Chapter 3

361 57 10
                                    

Sesuai ucapannya di kantin, Becky jarang ke rumahku akhir akhir ini. Aku tidak tahu apa alasan jelasnya. Setiap kali kutanya, ia langsung berusaha menghalingkan pembicaraan. Mungkin ia tidak ingin ditanya terus menerus maka aku lebih memilih untuk diam. Satu hal yang dapat kulihat; Becky tidak lagi mengejar Austin. Soal Austin, aku akan terus menagih janjinya yang ingin mengajakku berkunjung ke rumah Alex.

Minggu pertama weekend, Austin menepati janjinya. Karena aku tahu mereka akan mengabaikanku disana, jadi lebih baik aku mengajak Becky untuk menemaniku.

Mengambil ponsel segera aku menelpon Becky. Setelah nada sambung ketiga akhirnya ada suara.

"Haroh? Ada apa kawh menelponku? Khangen?”

"Kau sedang apa? Berbicara saja tidak becus.”

Becky terkekeh, “Maaf, aku sedang menyikat gigi. Ada apa?”

“Oh iya, hampir lupa. Temani aku ke rumah Alex ya.”

"Apa aku tidak salah dengar? Kau ingin ke rumah lelaki pendek super annoying itu? Tidak. Aku tidak mau. Lebih baik aku membaca setumpuk buku sejarah yang jelas lebih bermanfaat daripada bertemu bocah itu."

Aku memutar mata malas. “Kalian sama sama pendek, asal kau tahu. Oke kembali ke topik. Ayolah Becky yang mirip penyanyi waktu kita lihat konsernya di Kanada, yang nyanyi ‘Shower’.” aku mencoba membujuk Becky dengan memujinya.

"Sebanyak apapun kau memujiku, aku tetap menjawab tidak. Memangnya kau ada kepentingan apa sampai ingin sekali kesana?" Rupanya Becky tidak termakan pujianku.

"Hanya berkunjung. Bermain, mungkin? Entahlah. Intinya, tiga puluh menit lagi aku dan Austin sudah di depan rumahmu." Dengan begitu, aku langsung menutup sambungannya secara sepihak tanpa peduli jawaban dari Becky. Sudah pasti dia akan ikut. Apalagi aku baru menyebutkan nama Austin.

Berjalan ke halaman rumah, aku langsung memakai sepatu converse merah yang senada dengan cardigan yang kupakai. Sudut mataku menangkap Austin sudah menunggu diluar.

“Lama sekali, tuan putri. Aku sudah dilumuti sangking lamanya.” Austin memaksakan senyumnya.

Tak enak hati, aku meminta maaf dan berkata, "Jemput Becky dulu, ya."

"Becky kembaranmu? Untuk apa?”

“Aku mengajaknya untuk bergabung. Please, Austin. Apa kau tega melihatku tidak ada teman saat disana?” Aku membujuknya. Semoga saja berhasil.

"Memangnya kau tidak menganggapku teman?” Tanya Austin sambil mengerutkan dahinya.

“Bukan begitu. Maksudku, aku yakin saat bertemu Alex nanti, kau akan asik dengannya dan aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan lalu aku memintamu untuk mengantarku pulang secepatnya. Kau mau?" Ucapku menggebu-gebu.

Okay, okay. Baiklah kita ke rumah kembaranmu sekarang.” Kata Austin sambil menyeretku masuk kedalam mobilnya.

Dalam hati, aku berteriak kegirangan.

Author POV

Selama di rumah Alex, Camila dan Austin terhibur dengan kelakuan dua temannya yang terus mendebatkan hal-hal kecil.

Tujuan utama Camila terwujud. Ia meminjam beberapa buku koleksi Alex yang ternyata selera serupa. Camila tahu sebenarnya Becky masih menyukai Austin. Camila sering mendapatkan Becky yang berusaha membuka perbincangan dengan Austin saat Camila asik mengobrol bersama Alex. Tanpa disengaja, kedua sudut bibir Camila terangkat saat melihat keduanya tertawa. Entah apa yang ditertawakan.

"Aku yakin kalian sedang menahan lapar." Tebak Austin membuka pembicaraan. Mata austin melirik  Alex yang sibuk mengganti channel TV tak henti.

Yang disindir langsung peka. “Kalian mau makan? Coba liat di kulkas. Sepertinya banyak makanan. Kalau perlu habiskan.”

Ketiga teman Alex langsung berhambur ke kulkas. Walaupun dari tadi mereka memakan cemilan, tetap saja lapar.

