10. Cal dan Samurai

2.8K 999 282
                                    

|| 10: Cal's pov | 2057 words ||

|| 10: Cal's pov | 2057 words ||

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku ingat rumah ini.

Aku dan mendiang ibuku pernah beberapa kali mengunjungi mereka—sepasang suami-istri yang tidak punya anak, sampai akhirnya mereka mengadopsi seorang bocah seumuranku. Itu sudah bertahun-tahun lalu.

Rasanya, Pak Gun hilang saat sedang bekerja membenarkan pipa bocor dekat rumahku. Orang yang menyewa jasanya juga tidak ada lagi. Tak lama kemudian, Bu Miriam melahirkan anak perempuan ... kalau tak salah diberi nama Emir.

Iya. Emir. Pasti itu. Soalnya, aku yang kasih nama.

Atau Emma, ya?

Kuharap, Emma. Aku tidak tahu akan secanggung apa jadinya jika namanya sungguhan Emir. Cal dan keidiotan masa kecilnya, memberi nama cowok ke bayi cewek. Bayi itu pasti dendam padaku kalau dia masih hidup sekarang.

Kalau dipikir lagi, memang Emma. Aku ingat kakak adopsinya, Ilyas, memandangi adiknya dengan tatapan sayang dan memanggilnya "Emma". Ilyas adalah sosok yang membuatku sempat merecoki ibuku selama seminggu penuh karena aku kepingin punya kakak laki-laki seperti dirinya. Ibu bilang itu mustahil, kecuali aku bisa dimasukkan lagi ke dalam perutnya, minggir sebentar ke pojokan ruang rahimnya sampai kakak laki-lakiku lahir, lalu aku berojol sekali lagi ....

Aku mengelilingi rumah itu sebentar untuk bernostalgia. Sepertinya ada ruang tambahan di gang samping rumah—seingatku, sebelumnya dinding bata itu tidak ada. Gentingnya agak keropos walau tidak separah rumah lain, cat dindingnya sudah pudar, jendela-jendelanya tertutup rapat, kacanya gelap, tetapi aku masih bisa melihat siluet ruas-ruas logam terali dan pola tirai di dalamnya.

Aku memanjati pagar belakang dan mendapati rumah ini benar-benar tanpa cela—jebakan zombie dan alarm otomatis di mana-mana. Aku hampir yakin Bu Miriam dan keluarga kecilnya pasti sudah pindah ke ibukota dan menjual rumah ini entah kepada sosiopat mana, tetapi kemudian kudapati gundukan tanah di bawah pohon kamboja kecil. Sebuah batu tertajak di ujungnya. Bersandar pada batu penanda itu, sebuah pigura foto membingkai wajah Bu Miriam sedang tersenyum.

Jantungku mencelus sesaat. Sosiopat atau bukan, penghuni baru tidak mungkin membiarkan kuburan milik penghuni rumah lama ada di pekarangan mereka.

Berarti yang ada di dalam rumah ini ....

Kembali ke pintu depan, kuamati rumah-rumah lain di jalan ini. Total 8 rumah—4 rumah berbaris saling berhadapan di masing-masing sisi jalan. 5 di antaranya sudah dipasangi garis polisi, 3 rumah lainnya (termasuk rumah Bu Miriam) masih berpenghuni meski orang-orang di dalamnya berusaha sekali pura-pura tidak ada di rumah. Padahal 4 tahun lalu, lingkungan ini amat hidup, ramai, dan berisik.

Aku baru akan mengetuk pintu rumah Bu Miriam ketika sesosok zombie muncul dari tikungan jalan. Dan aku kenal zombie itu.

Nah, saat aku bilang kenal, bukan berarti kami berjabat tangan dan menyebut nama masing-masing. 'Kenal' di sini maknanya lebih pada 'ia mengejar-ngejarku sampai kemari'. Bukan dalam artian romantis pula.

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang