2. Wangsa

38.4K 760 320
                                    


Dahulu ada sebuah cerita yang begitu terkenal, tentang sosok seorang wanita tua bernama Nyai gerowok. Postur tubuhnya bungkuk dengan satu kaki bengkok, kulit tubuhnya bergelambir, wajahnya keriput mengerikan, dengan sesuatu yang menonjol dipunggungnya—yang entah apa itu. Desas-desus mengatakan bahwa ia jelmaan dari siluman penghuni KOLOJIWO, rumor lain menyebut ia dulunya adalah seseorang manusia biasa sebelum bertapa dan menuntut ilmu hitam "Palawangsa" sehingga semenjak saat itu ia dikutuk menjadi sosok iblis yang menjaga hutan belantara Kolojiwo, ia memiliki bola mata hitam pekat dan bersemayam dibalik gelapnya lorong di hutan belantara yang gelap gulita, meski namanya dikenal begitu menakutkan seperti membawa malapetaka namun ada sebuah rumor lain, bahwa, dibalik fisik ganjil yang ia miliki, ia dapat memberikan sesuatu diluar akal batas manusia biasa. Kekayaan, kehormatan atau apapun yang selalu diinginkan oleh manusia, tetapi, semua itu harus ditebus dengan satu tumbal garis kematian "Pasajala". Nyawa dari anak-anak kecil yang tak berdosa atau anak-anak yang belum melewati masa baligh'kehidupannya. Ia tak pernah puas, baginya darah anak-anak adalah sumber kehidupan dari kutukan yang harus ia pikul.

Bayu Saseno melihat kembali secarik kertas dari lembaran didalam buku kulit yang ia miliki, disana ada guratan pensil yang membentuk gambar wajah seorang wanita tua, iblis itu, ia sudah melangkah sejauh ini, tak ada alasan lagi bagi dirinya untuk mundur, cepat atau lambat Songkor akan kembali, menemukan jalan hitamnya lagi, ia harus segera bergegas. Cepat atau lambat ranjat dari batang bunga Wijayakusuma akan menemukan alurnya sendiri begitu juga dengan dirnya.

Malam itu begitu dingin, Bayu meninggalkan tempat kost, Ia berjalan sendirian, menapaki selangkah demi selangkah jalanan yang kosong sampai tanpa disadari oleh dirinya ia sudah berada didepan sebuah gapura pasar, tak ada orang sepanjang jauh mata memandang, Bayu melangkah masuk kedalam tempat itu, ada yang harus ia cari dan lakukan sebelum melanjutkan rencana yang entah apakah mungkin akan berhasil. Bidak catur sedang dimainkan oleh dia yang masih bersembunyi menunggu bagaimana semua ini menemui ujung.

Di lorong gelap pasar, pemandangan ruko yang sudah terkunci disana-sini terlihat muram, Bayu masih berjalan sendirian, matanya awas menatap kesekeliling, mencari sesuatu yang entah apa itu. Terlihat warung-warung kosong dengan pencahayaan tembaram, ia berjalan melewati jalanan sepi itu sembari sesekali mencoba memasang pendengaran dari kesunyian yang semakin lama semakin terasa menusuk ke tulang-tulang di dalam tubuhnya, sampai suara itu mulai terdengar di telinganya. Bayu berhenti, ia diam, matanya mengawasi sekeliling hingga Ia menangkap sosok itu, sosok seorang wanita yang mengenakan kerudung merah delima tengah berdiri disalah satu gang pasar, Ia menatap Bayu sesaat sebelum ia berjalan pergi, lalu menghilang, Bayu mengejar sosok wanita itu, di lorong-lorong gang yang semakin gelap Bayu melihat sesuatu, sebuah warung dengan sorot cahaya lampu yang terang, mungkin di sini adalah satu-satunya warung yang masih buka di tempat ini, Bayu melangkah masuk meski di sana tak ada satu pun pengunjung.

**
"mau minum apa?"

"koyok biasane yo" (seperti biasanya ya)

Wanita asing itu segera menyajikan apa yang diminta oleh Bayu, ia meletakkan segelas the tanpa gula tepat dihadapan Bayu sementara wajah wanita itu masih menunduk, Didalam suasana yang hening itu tak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan.

Sampai akhirnya Bayu, mulai berkata. "yo opo, opo gurung onok kemajuan?" (bagaimana, apakah masih belum ada kemajuan?)

"dereng mas" (belum ada) kata si wanita menjawab, "sak iki mung kene isok pasrah, soale waktu'ne kene tambah suwe tambah entek" (sekarang kita hanya bisa pasrah, karena waktu kita semakin habis).

