Terserah

2K 538 139
                                    

▪️3 Hari Lagi

Ada sebuah istilah medis bernama euthanasia, yaitu tindakan mengakhiri hidup pasien dikarenakan penderitaan fisik maupun psikis yang tidak tertahankan lagi. Belanda menjadi negara pertama yang melegalkan euthanasia. Ketentuan hukum yang mengatur hal tersebut diluncurkan 10 April 2001 dan dinyatakan efektif sejak 1 April 2002. Yang dengan kata lain, euthanasia bersifat legal di Negara Kincir Angin bertahun-tahun lamanya.

Jujur saja Revel antusias ketika mempelajari cara bunuh diri tersebut. Benar kata tim pro euthanasia. Seperti layaknya hak hidup, manusia juga memiliki hak mati. Sebab bagaimanapun, memaksakan kehidupan yang menderita merupakan tindakan irasional. Namun sial, kenyataan bahwa dirinya bukan warga negara Belanda membuatnya harus menelan bulat-bulat bahwa ia tidak bisa mati dengan euthanasia.

Bicara soal kematian, sejauh ini Revel belum mengendurkan niat. Memang kejadian kemarin ——saat ia rope jumping bersama Wendy—— sempat menyentaknya, bahwa ia mungkin belum benar-benar siap. Tapi kalau kembali pada alasan ia bertahan, sejauh ini belum ada yang masuk akal.

Dulu, salah satu pertimbangannya dalam bertahan adalah sang nenek. Tapi sekarang wanita itu sudah pergi. Kini Revel benar-benar sendirian. Tidak punya alasan untuk menjalani hari. Hatinya semakin hampa. Kosong. Tidak berpenghuni.

Kalau mau, ia bisa saja bertahan dengan alasan wisuda. Setelah ia mendapat gelar, mungkin kehidupannya bisa lebih baik. Tapi tidak. Sang Pemusnah Massal mengatakan, "Cepat atau lambat, manusia akan tetap mati. Apa gunanya menjalani hari-hari yang hampa? Hanya membuang waktu dan tenaga. Dunia tidak akan rugi jika ditinggal manusia sepertimu. Jadi lakukanlah segera. Tinggalkan ketidakadilan nan memuakkan ini secepatnya."

Tapi Oma mau aku wisuda, bantah Revel sambil memijat pelipis. Hatinya nyeri jika ingat percakapan dengan sang nenek waktu itu. Tidak pernah ia bayangkan obrolan itu adalah yang terakhir. Dengan suara lembut, sang nenek mengungkapkan harapan besar. Bahwa Revel pasti bisa. Bahwa nanti, mereka akan berfoto bersama.

Revel menyesal. Jika saja ia tahu takkan bersua dengan neneknya lagi, ingin rasanya ia merekam omongan itu. Memutarnya setiap kali ia rindu.

Setetes bening meluncur di sudut mata Revel. Ia segera menyeka lalu menggigit bibir. Jujur ia seperti orang linglung. Tidak tahu arah. Tidak bisa ke mana-mana. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu. Tidak tahu!

Revel merebahkan punggung di kasur. Matanya lurus menatap langit-langit kamar kosan. Ia lantas mengerjap berat sambil memegang dada. Terasa denyut normal di dalam sana. Menandankan kehidupan yang tetap bergulir sama seperti kemarin-kemarin.

Lalu seakan setuju pada kata-kata sang Pemusnah Massal, Revel lantas berbicara sendiri, "Jantung ini harusnya diberikan pada anak-anak yang punya kelainan jantung. Masa depan mereka lebih cerah. Kenapa benda sialan ini masih saja ada di dadaku?"

Sedetik ia bicara, ponsel di samping kepalanya berbunyi. Saat melihat nama yang terpampang, ia enggan mengangkat telepon. Disimpan saja ponsel di tempat semula. Entah memang kebetulan atau bukan, akhir-akhir ini setiap kali Wendy menghubunginya, pasti Revel sedang menguatkan hati untuk mati.

Revel tidak mengangkat panggilan Wendy yang masih menyemarak di kamar. Dibiarkannya dering ponsel hilang dengan sendirinya. Namun belum satu menit berlalu, suara panggilan kembali terdengar. Geram, Revel meraih benda pipih tersebut dan menerima panggilan.

"Hari ini saya sibuk, Wen. Tolong jangan ganggu dulu!" sahut Revel dalam satu kali tarikan napas.

"Sibuk revisi, kan?"

Aku dan Sang Pemusnah MasalWhere stories live. Discover now