BAGIAN 8

302 17 3
                                    

"Hup...!"
Salah seorang yang tengah bertarung tampak mencelat ke belakang, membuat jarak. Begitu kakinya menjejak tanah, jelaslah siapa orang itu. Dia adalah seorang laki-laki tua berambut sepunggung yang dibiarkan begitu saja tanpa pengikat. Wajahnya bersih, meski terlihat kerut-merut yang menandakan usianya telah lanjut. Sebagian rambutnya telah beruban. Namun begitu, tubuhnya masih terlihat kekar meski tidak terlalu besar. Baju berukuran besar dengan dasar merah berkembang-kembang berwarna biru dan hijau. Sepasang matanya tajam manakala mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Ki Netra Buana...!" desis Ki Gempar Persada dan kedua kawannya dengan wajah kaget. Demikian juga Ki Polong dan Ki Pintur Gumelar serta beberapa tokoh silat lainnya yang dulu pernah menghadapi tokoh tua yang baru muncul itu.
"Hahaha...! Siapa sangka akhirnya kita bertemu lagi di sini, sobat-sobat lamaku!" suara tawa laki-laki tua yang memang Ki Netra Buana menggelegar dan menyakitkan pendengaran mereka yang berada di sini. Beberapa orang langsung terkapar dengan lobang telinga mengucurkan darah. Bahkan Ki Polong dan Ki Pintur Gumelar yang terhitung memiliki tenaga dalam kuat, sempat tertunduk lemas. Wajah mereka berkerut, dengan kedua tangan mendekap telinga.
"Netra Buana! Hentikan ocehanmu...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti, juga disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Orang tua itu langsung menghentikan tawanya. Matanya kontan mendelik garang, kemudian bibirnya tersenyum sinis. "Hm.... Budakku tersayang. Apa kabarmu saat ini? Hehehe...! Agaknya kini kau baik-baik saja, bukan?"
"Netra Buana! Perbuatanmu sungguh licik! Dan aku bersumpah tidak akan memaafkanmu. Kau sirep aku dengan tipu muslihat, sehingga kesadaranku hilang. Lalu kau suruh aku membunuh tokoh-tokoh yang tidak bersalah apa-apa padaku, demi kepuasan!" Pendekar Rajawali Sakti yang sudah demikian geram karena telah terpedaya oleh Ki Netra Buana memang tak ada niat untuk memberi maaf. Baginya kematianlah satu-satunya bagi tokoh sesat berkepandaian tinggi ini.
"Hehehe...! Baguslah kau telah sadar. Tapi kini, aku sudah tidak memerlukanmu lagi. Dan kau boleh mampus sekarang juga!" desis Ki Netra Buana seketika tongkat pendek dalam genggamannya dikibaskan.
Wuuut!
"Heh?!"
Rangga terkejut. Tiba-tiba saja di hadapannya berdiri tiga sosok tubuh yang bentuk dan potongannya mirip betul dengan Ki Netra Buana. Lalu dengan tiba-tiba saja, ketiga sosok Ki Netra Buana itu menyerangnya dengan ganas.
"Aku berjuluk Tongkat Sihir Dewa Api! Dan yang kau hadapi ini, memang ilmu sihir. Tapi jangan kira mereka tidak bisa melukaimu!" teriak Ki Netra Buana, mengingatkan.
"Persetan dengan segala ilmu iblismu!" desis Rangga. Seketika itu pula, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat, mengerahkan jurus Seribu Rajawali. Dengan mengerahkan jurus itu, tubuhnya seolah-olah berjumlah banyak. Rangga menyadari, apa yang dikatakan Ki Netra Buana benar. Sehingga tidak ingin meladeni serangan ketiga sosok tubuh ciptaan Ki Netra Buana, melainkan menyerang lawannya yang asli.
"Hiyaaat...!"
Sambil terus mengitari Ki Netra Buana dengan jurus Seribu Rajawali, Pendekar Rajawali Sakti juga mengerahkan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali. Begitu tangannya menghentak ke depan, melesat cepat selarik cahaya merah ke arah Ki Netra Buana. Namun orang tua itu hanya terkekeh. Bahkan dengan mudah menghindari dari serangan Rangga.
"Hehehe...! Hanya segitukah kepandaianmu? Hm, sungguh memalukan!" ejek Ki Netra Buana alias Tongkat Sihir Dewa Api. Namun kata-kata Ki Netra Buana terhenti, ketika ujung pedang Rangga tahu-tahu telah berada dekat ke tenggorokannya.
