The Windowpane

348 65 17
                                    

KRIST'S POV

Aku ingat bagaimana awal mula kami bertemu. Tepatnya, tiga bulan yang lalu.

Perpustakaan adalah salah satu tempat paling tidak diminati oleh kebanyakan siswa. Letaknya yang berada di lantai tiga pada ujung koridor membuat orang malas untuk pergi ke sana. Namun bagiku, perpustakaan adalah tempat yang paling indah di sekolah ini. Ada begitu banyak buku yang pastinya tidak dimiliki oleh semua orang, tersedia di tempat ini. Aku yang memang mencintai buku dan seorang penulis, tentunya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ketika guru memintaku untuk menjadi penjaga perpustakaan setiap hari Selasa dan Sabtu. Tepat pada saat aku selesai dari kegiatan klub sastra yang aku ikuti.

Tidak ada yang istimewa dari kegiatanku menjaga perpustakaan. Mengembalikan buku ke rak, memasang sampul pada buku baru yang sudah didaftar, duduk diam di meja penjaga sambil menikmati bacaan atau sesekali menulis. Tempat yang lebih sering tanpa pengunjung ini ibarat taman pribadi milikku. Semuanya berjalan seperti biasa hingga kemudian sosok itu tiba-tiba datang, ketika aku tengah sibuk menyusun buku yang baru saja dikembalikan oleh pengunjung di meja penjaga. Dia yang tanpa permisi langsung duduk di bangku ketiga dekat jendela.

Dia tidak membaca buku yang diambilnya dari rak penyimpanan. Buku yang entah kenapa selalu sama dan hanya dibiarkan terbuka secara asal di hadapannya, tanpa sekalipun dia lirik. Dia hanya menopang dagu dan dalam diam memandangi jendela perpustakaan.

Kutelisik sosoknya. Kuakui dia memang tampan. Sangat tampan. Dengan rambut hitam bergelombang yang terukir secara apik layaknya mahkota kebesaran raja. Dua piercing yang menghiasi kedua telinganya, sedikit membuatku merasa janggal jika sosok sepertinya datang ke perpustakaan untuk membaca buku atau sekedar beristirahat melepas lelah.

Aku tahu siapa dia, dan risiko apa yang akan aku terima jika berurusan dengannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Aku tahu siapa dia, dan risiko apa yang akan aku terima jika berurusan dengannya. Ditambah, kegiatanku yang seperti paparazi tidak tahu malu ini mungkin akan membuatnya risi jika dia menyadarinya. Namun, aku tidak perduli. Wajah tampannya entah sejak kapan sudah membelenggu diriku untuk terus merekam jejak akan dirinya.

Aku tak pernah merasa seperti ini. Hatiku seolah menghangat setiap kali aku memandang wajahnya. Walau ekspresi yang ditunjukkan selalu sama, duduk termenung menopang dagu sambil memandangi jendela di sebelahnya. Ah.... Mungkin ini perasaan yang selalu diumbar-umbar oleh sahabatku, perasaan cinta pada pandangan pertama.

---------

Aku melirik jam tangan pemberian kakakku yang sedang berkuliah di Jerman. Katanya, itu sebagai hadiah ulang tahunku kemarin lalu dan permintaan maaf karena tidak bisa hadir untuk merayakannya. Bisa kulihat antara angka lima dan enam kini sudah terbentuk sudut dua puluh satu derajat. Ah, sudah tiba saatnya bagiku berbenah dan mengunci pintu perpustakaan. Ku edarkan pandangan dan kudapati pemuda itu, Singto, masih berada di kursi sana. Kedua tangannya bersedekap, kepalanya terkulai lemah, sepertinya dia tertidur.

Haruskah aku menghampirinya? Tidak mungkinkan aku meninggalkannya di sini dan langsung mengunci pintu? Tak bisa kubayangkan kengerian yang mungkin tercipta jika hal itu kulakukan. Maka dengan langkah berat kuhampiri pemuda itu. Ternyata dia memang tertidur. Bagaimana caraku membangunkannya?! Jika dia siswa lain yang ke perpustakaan hanya untuk mencari angin aku tak khawatir. Masalahnya, dia, pemuda yang ada di depanku ini adalah Singto. Kutatap jam yang ada di atas pintu perpustakaan sana dan Singto bergantian, sedikit ragu. Semakin lama aku menunggu keberanianku unuk muncul, semakin lambat pula aku menyelesaikan tanggung jawabku.

The WindowpaneWhere stories live. Discover now