Part 1 - Bias Sanubari

3.5K 178 8
                                    

Malam makin pekat. Rinai hujan turun beriringan membasahi halaman rumah. Suara petir tunggal memekakkan telinga. Samar-samar, terdengar bunyi klakson mobil dari luar.

Aku meraih khimar peach yang tergantung rapi di balik pintu. Sedetik kemudian, bergegas menuruni anak tangga dan lekas membuka pintu. Lelaki itu tampak semringah, khas dengan senyum manis di bibir.

"Assalamualaikum, Sayang." Mas Arya-suamiku-mencium puncak kepalaku.

"Walaikumsalam, Mas." Aku mengecup punggung tangannya. "Ya Allah ... bajumu basah, Mas. Ayo masuk dulu!"

Kedua tangan Mas Arya melepas satu per satu kancing kemeja. Sedangkan jemariku lihai melepas dasi yang melekat erat di kerah kemeja putih itu. Namun, di bagian kiri bajunya terlihat noda bekas lipstik perempuan.

"Ini bekas bibir siapa, Mas?" Jemariku menunjuk area noda berwarna merah.

"Ehm ... anu, i-itu ...."

"Tolong jujur padaku, Mas. Apa kamu pergi dengan wanita lain? Jawab, Mas!" Aku memberondong beberapa pertanyaan pada Mas Arya. Air muka lelaki itu mulai pucat.

"O-oke, kamu tenang dulu, ya. Aku akan menjelaskan semuanya. Jadi, begini ...." Mas Arya mulai bercerita.

Bulir bening mulai menganak sungai, membasahi pipiku yang semula kering. Rasa sakit begitu membelenggu hati, merangkai pedih menyibakkan dada. Entah mengapa hati ini berkata bahwa Mas Arya berbohong.

Bukankah pernikahan merupakan upacara sakral? Sebuah janji suci di hadapan Allah. Namun, ia justru mengingkari janji yang diucapkan.

Kesetiaan yang tak pernah dipegang teguh olehnya memaksaku melongok kenangan beberapa tahun silam. Potongan visualisasi kejadian itu kembali terekam jelas dalam benak ketika pasangan kekasih telah memadu janji cinta terlarang. Ah, itu sangat menyakitkan!

"Ja-jadi ... benar kalau kamu mengkhianatiku lagi, Mas?"

"Itu tidak benar, Alia! Aku dan Shella tidak ada hubungan apa pun selain partner kerja," ujar Mas Arya.

"Silakan berbohong sesuka hatimu, Mas. Aku sudah muak!" Aku meninggalkan Mas Arya begitu saja.

Diri ini terlalu bodoh untuk mendengar seribu alasan darinya. Kenangan pahit kembali menguar, merobek kepercayaan yang tak lagi utuh. Tak ada setitik cahaya yang terpancar dari sorot matanya. Ah, lagi-lagi dia berbohong.

"Alia ...." Lelaki itu mendekat, lalu menggenggam tanganku.

"Kau bisa berkata bohong padaku. Namun, kau lupa bahwa masih ada Allah di antara kita. Aku tak ingin dimadu ke dua kalinya, Mas."

"Maafkan aku, Alia. A-aku janji ti--"

"Bunda ...." Seorang gadis kecil berdiri di depan pintu. Suaranya terdengar parau.

"Ada apa, Sayang?" Aku menghampiri gadis kecil itu.

"Aku takut, Bunda. Aku ingin tidur bareng Bunda." Gadis kecil itu bergelayut di tubuhku.

Aku merengkuh tubuh mungil itu. Menggendong dan merebahkannya di kasur. Terpancar ketakutan dari sorot netranya. Aku baru ingat, gadis kecil itu memiliki fobia terhadap suara petir.

"Malam ini Balqis tidur di sini saja ya, Nak." Jemariku mengelus puncak kepalanya.

"Iya, Bunda."

***
Mentari mulai menampakkan sinar melalui celah jendela kamar. Kicau burung bersahut-sahutan masih terdengar. Butir-butir embun masih menetes deras di sekeliling rumah, memperlihatkan tanah yang masih basah bekas hujan semalam. Aroma petrikor yang menyeruak mampu menggiringku pada kenangan masa lalu.

Bayangan pengkhianatan itu tergambar jelas dalam benakku. Hati ini mulai gelisah, takut jika Mas Arya terjerembap ke dalam jurang yang sama. Bukan maksud mengingkari takdir. Namun, rasa trauma itu masih ada.

Mas Arya hanya manusia biasa, kekhilafan juga bisa menguasai dirinya. Entah kenapa, diri ini tak bisa percaya sepenuhnya kepada lelaki itu. Hatiku masih sakit kala teringat pengkhianatan yang dilakukan olehnya.