"Setan...!" umpat Tongkat Sihir Dewa Api kesal seraya melompat ke belakang.
"Hiiih!"
Rangga tidak memberi kesempatan. Telapak tangan kirinya cepat menghantam ke depan, mengerahkan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali. Maka kembali cahaya merah melesat menghantam tokoh sesat itu.
Meski Ki Netra Buana mampu menghindarinya, namun cukup membuatnya repot. Karena si Pendekar Rajawali Sakti tidak memberi kesempatan sedikit pun padanya untuk bergerak leluasa. Hal itu amat menjengkelkan, karena membuat perhatian Ki Netra Buana buyar. Dan dengan demikian, tiga sosok tubuh ciptaannya menghilang.
"Lihat!" bentak Ki Netra Buana membentak nyaring, ketika ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar tenggorokannya.
Rangga terkesiap melihat sepasang mata Tongkat Sihir Dewa Api yang berkilat tajam, memancarkan sinar menyilaukan pandangan. Dan tahu-tahu....
Duk!
"Hoakh...!"
Rangga terpental ke belakang sambil memuntahkan darah segar, akibat satu pukulan keras yang terasa merontokkan isi dadanya. Kepalanya terasa pusing dan langkahnya goyah.
"Kakang Rangga...!" jerit Pandan Wangi cemas, melihat keadaan pemuda itu. Dan si Kipas Maut bersiap akan melompat membantunya, namun Nyai Kati buru-buru mencegah.
"Jangan, Nisanak! Kau akan celaka sendiri!"
"Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" sentak Pandan Wangi, berusaha melepaskan diri. Nyai Kati menelikung kedua lengan gadis itu ke belakang.
"Maaf.... Aku terpaksa bertindak kasar padamu. Sebab bila kau berusaha membantunya, kalian akan celaka bersama," setelah berkata begitu, Nyai Kati memandang ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti! Jangan tatap matanya! Si Netra Buana akan menguasaimu dengan sihirnya, jika kau melawan tatapan matanya!" teriak Nyai Kati lantang.
Rangga terkesiap. Lalu buru-buru dia berdiri tegak sambil mengambil napas dalam-dalam. Kemudian terlihat matanya terpejam. Kali ini pemuda itu ingin menerapkan jurus anehnya yang didasarkan pada ilmu Pembeda Gerak dan Suara.
"Hehehe...! Kau ingin menghadapiku dengan cara seperti itu? Hehehe...! Kau malah mempercepat kematianmu sendiri, Bocah!" ejek Ki Netra Buana alias Tongkat Sihir Dewa Api. Ki Netra Buana mengibaskan tongkat pendeknya. Dan bersamaan dengan itu, menjelma sepuluh sosok tubuh yang mirip dengannya yang langsung mengurung Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian sosok-sosok itu bergerak bersamaan menyerang Rangga bersama Tongkat Sihir Dewa Api.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Rangga menekuk kaki kanan dengan pedang melintang di dada. Tubuhnya menekuk dengan dada ke atas. Lalu tiba-tiba saja, dia berputar ke kiri ketika dua serangan melesat menghantam dari arah kanan. Kini tubuh Pendekar Rajawali Sakti meliuk-liuk ke depan, seperti orang yang sedang mabuk. Kedua kakinya bergerak lincah menghindari serangan lawan-lawannya. Meski sosok-sosok ciptaan Ki Netra Buana sekadar sihir belaka, tapi Rangga merasakan angin serangan dahsyat. Entah ilmu apa yang dipergunakan Tongkat Sihir Dewa Api. Namun Pendekar Rajawali Sakti merasa yakin kalau lawan-lawan ciptaan Ki Netra Buana ini bisa melukainya.
Wuuut!
"Uhhh, Setan...!"
Ki Netra Buana mengumpat. Ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti nyaris merobek tenggorokannya. Ki Netra Buana mencelat ke belakang. Kemudian kedua telapak tangannya digosok-gosokkan. Perlahan-lahan, kedua tangannya sampai sebatas siku terlihat merah membara. Bahkan timbul nyala api yang semakin marak dan menyelubungi tubuhnya.
"Heh?! Aji Dewa Api!" desis Ki Gempar Persada dan kedua kawannya kaget.
"Astaga! Ternyata dia telah menguasai ilmu sakti itu!" seru Ki Walang Ijo.
"Ki Polong! Perintahkan yang lain untuk menyingkir pada jarak yang cukup jauh!" teriak Nyai Kati memperingatkan. Meski tidak mengerti apa maksud wanita tua itu, Ki Polong mengikutinya saja. Segera dia memerintahkan yang lain untuk menyingkir pada jarak yang cukup jauh.
Apa yang dikhawatirkan ketiga tokoh itu memang beralasan. Buktinya ketika Ki Netra Buana membentak nyaring dengan sebelah kaki menghantam bumi, arena pertarungan seketika dipenuhi kobaran api yang menyala-nyala laksana keluar dari perut bumi. Bahkan sampai mengurung Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Rangga...! Oh! Lepaskan aku! Dia bisa celaka! Aku harus menolongnya...!" teriak Pandan Wangi parau bernada khawatir dan amat memelas.
"Percuma saja, Nisanak. Tak ada seorang pun yang bisa menolongnya. Sekali api itu menjilat tubuh, maka akan langsung merebak ke sekujur tubuh. Api itu bukan jenis sembarangan. Bahkan amat mematikan. Belum pernah ada yang selamat bila terjilat olehnya," jelas Nyai Kati lemah.
"Ini semua salahmu! Kalau saja kau tidak mencegah ku, maka tadi aku bisa menolongnya!" sentak gadis itu berang, dengan kelopak mata berair.
"Kalau aku tidak mencegahmu, maka kau akan terkurung bersamanya. Apakah kau memiliki tenaga hebat, sehingga bisa melindungi diri sendiri? Mungkin Pendekar Rajawali Sakti mampu melindungi dirinya. Tapi bisakah dia melindungimu? Kau hanya membuat beban baginya."
"Lalu kalian? Apa yang kalian lakukan?! Hanya menonton dan tidak berbuat apa-apa?! Padahal, dia bertarung mati-matian membela selembar nyawa kalian semua...?!"
Nyai Kati dan yang lain hanya bisa diam membisu mendengar kata Pandan Wangi yang terasa menusuk telinga dan sampai ke jantung. Tapi semua menyadari kalau kepandaian Ki Netra Buana amat pesat dibanding sebelas tahun lalu. Tentu saja kepandaian mereka saat ini tidak ada seujung kuku Ki Netra Buana. Bila mereka memaksakan diri, maka hanya kematian sia-sia saja yang diperoleh. Sebab baru melawan ketiga anak buahnya saja, mereka tidak berkutik!
Sementara itu tubuh si Pendekar Rajawali Sakti terlihat telah terselubung cahaya biru. Sehingga api yang mengelilingi di sekitarnya tidak mampu menjilati tubuhnya. Selarik kobaran api membelenggu Pendekar Rajawali Sakti laksana lilitan seekor ular berukuran besar. Sementara Rangga balas menyerang dengan mengibaskan pedangnya.
"Heaaat...!"
Cahaya biru yang menyelubungi tubuh Pendekar Rajawali Sakti menggembung sesaat. Kemudian, mengempis disertai muntahan kilatan biru yang menerpa Ki Netra Buana dengan gerakan amat cepat.
"Aaakh!"
Ki Netra Buana memekik nyaring. Tubuhnya yang diselimuti kobaran api, terjungkal ke belakang seperti dihantam bandul besi yang kuat bukan main. Cahaya biru yang terpancar dari batang pedang Pendekar Rajawali Sakti terus menekannya dengan kuat. Lalu ketika pemuda itu melompat mendekati.
Bruesss!
Ki Netra Buana terhenyak. Kepalanya kontan putus dari tempatnya ditebas Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti. Maka seketika itu juga kobaran api sirna. Sedang Tongkat Sihir Dewa Api tergeletak kaku dalam keadaan menghitam. Rangga sendiri berdiri terpaku dengan tatapan lesu. Semua melihat, dari ujung bibirnya menetes darah kental. Kemudian..., tubuh pemuda itu sendiri ambruk terduduk!
"Kakaaang.,.!" Pandan Wangi menjerit keras. Dan kali ini Nyai Kati tidak berusaha menghalangi. Bahkan bersama yang lain mereka mengerubungi pemuda itu.
"Nisanak, coba kuperiksa nadinya," ujar Nyai Kati lembut ketika Pandan Wangi memeluk pemuda itu dengan airmata berlinang.
