Ranjang Sahabat

16 0 0
                                    

"Ziel?" Ayah memegang bahuku. Ia tahu apa yang terjadi pada putrinya. Ditinggal menikah oleh sang kekasih, miris. Datang kepernikahan mantan kekasih dan sahabat? Memberi selamat dengan senyum bahagia kuumbar, maaf hatiku tak selapang itu.

"Lanjutkan hidupmu. Kuliahmu, ingat perjuanganmu dulu untuk masuk bangku kuliah?" Netraku terpejam. Lahir dari orang tua tak punya bukan sebuah keinginan, tak ada anak yang bisa memilih orang tuanya bukan? Tetapi setiap orang bisa menentukan masa depannya dengan berjuang.

"Ikhlasin dia. Allah, sudah mempersiapkan jodoh terbaik untukmu." Ayah, mengusap bahuku lalu membawaku ke dalam pelukannya.

Mereka tahu antara hubunganku dengan Mas Lucky, bagaimana tidak hampir seminggu tiga kali dia selalu berkunjung ke rumahku. Bahkan kami selalu menghabiskan waktu di rumah.

"Ziel, ada Dicki."

Kulirik Ibu muncul di pintu kamar.

Aku mengangguk.

"Ziel. Ayo." Dicki, sudah masuk ke kamarku. Dia menarik kursi rias untuk duduk.

Ayah dan Ibu, pergi meninggalkan kami berdua.

"Ziel. Kamu itu anak tunggal, gak kasihan lihat orang tuamu bersedih? Karenamu?" tanya Dicki.

"Dengar! Kami terluka, tetapi orang tuamu lebih terluka. Tugasmu membahagiakannya di masa tua bukan menambah bebannya." Kulirik Dicki, menatapku tajam. Netranya membulat, ia terlihat begitu marah.

"Apa? Mau coba bunuh diri lagi? Lemah! Cuman karena cinta nyawa tiada."

"Ayo, bersiap." Dicki meraih tas selempangku lalu mengambilkan sweter rajut yang menggantung di pintu.

"Om, Tan, Dicki pamit." Setelah pamit dia menuntunku ke mobilnya.

Bukan bekerja atau pergi kuliah serta jalan-jalan. Selama tiga minggu terakhir Dicki, membawaku ke psikiater. Kali ini aku seperti orang gila! Benar-benar mirip orang yang punya masalah kejiwaan. Kadang hatiku bertanya, benarkah jiwaku terganggu?

"Lusa, kamu mulai kuliah dan Ira yang akan menemanimu ke mana pun. Aku, tak bisa menemanimu lagi." Kulirik Dicki yang tengah fokus menyetir. Mau ke mana dia? Sudah lelah menjagaku, menemaniku?

"Mau ke mana?"

Dicki melirikku lalu sebelah tangannya mengusap puncak kepalaku. Dia tertawa hambar.

"Aku, ada tugas. Bisa mengantarku ke bandara?" Aku mengangguk.

***

Pagi-pagi sekali Ira, sudah di rumahku. Heran, bersiap pukul berapa dirinya?

"Ayo."

Aku mengangguk. Mengambil jaket lalu pamit.

Dicki dan Ira itu cocok. Sikapnya, saling melengkapi, jika Ira tak sabaran Dicki itu biangnya sabar. Ira ceplas-ceplos dan Dicki, berbicara seadanya.

Aku segera memakai helm.

Embun masih menyelimuti jalanan. Hawa dingin terasa menusuk kulit, padahal sudah memakai jaket tebal.

Enam puluh menit berlalu. Akhirnya, kami sampai. Ira segera menarikku.

Netraku terpusat pada seorang lelaki dengan pakaian loreng yang tengah asyik bercengkrama dengan sahabat-sahabatnya.

"Aziel!" Dicki berlari ke arahku lalu memelukku erat.

"Kukira kalian tak hadir."

"No!" Ira mendorong tubuh Dicki yang hendak memeluknya.

"Ziel, yang lama. Banyak alasan." Ira mengadu pada Dicki menyebalkan.

"Orang tuamu, tak hadir?" tanyaku tak melihat kehadiran mereka. Apa sudah pulang?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 30, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ranjang Sahabat Where stories live. Discover now