3. Tak Apa [3/3]

49 3 2
                                    

Satu tahun saling mengenal.
Dua tahun saling mencintai.

Baik Mark maupun Farah tak pernah berkpetasi untuk mengakhiri hubungan seperti ini. Ketika hubungan yang terjalin dengan sangat baik dan dalam mendatangkan rasa bosan hingga menghambar.

Mark ataupun Farah, sama. Bosan dalam menjalani hubungan yang memiliki arus monoton tanpa ada emosi berarti. Tanpa ada kesan berarti. Selalu mendatangkan pikiran tak baik setiap malamnya.

Apakah aku benar pantas untuk dia?

"In the end we must stop this," Mark menatap debaran ombak yang menghantam bibir pantai. "Aku masih mikir, how can I don't love you properly?"

Farah meremas ujung bajunya pelan. Mengigit bibirnya cemas. "Hal yang sama, Mark. Aku juga... Takut."

Kali ini perhatian Mark hanya ada pada Farah yang sangat cantik di hadapannya. Selalu sama semenjak tiga tahun lalu bagaimana Farah dapat menarik perhatiannya dan membuat cinta menghujam.

"Takut apa?"

"Menghadapi kenyataan dan mengetahui fakta bahwa aku bosan."

Mark tertawa miris. Persis sekali ketika ia mengetahui fakta tentang hatinya beberapa bulan lalu, mencoba bertahan dan terus berjuang dimana ia pahami itu sangat menyakitkan karena tak menghasilkan tentang apa-apa.

"Setidaknya, kita masih setia antara satu sama lain."

Ya, benar.

Setidaknya hati mereka masih normal dan mempertahankan kualitas manusia baik untuk tak menduakan perasaan orang lain, walaupun, yah, hubungan itu sudah berada di pinggir jurang. Siap jatuh atau terselamatkan.

—-

Mark mendekap Farah dalam diam. Menghirup aroma khas bayi yang dimiliki oleh pacarnya. Aroma yang selalu, dan akan terus ia rindukan.

Hening. Tak ada suara yang mereka keluarkan, begini saja tak apa-apa. Melepaskan rindu yang kala akan datang kapan-kapan.

Hanya ada suara burung camar dan ombak yang menabrak batu karang menemani mereka bersama mentari yang mulai tertidur.

Deja Vu pada pertama kali mereka berdua menginjakan pantai dan berbagi udara yang sama. Berbagi rasa yang sama, ketika saat dulu cinta benar-benar sedang menggelora.

"Mark," Farah memanggil ketika ia terhanyut pada pelukan kekasihnya.

"Hm?"

"Berakhir bukan artinya menyerah, kan?"

Mark melepaskan pelukannya pada Farah. Terdiam. Punggungnya menegap. Matanya memandang Farah lurus, tanpa cinta yang sama lagi.

Kenapa harus ada kata bosan dalam sebuah hubungan? Kenapa harus ada kata berakhir dan memulai dalam sebuah hubungan?

Baik Farah maupun Mark sama-sama bertanya pada hati yang sangat egois. Kenapa mereka harus berada pada posisi ini yang menuntun hubungan mereka pada sebuah jalan buntu.

Farah menutup matanya ketika Mark menunduk, memberikan kecupan perpisahan yang tak akan pernah ada lagi mulai esok.

Tanpa dapat dicegah, air mata yang sudah Farah tahan sejak tadi jatuh. Pertahanannya di terobos oleh sesak yang teramat pilu.

Cinta itu magis. Begitu magisnya hingga dapat menerbangkan dan menjatuhkan seseorang. Sangat baik dan jahat secara bersamaan.

"Farah, aku kemarin dengarin lagunya Nadin Amizah yang kamu rekomendasikan."

Mark menghapus air mata Farah yang terus berjatuhan. Mengecup kedua pipinya bergantian. "Ada sebuah komentar yang menggambarkan kita saat ini."

Farah menatap Mark penuh dengan rasa ingin tahu.

"Kita adalah pernah, bukan punah, bukan menyerah, hanya sudah."

Setidaknya Mark dan Farah pernah mengukir sebuah kisah walaupun harus berakhir dan tak dapat melukis kisah indah lainnya.

Setidaknya begitu. Tak apa-apa. Walau sudah tak sejalan, kita masih dapat bertemu di persimpangan.

Tak apa-apa.

Senang pernah jatuh cinta, merasakan dicintai dan mencintai.

Sekali lagi, tak apa-apa.

Kau dan aku saling membantu,
membasuh hati yang pernah pilu,
mungkin akhirnya tak jadi satu,
namun bersorai pernah bertemu.

—-END—

CERITA: Kumpulan oneshot / cerpen. Where stories live. Discover now