Manusia Lain

100 28 6
                                    

Najran menghampiri keenam temannya, ia berjalan dengan tenang. “Sya, jadi bagaimana?” tanya Najran, seperti tidak terjadi apapun. Yang ditanya menggeruk kepalanya. 

“Sesuai yang ada di pesan, barat daya sebelah sana!” seru Syasya, ia menunjuk ke arah hutan yang membuat Delina mengernyit.

“Kamu lagi ngapain, Sya?” tanya Delina. Ia menghela napas. “Kalau mau becanda nanti dulu dong, kita semua punya mata dan melihat kalau enggak ada apap
pun di hutan ini, kamu nunjuk apa?!”

Syasya mengambil satu langkah, menatap Delina dengan berani. “Jangan mentang-mentang ada Lana, kamu jadi seenaknya dalam berbicara!”

Delina tak mau kalah, ikut memajukan langkahnya. “Aku ngomong soal kenyataan!” seru Delina. Mereka terus melempari tuduhan satu sama lain, sampai akhirnya mata Windy menatap sesuatu, benda pipih berwarna coklat tua, hampir sama dengan pohon. Ia membenarkan letak kacamatanya, mempertajam pengelihatan. 

Nafier yang sadar, mengikuti arah tatapan Windy. Saat puas memerhatikan, keduanya saling tatap, kemudian membulatkan mata dan berkata, “ITU PINTU!”

Pekik kedua orang itu membuat perdebatan Delina dan Syasya terhenti. Juga Najran dan Dalena yang tengah menatap lantai dengan tatapan kosong. Mereka semua fokus ke arah telunjuk Nafier dan Windy yang mengacu pada satu arah.

Dengan langkah terburu-buru, mereka kumpul di depan sebuah pintu yang bentuknya hampir menyerupai pohon. Syasya memimpin di depan, memperhatikan pintunya. Tidak ada kenop, pastinya ini akan menguras otak. 

Berkutat mencari di mana tombol pintu ini agar bisa dibuka, Syasya sesekali melirik Najran yang menatap kosong ke tanah, tatapan yang terus ia tunjukan, seperti benar-benar kehilangan separuh jiwanya. Iya, Syasya tahu. Separuh jiwa Najran memang sudah dibawa oleh semesta. 

Kembali memfokuskan diri, Syasya akhirnya menemukan sebuah tombol yang memunculkan sinar biru di hutan yang mulai menggelap karena matahari telah ditelan waktu. Syasya mengernyit. “Ah, ini harus masukkan data diri. Tapi masalahnya … kita belum terdaftar.”

“Jadi?” tanya Windy yang terus menyimak setiap pergerakan Syasya. Gadis yang ditanya menatap Windy dengan sorot penuh arti. Windy mengerti, ia mengangguk dengan dihiasi seulas senyum. “Lakukan apa yang ingin kamu lakukan.”

Syasya terkekeh, tangannya bergerak lincah di atas sinar biru samping pintu itu. Pikirannya mencatat beberapa poin yang harus ia kerjakan dalam hitungan menit. 

Cklek.

Syasya berteriak heboh, membuat orang di sekitarnya terkejut. “Aku berhasil, kita berhasil!” 

Kelima orang itu berjalan memasuki lorong dengan perasaan was-was. Syasya memimpin di depan dengan dessert eagle milik Lana yang tersisa dengan Nafier berjaga di belakang. Lumayan lama untuk mereka berjalan sampai akhirnya secercah cahaya penuh harapan yang selama ini dinantikan tampak. Bersama pendar putih penuh arti, kelima anak manusia itu masuk ke dalamnya.

🌍🌍🌍🌍🌍

“Selamat datang di Isla de Norbe, para petualang!” seru suara berat yang membuat Syasya mengarahkan pistolnya ke sumber suara. “Hoish, tenang. Kami adalah kumpulan orang selamat, kalian sudah sampai.” Pria paruh baya dengan rambut botak di bagian depan berkata dengan lantang. Riuh tepuk tangan menyambut kedatangan mereka bertujuh. 

Dengan langkah yang sudah sangat lelah, Syasya dan kawan-kawan mengikuti Pak Ruslan—si pemilik suara menggelegar yang menyambut mereka tadi—ke sebuah tempat. Tak butuh jarak panjang, mereka tiba di sebuah tanah lapang yang kosong, bersamaan dengan beberapa orang yang menyambut tadi. 

Aqm-11 [Selesai]Where stories live. Discover now