seventh note

848 175 19
                                    

"Nah itu rumah Arjuna," Haikal menunjuk pada rumah berwarna biru di depannya. "Lu yakin, Sa?"

Angkasa mengangguk yakin, "Udah nyampe sini masa ga jadi."

"Ya terserah sih. Yang penting gue udah cerita ke lu soal orangtua dia kayak gimana tanpa dilebih-lebihkan," Lanjut Haikal yang kemudian menepuk bahu Angkasa, "Sukses ya."

"Buset didoain sukses segala udah kayak mau ngelamar anak orang," Angkasa mendengus geli.

"Siapa tau suatu hari nanti lu mau ngelamar dia."

"Saya mah kalo suka sama laki-laki pun ga mungkin saya suka sama Arjuna."

"Kenapa gitu?"

"Dia ganas."

Haikal tertawa terbahak-bahak sampai memegangi perutnya, "Yaelah bukannya yang ganas malah lebih menantang ya?"

"Bisa patah tulang saya ditendangin tiap hari sama dia."

"Awas kata-kata lu bisa jadi bumerang nanti," Haikal kembali terkekeh melihat Angkasa yang hanya mengangkat bahu dengan tak acuh, "Yaudah gue duluan ya. Kalo mau mampir rumah gue noh di sebelahnya yang warna ijo neon tuh."

"Oke, makasih ya Kal."

Haikal mengangkat ibu jarinya sebagai jawaban. Setelahnya dia kembali memacu motornya untuk beranjak pulang ke rumahnya. Angkasa memang berniat ke rumah Arjuna sejak beberapa hari lalu. Oleh karena itu dia sengaja mengikuti Haikal saat pulang dari sekolah. Sebab setahunya rumah mereka hanya bersebelahan.

Namun sebelumnya Angkasa sudah menceritakan niatnya ke rumah Arjuna pada Haikal. Untungnya Haikal tak merasa keberatan menunjukkan yang mana rumah Arjuna padanya. Bahkan Haikal memberikan beberapa wejangan dalam menghadapi orangtua rekannya di OSIS itu.

Bermodalkan niat dan nekat, Angkasa turun dari motornya. Meninggalkan kuda besinya yang terparkir di dekat pintu gerbang. Menghela napas panjang, kini dirinya telah berdiri tepat di depan pintu rumah tersebut. Tangannya terjulur untuk memencet bell, entah kenapa tiba-tiba dia merasa gugup.

"Siapa ya?" Tidak perlu menunggu waktu lama untuk dibukakan pintu. Wanita itu mengernyit memperhatikan pemuda dihadapannya dari bawah sampai atas.

Mencoba menutupi rasa gugup, Angkasa tersenyum seramah mungkin, "Halo, Tante. Saya temennya Arjuna."

Mama Arjuna ber-oh paham, "Ada apa ya? Arjunanya belum pulang tuh."

"Saya kesini memang ingin bertemu dengan Tante. Ada yang mau saya bicarakan."

Mendengar pernyataan Angkasa membuat wanita itu mengangkat kedua alisnya bertanya-tanya dalam hati. Baru pertama kali ini ada teman SMA Arjuna yang bersinggah ke rumahnya. Dan temannya itu berkata ada hal penting yang ingin dibicarakan. Kemudian Mama Arjuna pun mempersilakan Angkasa untuk masuk ke dalam rumah. Akan lebih baik jika berbincang sembari duduk di ruang tamu, katanya.

"Ada surat dari sekolah?"

"Tidak ada, Om. Acara ini diadakan oleh anak-anak OSIS saja."

Setelah berdiskusi beberapa menit dengan Mama Arjuna, mereka tak menemukan titik terang. Berkali-kali Mama Arjuna menjelaskan alasannya melarang Arjuna untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut. Angkasa cukup kagum dengan cara Mama Arjuna menjelaskan, wanita itu terlihat sangat lembut dan menggunakan kalimat yang baik.

Angkasa sempat berpikir bagaimana wanita selembut ini bisa memiliki anak se-bar bar Arjuna. Namun setelah dihadapkan dengan Papa Arjuna, pemuda itu paham darimana asalnya sifat keras yang Arjuna miliki. Karena tak yakin untuk memberikan keputusan, Mama Arjuna pun memanggil suaminya ke ruang tamu beberapa saat lalu. Katanya seluruh keputusan di keluarga ini berada di tangan sang Kepala Keluarga tersebut.

SEMESTA [✓]Where stories live. Discover now