"Kamu sudah bangun, Sayang?" Lelaki itu mengerjapkan mata beberapa kali. Ia terlihat menggeliat di balik selimut.

"Sudah, Mas," jawabku singkat.

"Apa kau masih marah, Alia?"

"Tidak."

Aku beranjak ke luar kamar tanpa menatap lelaki itu. Tak lupa meminta izin untuk berkutat di dapur. Ya, hari ini asisten rumah tangga kami sedang cuti.

Tiga puluh menit sudah aku berkutat di dapur. Memasak makanan favorit Mas Arya, yaitu capcay. Tak bisa dimungkiri, aku sangat mencintai suamiku. Kemarahan ini hanya sebagai simbol bahwa aku benar-benar takut kehilangan dia.

Tak mudah memperjuangkan hak menjadi istri Arya Pahlevi seutuhnya. Berbagai macam ujian harus aku lalui, termasuk menyingkirkan Anita yang pernah menjadi istri kedua. Aku menikung dalam sepertiga malam, memohon restu dan rida-Nya untuk mendapatkan cinta Mas Arya kembali.

"Mas berangkat dulu ya, Sayang. Assalamualaikum," ujarnya tergesa-gesa ketika menuruni anak tangga.

"Sarapan dulu, Mas! Aku sudah memasak capcay kesukaanmu."

"Nggak sempat, Sayang. Nanti aku sarapan di kantor saja. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Lelaki itu pergi begitu saja. Bahkan, ia lupa mencium keningku yang menjadi rutinitasnya. Perasaanku makin tidak karuan. Mata hatiku seolah berkata bahwa badai akan menerjang bahtera perkawinan kami.

'Astaghfirullah ... tenangkan hatimu, Al. Jangan biarkan firasat buruk berkecamuk dalam diri. Serahkan semuanya kepada Allah.'

***
[Assalamualaikum, Mas. Makan siang bareng, yuk!] Bunyi pesan yang kukirim ke Whatsapp Mas Arya.

Klung!
Sebuah pesan masuk ke gawaiku. Netraku melirik notifikasi yang muncul di atas layar, terpampang nama Mas Arya di sana. Jemariku cekatan mengusap ke arah kanan layar ponsel. Sejurus kemudian, cekatan berselancar di aplikasi perpesanan hijau.

[Walaikumsalam, Sayang. Jangan hari ini, ya. Mas ada rapat dengan klien. Insyaallah besok, ya, Honey. Love you!]

[Baiklah 😊.]

Baru kali ini aku mendapat penolakan dari Mas Arya. Aku tersenyum getir, menahan rasa ngilu yang berpusat di ulu hati. Ada genangan air yang mendesak keluar dari sudut mata. Ah, akhirnya meluruh juga.

Tiba-tiba, firasat buruk berkecamuk dalam benak. Ada perasaan aneh yang mengganjal. Kata hatiku mengatakan untuk makan siang di luar. Kali ini, restoran bernuansa Jepang menjadi alternatif.

Jemariku lincah memesan taksi online berlogo hijau. Sembari menunggu, aku menyiapkan tas dan keperluan lain terlebih dahulu.

Klung!
[Tunggu sebentar, ya, Mbak. Saya on the way ke sana.] Sebuah pesan yang dikirim oleh sopir taksi online.

[Iya, Pak. Nggak usah buru-buru.]

Lima menit kemudian ....

[Saya sudah di depan rumah, Mbak.]

Aku mengunci pintu seraya menggendong Balqis. Beruntung, hari ini dia tidak rewel. Jadi, tak merepotkan aku sama sekali. Sejurus kemudian, aku mendudukkan Balqis di sisi kanan mobil.

Perjalanan yang kami tempuh memakan waktu sekitar dua puluh menit. Di ujung jalan, terpampang plakat bertulis "Shinobi Cafe". Mobil yang kami tumpangi berhenti di depan restoran. Dekorasi ala Jepang terlihat kental di sekitar tempat ini.

"Konnichiwa, ada yang bisa kami bantu?" tanya pegawai restoran yang memakai kimono.

"Saya mau pesan tempat untuk 2 orang, Mbak."

"Baik, Bu. Silakan, kami antar!" Perempuan berlesung pipi itu tersenyum, sembari mengantarku ke tempat duduk. Tak lupa, ia menyerahkan buku menu yang berada di tangan kanannya.

Bersambung ....

🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Alhamdulillah ... part 1, DONE!
Silakan kritik dan sarannya. 💞

Ujung Penantian (Sequel Terbagi)Where stories live. Discover now