Wanita itu meraih sebuah koran sebelum membuka lembar per-lembar lalu meletakkannya dihadapan Bayu, Bayu melirik salah satu headline dimuka halaman koran tentang, "Seorang wanita gila penghuni rumah sakit jiwa Joglowatarta yang kembali membakar sebuah rumah untuk kali ketiga dalam kurun waktu 1,5 tahun terakhir"

"cah iku wes ra kuat nanggung bejana teko Songkor mas, sampeyan sek berharap karo cah iku" (anak itu sudah tidak sanggup menanggung beban yang menurun dari Songkor mas, apakah dirimu masih berharap dengan anak itu)

Bayu memilih diam, sorot matanya tak bisa ditebak, ada keraguan dibalik sikapnya meski keyakinan itu masih ada, lama Ia merenung, Bayu kemudian memilih mengatakan hal lain, "aku kudu muleh nang Wangsa onok sing tak goleki" (sepertinya, aku harus pulang, kembali ke Wangsa karena ada yang harus kucari terlebih dahulu)

"Wangsa?" wajah wanita itu berubah, ada ketegangan di dalam raut mukanya, "bukane sampeyan gak akan kembali ke tempat yang paling terkutuk itu"

"aku dibesarkan di sana, meski ada mimpi buruk yang masih bersembunyi di sana tak ada jalan lain lagi, aku harus melihatnya kembali" sahut Bayu, wanita itu mencoba untuk mengerti, ia duduk memandang pemuda yang ada dihadapannya ini, mengingat bagaimana mereka bertemu, ia tak akan melupakan semua setelah rentetan kejadian itu terjadi, "aku jadi ingat" kata si wanita itu, "bukankah Erna yang mengikuti saranmu agar membantu Sabdo juga berasal dari Wangsa"

Bayu menatap kosong tembok yang ada dihadapannya, pikirannya menerawang jauh, mendengar nama "Erna" Bayu merasa bahwa ia rupanya tak lebih dari seorang pemuda yang tak dapat memprediksi segalanya, ia tak akan pernah memaafkan wanita itu meski sekarang ia harus membayar harga dari perbuatannya namun dilain hal suatu hari nanti Bayu pasti akan membutuhkan dirinya, Bayu berdiri setelah menyesap isi dalam gelas, sejenak ia memandang wanita itu, "Erna sudah tidak ada lagi—semua ini masih panjang"

"mau pergi sekarang?"

"saat ini kupasrahkan tugas itu untukmu, bawalah Atmojo kecil itu untuk melihat siapa dirinya yang sebenarnya biarkan dia memilih jalannya sendiri, bila memang ternyata nanti takdir membawa dia sebagai orang yang akan berhadapan dengan kita nanti, kuharap kita sudah siap dengan hal itu"

Wanita itu mengangguk,

"aku pergi dulu, Mayang" kata Bayu sembari berjalan meninggalkan tempat itu.

***


"pak, iling, anakmu siji iku gak muleh, sak iki awakmu kate nggowo anakmu sing liyane!! Gak isok!!" (pak, ingat, anakmu sudah tidak pulang satu, sekarang kamu mau bawa anakmu yang lain!! Tidak bisa!!)

Di tengah sebuah ruangan gema dari suara mak dan bapak terdengar di telinga Bayu yang sedang duduk meringkuk di atas ranjang, suara pertengkaran mereka terdengar jelas karena hanya terpisahkan oleh sekat bambu di dalam rumah, Bayu bisa mendengar apa yang bapak katakan, Ia ingin membawa Bayu kepada seorang lelaki yang menginginkan dirinya menjadi anak asuh, sedangkan Bayu sendiri sudah melihat apa yang bapak lakukan terhadap adiknya Dayu yang tak akan pernah bisa ia maafkan, meskipun bapak sudah menjelaskan bahwa ada kesalahpahaman namun Bayu tak akan pernah melupakannya meski ia tak sanggup mengatakannya kepada ibu tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Di sela pertikaian itu tak lama terdengar suara mobil datang, Bapak dan ibu berhenti sebentar, mereka memandang kearah jendela persis seperti apa yang Bayu lakukan dari jendela kamar, tak lama seorang supir keluar sebelum membukakan pintu untuk seseorang, Bayu tercekat menatap wajah itu, lelaki tua yang ia lihat di malam kematian Dayu, lelaki itu mengenakan tongkat seperti sebelumnya, sang sopir ingin membantu namun urung saat lelaki itu memberi gestur bahwa dirinya bisa berjalan sendiri, bapak yang melihat hal itu lantas membukakan pintu, mengijinkan lelaki itu masuk dan duduk di sebuah kursi di dalam rumah tepat di ruang tengah, tak ada percakapan banyak yang bisa Bayu dengar hanya nominal uang dan masa depan Bayu langsung bisa membuat ibu tak bisa menolak, seperti ada sesuatu yang membuat ibu tak berkutik lelaki itu menunduk sebelum menatap wajah Bayu yang bersembunyi mengintip dari sekat tiang bambu, "kulo pinarak rumien" (saya pamit dulu), "kulo entosi Bayu ten Wangsa nggih buk" (saya tunggu kedatangan Bayu di Wangsa, ya, buk)

Bayu terkesiap, ibu tak dapat berkata apa-apa, bapak segera bergegas mengantarkan lelaki tua itu dimana tepat di belakangnya seorang wanita bungkuk menyeringai mengikuti dirinya, Wangsa, ada apa dengan tempat itu, Bayu merasa merinding saat mendengarnya.

KUDROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang