4

1.1K 232 14
                                    

Aku menatapnya intens. Sedikit turun ke bawah, mengarah ke gantungan yang seolah adalah bintangnya aksesori. Di kala kami bersua sebelum kepulanganku, aku baru menyadari betapa lucunya kebetulan yang tercipta.

Lama mencermati, aku tidak menahan diri. Halaman buku berangsur-angsur terabaikan.

Aku memulai dengan suara pelan di sepinya suasana, "Kamu terampil memilih hiasan yang sinkron dengan acara."

Konsentrasi [Surname] buyar. Wajah terangkat sehingga helai rambut hitamnya bergoyang. Mata bulat melebar heran. Dia menelengkan kepala.

"Apanya?"

Saat mengikuti pusat fokusku, tanda tanya yang tertera memudar. Ia menyentuh tas dan mengelus gantungan yang mempercantik barang itu. Ada dua buah. Yang satu hitam, yang satu merah. Tiap kakinya mengayun menyusuri koridor sekolah, mereka bergesekan. Mau tak mau aku menyoroti.

[Surname] tersenyum, tidak tahu alasannya, tapi aku tergugah untuk merekamnya dan meniru.

Mudah menular.

"Benar juga," katanya, "charm koinobori yang aku beli tahun lalu memang cocok, ya. Pas sekali sama apa yang dipelajari."

Iya, itu gantungan berbentuk ikan. Cengiran [Surname] tak habis-habis.

"Hari Anak dan koinobori seperti tak terpisahkan, bukan?"

"Betul. Nenekku sudah tidak sabar memasangnya di depan rumah." Aku malah menceritakan hal personal. Untungnya [Surname] bereaksi menggebu.

Kurang dari seminggu menjelang serangkaian hari libur resmi. Ia menoleh ke jendela besar. Aku mengamati pula pemandangan yang tersaji. Langit bersih dan awan menggumpal.

Nanti, jalan-jalan yang biasa tak didekorasi pun akan jadi menakjubkan. Bendera ikan koi berkibar-kibar dipadu cerahnya bumantara nirmala. Rasanya tidak sabar.

.

.

.

Mori dan Hiroshi tiba nyaris berbarengan. Mereka telat tujuh menit. Kita Shinsuke tentu menegurnya dengan omongan menusuk dan langsung menugaskan mereka selayaknya yang disepakati.

"Hari Anak ditetapkan sebagai hari libur nasional. Sudah dirayakan semenjak 1948, bedanya dahulu khusus anak laki-laki saja."

Kita mendikte selagi ketiga anggota menyimak. Vokal Kita tidak keras (hampir berbisik, menghindari omelan pustakawan), namun cukup jelas.

Ia tak lupa memperinci undang-undang yang mengatur selebrasi tersebut dan memastikan info penting ditulis, plus membubuhkan secuil ilmu mengenai Hinamatsuri yang masih berkaitan.

"Yang berperan mencari makna siapa?" tanya Kita.

Hiroshi mengangkat tangan. Dia menyelesaikan catatannya dan menyodorkannya pada Kita. Pemuda itu dengan saksama menyelisik. Ganti ke sebelah.

"Tentang koinobori," Kita menggantung ucapannya. Mata bergulir ke [Name] dan berserobok sejenak. Si perempuan terkesiap.

"Ikan koi dijadikan simbol karena kegigihannya memanjat air terjun dan berubah menjadi naga," [Name] menguraikan kesimpulan yang ia baca, "lalu terbang ke surga."

Kunci; keuletan.

Uang tidak sia-sia dibelanjakan. [Name] sengaja memilih warna hitam dan merah sebab itu melambangkan ayah dan ibu dalam keluarga.

"Aku anggap semuanya hafal di luar kepala, ya." Kita mengangguk.

Hari dan diskusi mereka masih panjang.

𝟭𝟵𝟵𝟵Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang