AGAIN~b

1.6K 248 4
                                    


Namanya saudara, meski lama berpisah, kedekatan dan kehangatan saat kembali bertemu masih tetap sama. Terutama kalau sudah menyangkut candaan dan memori jadul. Kali ini keputusanku ke Surabaya sangat tepat. Dengan mampir ke sini dan bersenang-senang, aku bisa kembali ke Jakarta dalam keadaan segar bugar dan siap bertempur. Aku yakin, dua hari di sini akan menjadi booster ampuh untuk kondisi psikologisku yang kacau.

Sejak telepon Arum pagi hari itu, tidak ada kabar lagi dari mereka––Wingko dan Arum. Beberapa waktu setelah peristiwa itu, aku baru tersadar telepon itu sepertinya terpencet tidak sengaja. Makanya saat kutelepon balik, dia tidak mengangkatnya. Sampai sekarang setiap memikirkan itu lagi, aku ingin mengutuk diriku sendiri. Bagaimana bisa aku berpikiran Arum yang menelepon, lebih parahnya aku sempat berpikir itu Wingko yang ingin meminta maaf. Poor Mara!

Acara piton-piton atau tedak siten dilakukan pukul tujuh petang, tiga jam lagi. Sebagian besar pernak-pernik acara, termasuk catering dan dekorasi sudah ditangani event organizer.
Meskipun begitu Ratri masih saja repot mengatur ini-itu, hingga tidak punya waktu lagi untuk menemani kami.

Aku tidak kaget sih, memang sejak kecil Ratri tipe perfeksionis. Aku masih ingat saat dia menangis seharian hanya karena tidak bisa mengerjakan satu dari dua puluh soal matematika. Tidak heran dia langganan juara dalam berbagai bidang. Berbeda denganku yang hanya terkenal karena dandanan kece (ini versi Budi, sih).

Selain cerdas, elegan, dan taat aturan, Ratri juga sangat patuh pada orang tuanya. Mulai jurusan kuliah, pekerjaan, bahkan pernikahan, semua diatur orang tuanya. Hebat, kan?! Mungkin kepatuhan dan ketaatannya selama ini yang membuat hidupnya bahagia, sukses, dan lempeng. Tidak seperti aku.

Seandainya Bella ada di sini dan mendengar aku ngomong seperti ini, dia pasti akan menyelaku, “Lo ngelihatnya dari luar. Dari kejauhan. Seumpana hutan, lo hanya ngelihat lukisan hutan hijau kecokelatan yang memukau berbingkai pigura emas. Lo kagak ngelihat dalamnya hutan. Lo kagak ngelihat satu per satu pohonnya. Di sana ada pohon yang kerdil, yang patah cabangnya, yang daunnya dimakan ulat, bahkan semak belukar penuh ular beracun.” Ah, Gadis itu terkadang bisa lebih pintar daripadaku.

Membayangkan Bella, aku jadi ingin meneleponnya. Jemariku masih men-scroll daftar kontak saat Bayu mendatangiku. “Kamu mojok di sini ngapain, A?” Lelaki berkacamata dengan kemeja biru itu duduk di sebelahku. Jangan kaget. Dia memang satu-satunya orang yang memanggil dengan inisial nama tengahku.

Seperti yang pernah kubilang, Bayu setahun di atasku. Perawakannya tinggi dengan kulit kuning langsat menurun dari bapaknya. Otaknya lumayan, di atas aku tapi masih di bawah Ratri. Sudah kubilang kan? Otakku ini pas-pasan sekali.

Bayu terkenal cerdik, sehingga suka mengakali aku dan Ratri. Kami––aku dan Ratri––sering diperalat Bayu untuk mengerjakan PR-nya. Bukan hanya itu, uang saku kami pun, sering jatuh ke tangannya.

Meskipun begitu, lelaki itu suka mengantar kami ke mana-mana dan selalu melindungi kami kalau ada orang yang mengganggu, kecuali di jam sekolah. Hal ini disebabkan karena sekolah Bayu berbeda dengan sekolah kami. Sejak SD dia bersekolah di kota, sedangkan kami di sekolah terdekat dari rumah.

Kami duduk di beranda samping rumah Ratri, menghadap taman kecil yang ditanami aneka bunga warna-warni.

Aku tertawa melihatnya. “Ye... kayak Mas nggak pernah muda aja.”