“Katanya banyak! Tapi yang kita temukan hanya susu dan selai jeruk.” keluh Becky.

“Kalau begitu, minumlah susu itu agar kau cepat tinggi.” Saran Alex. Becky hanya menggerakan tangannya dengan gaya menonjok ke arah Alex dari belakang.

Austin berdeham sambil menepuk pundak Becky dan Camila bersamaan. “Kalian 'kan calon Ibu rumah tangga, buatlah bahan-bahan di kulkas itu jadi sesuatu.”

“Mau pancake? Bahan-bahannya sepertinya ada. Madu, susu, tepung, telur, selai dan kawanannya ada. Cokelat yang masih berbentuk batang juga ada.” Ucap Alex. Kini, ia sudah menemukan channel TV yang cocok.

“Ide bagus!” Seru Camila. Becky mengangguk.

Dapur Alex masih bersih. Hari ini memang hanya lelaki itu sendiri dirumah. Alex biasa membeli makan di luar sehingga dapurnya terlihat tidak tersentuh. Alat masak juga tertata rapih dan masih berkilauan. Jarang sekali di pakai.

"Kalau masalah pancake, asal ada aku, masakan restoran juga kalah enak. Percaya deh.” Becky melipat kedua tangan di depan dadanya.

“Oh ya?” Camila menatap Becky tidak percaya.

Becky mulai memasukkan tepung kedalam mangkuk besar. “Iya. Tadi saja sebelum kau dan Austin datang, aku menyempatkan membuat pancake dulu untuk Mom.”

Camila memasang senyum jahilnya. Dengan santainya ia berkata, "Sayangnya aku tidak peduli." Kemudian ia tertawa.

Fuck!” Becky kesal. Tangannya ia gerakkan untuk mengoleskan tepung ke pipi Camila. Camila yang sedang mencairkan cokelat, langsung membalas mengoleskan cokelatnya itu ke hidung Becky. Cokelat nya memang masih sedikit panas tapi sudah bisa di pegang.

Bukannya membalas lagi, Becky malah mencolek hidungnya sendiri lalu langsung mengemut jarinya. “Mmm, delicious.”

“Jorok!” Camila menoyor kepala Becky.

15 menit kemudian, pancake sudah siap. Mereka menyantapnya bersama sama. Perut sudah terisi, saatnya mereka pulang.

“Tin, mau kemana lagi?” Tanya Camila saat melihat gerak gerik Austin yang ingin balik badan ke dalam rumah Alex. Padahal Camila dan Becky sudah siap pulang.

Austin menyeringai, “Ke kamar mandi, kau ingin ikut?” Camila refleks menggeleng kuat.

Hari sudah malam. Bulan sudah berani menampakkan dirinya. Tak lupa bintang bertaburan menandakan hari itu adalah malam yang cerah.

Austin membuka jendela. Tirainya sudah terbuka dari tadi. Seperti biasa, Camila dan Austin mengobrol lewat jendela masing masing saat tidak ada kerjaan. Saat mendengar lelaki itu memanggil namanya, kontan yang dipanggil menengok. Lalu menghalingkan pandangannya lagi fokus pada novel yang habis ia pinjam dari Alex.

“Apa?” tanya gadis itu acuh tak acuh.

“Aku ingin bicara sesuatu.”

"Kalau begitu, bicara.” Camila masih berkutat dengan bukunya.

“Bisakah kau melihatku sebentar?” Pinta lelaki di seberangnya.

Menghela napas, Camila mencari pembatas buku lalu menutup novelnya. Dipandangnya Austin yang sedang menggaruk kepalanya. Camila menunggu sambil mengangkat alis bingung. Tidak biasanya tetangganya seperti itu.

"Hm... saat aku meminjam buku catatanmu, aku menemukan tulisan bertuliskan ‘Love u, Austin.’ di bagian paling belakang.” Austin mengambil secarik kertas di belakangnya dengan cepat. “Aku juga menulisnya.” Tambah lelaki itu. Austin memperlihatkan tulisan ‘Love u, Mila.’ dengan kertas yang hampir sama. "Sebenarnya aku menyukaimu sejak kita sering menghabiskan waktu bersama seperti ini.”

Dan itulah satu kalimat ajaib yang mampu membuat Camila merasakan sesuatu tengah berdesir di dalam tubuhnya.

***

TO BE CONTINUED

A/N:
Austin & Alex on multimedia.

You Are in LoveOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz