WYS - [17] Hari Pertunangan

2.5K 400 41
                                    

Aku masih tidak mengerti rencana Tuhan. Dia belum memberikan jawaban atau memang aku yang lambat memahami jawabannya. Lika dan aku lama tidak berhubungan, aku tidak mengirim pesan padanya, Leta pun begitu, aku tak mengirim pesan padanya. Membalas pesannya saja terkadang aku enggan. 

Jika orang mengatakan jawaban dari istikharah biasanya semakin didekatkan apabila baik untukku, dan dijauhkan apabila tidak baik. Ini keduanya justru menjauh. Tuhan, aku mungkin memang tidak pandai menelaah jawaban-Mu.

Ah, tapi apapun itu. Sepertinya jawabannya adalah Leta, Aleta Quenby. Pada kenyataannya aku tidak bisa menghentikan pertunangan ini. Bagaimana bisa aku menghentikannya jika saat ini aku sudah berada di hotel tak jauh dari tempat tugasku. Menggunakan waktu izin bermalam yang kupunya, setengah jam lagi acara pertunangan akan dimulai.

"Masih berniat membatalkan?" tanya Leta tiba-tiba masuk ke dalam kamarku.

"Mana sempat?"

Tersenyum tipis. "Lo tuh nggak punya daya upaya kaya gue. Mana bisa kita ngelawan raksasa juga, Ka. Lihat kan? Bokap nyokap kita lebih berkuasa."

Tersenyum getir. "Padahal gue punya hati dan jiwa, di mana mereka harusnya lebih berkuasa dibandingkan bokap nyokap gue. Lo juga gitu kan hati dan jiwa lo yang harusnya..."

"Hati gue berkuasa kok. Oh ya, yakin Lika bukan perempuan tahun 2007?"

"Dia bilang begitu, apa boleh buat?"

"Ya sudah."

Kami hanya saling menatap tanpa mengatakan apapun selanjutnya. Leta, dia menemaniku mengisi hari-hari dengan tingkah konyolnya tapi sekarang aku seolah tidak mengenal dia karena tatapannya yang serius dan dalam. Beberapa hari terakhir dia juga nampak begitu dewasa, padahal aku ingin melihat tingkah konyolnya.

"Eh, malah berduaan di kamar!" tegur Mama yang datang mengenakan kebaya mewah. Ah, aku lupa aku hidup dengan gelimang harta, mungkin karena terbiasa hidup apa adanya sebagai anggota TNI. Mana sempat memikirkan fashion dengan brand ternama atau pakaian khusus dari designer. Bahkan kain kafan kami saja tetap doreng. "Ayo, ke depan. Sudah banyak yang datang."

Menghela napas.

"Mau batalin? Gue kasih waktu 5 menit. Kalau mau batalin kita kabur bareng."

"Hah? Emang lo mau pengen batalin juga? Kenapa kabur bareng?" tanyaku bingung.

"Mau kabur, nggak?"

Diam.

Leta tiba-tiba menggandeng tanganku, menarikku setelah Mama tidak lagi ada di depan kamar. Dia mengajakku berlari melewati tangga darurat, kenapa tidak lift? Sudah pasti digunakan keluarga lainnya untuk turun ke lantai bawah, tempat acara akan dilaksanakan.

"Bentar." Berhenti di tengah-tengah tangga, mengatur napasnya dan melepas sepatu berhak tingginya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih memegang erat tanganku, jari-jari di sela jari-jari.

Aku? Aku menatapnya tak percaya dan saling terkejutnya sampai tidak tahu mau bilang apa. Ini hal paling gila yang pernah kita lakukan. Tidak, paling gila yang pernah dia lakukan.

"Ah, susah banget!" keluhnya karena sepatu itu memiliki ikatan yang rumit.

Aku langsung menunduk, tanpa berkata membantunya melepaskan tali. "Lo kenapa ngajak gue kabur tiba-tiba."

Saat ini kita mungkin ada di tengah-tengah lantai 2 dan 3. Jika dipikir kami sudah turun cukup jauh, dari lantai 7. Lihat saja napas yang Leta tarik dan hembuskan.

Tersenyum getir. "Nggak tahu."

"Yuk!" Menggenggam tanganku lagi, hendak berlari tanpa alas kaki setelah susah payah aku melepaskannya. "Habis ini lo bisa balik ke barak, bokap nyokap lo nggak akan berani ngacak-acak barak."

Waktu Yang SalahWhere stories live. Discover now