“Woi, aku sekarang juga masih muda,” balas Bayu yang sesekali melihat layar ponselnya yang masih menyala.

“Mudaan mana sama aku?”

Dia mengacak-acak rambutku. “Gimana Jakarta?

Merengut, aku merapikan rambut kembali. “Statusnya masih ibukota. Jalanannya juga masih macet. Mas sendiri, gimana? Mana pacar?

“Ada. Kamu?”

“Masih sibuk seleksi, nih.”

“Kamu ikut seleksi?”  Bayu menaikkan alisnya sebelah.

Meski dalam hati mencelus, aku terpaksa mendelik. “Woi, Mara yang nyeleksi.” Aku menggaplok pundaknya hingga dia meringis kesakitan. “Mas jadi pulang ke Brojol?”

“Belum tahu.  Ibu maunya gitu, tapi jadwalku padat banget, nih.” Bayu mulai sibuk mengetik di ponselnya.

“Pedekate?”

Dia menolehku. “Kenapa sih cewek itu pembahasannya nggak pernah jauh-jauh dari percintaan?”

“Tanpa cinta dunia ini hampa. Tanpa asmara hidup akan sia-sia,” jawabku dengan gaya membaca puisi.

“Dasar bucin!” Dia menggeleng-geleng.

“Ratri bilang kamu pulang nanti malam? Ke Jakarta?”

“Ya iyalah. Mara kan anak Jakarta.”

“A, kita taruhan, yuk?”

Aku melongo. “Taruhan apa?” Nah kan, si kancil in action.

Bayu mematikan ponselnya untuk berbicara kepadaku. “Siapa yang merit duluan jadi pemenang. Yang kalah harus bayarin honeymoon si pemenang.”

Aku memutar mata. “Ah, modus. Aku nggak mau,” balasku sembari tertawa.

“Lah, nih anak. Aku serius, tahu?”

“Mara udah gede dan full pengalaman. Hanya tupai yang jatuh dua kali ke lubang sama, Mas Bro,” aku membenahi kerah kemejanya yang kusut. “Mas mau kado honeymoon? Jujur aja, kenapa? Nggak usah pakai acara taruhan segala.”  Aku menyikut lengannya.

“Eh, tapi kalau kamu yang duluan kan, aku juga bayar, A. Beneran ini,” ucap Bayu dengan wajah meyakinkan.

Jangan-jangan maksud Bayu memang positif, ingin memotivasiku––dan mungkin juga dia––untuk cepat berkeluarga.

“Deal. Oke?”

Sejenak, aku terdiam. Kilasan wajah Wingko dan Arum melintas di pelupuk. Aku membayangkan Arum kembali dengan selamat dan Wingko menyadari kesalahannya. Sebentar. Atau jangan-jangan memang aku yang salah. Dan itu artinya aku yang seharusnya minta maaf. No way! Tamara. A. Wibisono tidak akan pernah melakukan itu. Tidak!

Ponsel Bayu berdering. Saat melihat layar ponsel, kakak sepupuku itu tersenyum lebar. Jelas sekali kebahagiaan menyelimutinya. “Bentar ya, A,” ucapnya sembari menggeloyor pergi. Samar, aku mendengar dia berkata, “Iya, Sayang?”

Aku mau beranjak menuju ruang tamu untuk berkumpul dengan yang lainnya, saat ponselku juga berbunyi. Kulihat nama Arum muncul di layar. Aku memilih mengabaikan saja dengan meng-silent ponsel lalu memasukkannya ke saku celana. Aku tidak mau kejadian tempo hari berulang.

Sepuluh menit kemudian, aku mengeluarkan ponsel untuk mengambil foto anak Ratri. Aku melotot saat melihat sepuluh miss call yang semuanya dari Arum. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memencet tombol calling back. Andai kali ini berakhir sama dengan tempo hari, ya anggap saja aku berbuat bodoh untuk terakhir kalinya.

“Halo, Tante. Ini Arum.”

Aku mencelus, dalan hati merutuki diri, kenapa tidak mengangkatnya di panggilan pertama. “A-ada apa, Sayang?”

“Bapak....”

Tut tut tut.
Panggilan terputus, mungkin karena baterai habis. Atau ketahuan bapaknya.



DESIGNING US (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang