka.

Naruto bersandar di kursi, dan memperhatikan cara makan Hinata yang tenang. Lelaki itu kian dibuat kalut akan pendekatan yang Hinata lakukan.

Dia, Naruto belum siap untuk jatuh cinta dengan siapapun saat ini. Tidak Hinata, tidak gadis manapun.

"Naruto....."

Panggilan dengan nada manja itu rasanya sudah terlalu sering Naruto dengar beberapa hari ini, cara Hinata memanggil namanya Naruto tidak tau harus mendeskripsikan seperti apa. Sialnya, ia menyukai cara Hinata memanggil namanya namun enggan mengakui hal tersebut.

Naruto bertopang dagu, lelaki itu sama sekali tidak menyentuh pie apel berselimut sirup mapple yang Hinata pesan. Rasanya, ini benar-benar tidak boleh dibiarkan. Perasaan hangat dan nyaman yang mulai bersarang itu harus segera Naruto buang jauh-jauh.

"Hinata, ini benar-benar yang terakhir kan?"

Pertanyaan yang Naruto lantunkan sontak saja membuat rasa manis pie yang sedang Hinata nikmati menjadi hambar, hampir-hampir rasa manis itu berubah menjadi pahit. Ia memandangi Naruto yang tersenyum, entah senyum canggung, entah senyum senang.

Hinata tidak mengerti, apa yang kurang darinya? Apa yang membuat Naruto begitu enggan berada bersamanya? Gadis itu menarik napasnya, dan meletakan begitu saja garpu yang ia sebelumnya ia genggam.

Apa Naruto tidak sadar bahwa Hinata menyukainya?

Atau justru lelaki itu sadar dan semakin menghindar?

"Baiklah." Jawab Hinata dengan lesu, selara makannya hilang begitu saja. Semua yang ada di matanya saat ini terasa menyebalkan. Rasanya ia ingin segera berlari saja, meninggalkan Naruto agar lelaki itu berpikir namun Hinata tidak yakin apa kepergiannya nanti benar-benar akan membuat Naruto berpikir, atau malah membuat lelaki itu senang?

Mendengar nada kecewa itu membuat Naruto mengumpat dalam hatinya, apa barusan ia mematahkan hati Hinata? Apa baru saja ia membuat gadis itu sedih? Rasanya, Naruto benar-benar ingin mengutuk siapapun yang telah membiarkan Hinata menjatuhkan hati padanya. Ia paham, ia mengerti, ia peka bahwa gadis ini menyukainya namun Naruto benar-benar tidak bisa untuk membalasnya, setidaknya belum.

"Apa aku benar-benar mengganggu?"

Damn bola mata yang berkaca-kaca itu seakan meminta Naruto untuk melakukan sesuatu agar air mata tidak tumpah dari sana.

"Apa kau benar-benar menyukai aku?" Naruto balas bertanya. Ia menyelami Hinata dari bola mata keabuan gadis itu, apa yang ada di pikiran Hinata hingga bisa-bisanya jatuh cinta padanya.

"Naruto, selama ini aku selalu memperhatikan dirimu. Dua tahun berada di kelas yang sama membuat ku terus berharap kita akan bersama, sayangnya meski aku sudah berusaha kau tetap terlalu dingin."

Hembusan napas lelah terdengar sekali lagi. Naruto mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Aku tidak menjamin akan membuat mu senang," Mata Naruto menatap Hinata begitu kuat, seolah meyakini Hinata ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya. "Aku tidak romantis, dan aku sangat khawatir untuk menyakiti mu."

"Aku akan berusaha untuk tidak tersakiti....."

TBC

Day by DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang