Pak Tani dan Bu Tani

41 3 2
                                    

Tiba Sugih di kampung halaman. Dari kejauhan terlihat ladang sawah milik Ayahnya yang biasanya selalu tampak subur kini sudah kering kerontang. Petak-petak padi menguning sekarang hanya tersisa lumpur yang telah mengering dan retak. Melihat keadaan itu hati sombong Sugih mulai menghina, "Hah, orang tua itu! Rupanya tak bisa mengurus ladang sendirian tanpa diriku! Lalu apa gunanya seumur hidup menjadi petani kalau menggarap sawah dua petak saja ia tidak becus!"

Di tengah perjalanannya menuju ke rumah, Sugih berhenti sejenak untuk tertawa terbahak-bahak.

Setelah puas menertawakan kegagalan Ayahnya menggarap sawah, di depan pagar rumah bercat putih kusam itu, Sugih memasang wajah tak berdosa persis ekspresi segolongan orang yang pura-pura lupa ketika ditagih buat bayar hutang. Sugih membuka pagar, berjalan ke teras, lalu mengetuk pintu.

Dari dalam Lastri muncul membukakan pintu. Kakak perempuannya itu tak sedikit pun terkejut melihat kedatangan Sugih. Hanya dengan satu gedikan kepala, Lastri menyuruh Sugih untuk segera masuk ke rumah.

Ketika menginjakkan kaki ke dalam rumah, Sugih menemukan ada yang tidak beres. Tempat yang ditinggalinya sejak kecil itu menjadi terasa hampa dan dingin sampai-sampai membuat bulu kuduknya meremang. Banyak debu di setiap perabotan, bahkan di sudut-sudut ruangan terdapat lumut dan jaring laba-laba. Mengetahui sifat Ibunya yang sangat beriman, karena kebersihan sebagian dari iman, tidak mungkin keadaan kotor ini dibiarkan begitu saja.

Sugih menatap Lastri untuk meminta jawaban.

"Duduk, Bocah Tengil!" perintah Lastri, menunjuk kursi berdebu di depannya. "Aku tahu apa yang kamu pikirkan." Ia melihat bungkusan di tangan Sugih, lalu mendengus. "Cih, kamu bermaksud pamer hanya dengan membawa bungkusan itu? Merasa berhasil, hah? Memangnya jadi apa kamu di kota?"

"Tukang bakso."

Kalau saja situasinya berbeda, Lastri pasti akan tertawa mendengar kepolosan jawaban dari adiknya itu. Namun, perbuatan Sugih yang kabur dari rumah menimbulkan petaka yang tidak bisa ia maafkan.

Lastri menatap dingin wajah Sugih yang mulai gugup. "I-ibu dan Ba-bapak kemana, Mbak?" tanya adiknya tergagap-gagap.

Langsung pada inti. Tanpa tedeng aling-aling. Lastri menjawab, "Bapak dan Ibu sudah meninggal."

Semenjak hari itu Mas Sugih berubah sifat menjadi rendah hati.


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 04, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Keluarga CemaniWhere stories live. Discover now