Gadis itu sempat memeriksa. Nyatanya detak jantung Rangga terhenti dengan nadi tidak berdenyut. Maka langsung diduga kalau Rangga telah tewas. Pertarungan tadi berlangsung antara hidup dan mati. Meski Ki Netra Buana tewas, bukan berarti Pendekar Rajawali Sakti selamat. Jelas pemuda itu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menembus pertahanan Tongkat Sihir Dewa Api.
Pandan Wangi sendiri menyadari kalau Rangga telah menggunakan aji Cakra Buana Sukma pada tingkat tertinggi untuk membinasakan lawan. Dan itu berarti menguras seluruh tenaganya. Padahal Rangga baru saja sembuh dari luka-luka yang diderita akibat pertarungan dengan Ki Walang Ijo beserta kedua kawannya, beberapa minggu lalu.
"Hm, masih ada harapan. Nadinya berdenyut lemah sekali. Coba kau tolong tahan kedudukannya," gumam Nyai Kati seraya memerintahkan agar menahan tubuh Rangga dalam keadaan terduduk. Kemudian wanita tua itu sendiri duduk bersila di belakang Rangga. Ditariknya napas dalam-dalam seraya meletakkan kedua tangan di pinggang. Lalu, tiba-tiba saja kedua telapak tangannya ditempelkan ke punggung Rangga.
"Heup!"
Semua orang menyadari kalau Nyai Kati berusaha menolong Pendekar Rajawali Sakti dengan menyalurkan hawa murni ke tubuh pemuda itu. Beberapa saat kemudian terlihat perubahan. Kulit Rangga yang semula pucat, kini terlihat seperti dialiri darah. Tubuhnya berkeringat, seperti yang dialami Nyai Kati. Terdengar pemuda itu tersedak. Lalu darah segar mengucur deras dari mulutnya.
Pandan Wangi tampak cemas. Dan tahu bila penyaluran hawa murni itu gagal, maka jiwa Rangga tidak akan tertolong lagi. Namun, perlahan-lahan wajah gadis itu berubah lagi melihat Rangga mulai batuk-batuk, seiring Nyai Kati menyudahi penyaluran tenaga dalamnya. Wanita tua itu menarik napas panjang, sambil menyeka keringat yang membanjir di sekujur tubuhnya. Wajahnya tampak pucat.
"Kakang, kau tak apa-apa...?" tanya Pandan Wangi dengan wajah cemas.
"Pandan...," ujar Rangga lemah, lantas memandang ke sekeliling.
"Nyai Kati yang tadi menolongmu...," jelas Pandan Wangi.
Pemuda itu merangkapkan kedua tangan memberi hormat pada wanita tua. "Nyai Kati, aku berhutang budi padamu. Bagaimana aku harus membalasnya."
"Kau tidak perlu membalasnya, Pendekar Rajawali Sakti. Apa yang kulakukan bukan apa-apa dibandingkan dengan apa yang telah kau lakukan...."
"Nyai Kati... Sebenarnya kedatanganku ke sini ada dua hal. Pertama melenyapkan Ki Netra Buana. Dan kedua, menyerahkan diri pada kalian untuk menerima hukuman atas perbuatan-perbuatan biadab yang telah kulakukan. Pandan Wangi telah banyak menceritakan padaku tentang apa yang telah kulakukan. Dan aku merasa sangat bersalah," sahut pemuda itu lemah.
Nyai Kati tersenyum seraya menepuk pundak pemuda itu. "Pendekar Rajawali Sakti, kami telah mengetahui cerita yang sebenarnya. Kau tentu tidak melakukannya bila keadaanmu sadar. Kami tahu, kau telah di sirep oleh Ki Netra Buana, sehingga membuat akalmu hilang. Dan di samping itu, dia pun telah menyihirmu."
"Tapi...."
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan."
"Apa yang dikatakan Nyai Kati memang benar. Dan kurasa semua yang hadir di sini pun menyetujui. Apa yang kau lakukan memang kesalahan besar. Namun karena kau melakukannya tanpa sadar, maka kami tidak bisa menyalahkanmu. Apalagi kemunculan Ki Netra Buana juga akibat kesalahan kami yang membiarkannya tetap hidup. Akibatnya dia muncul kembali untuk membalas dendam terhadap kami, dengan menggunakan tenagamu. Kini kau telah sadar kembali. Bahkan kau telah membalasnya dengan setimpal. Kau telah membinasakan pokok pangkal keangkaramurkaan ini, yaitu Ki Netra Buana beserta semua anak buahnya. itu telah cukup membuktikan kalau sesungguhnya kau memiliki hati yang halus," timpal Ki Gempar Persada.
Rangga memandang mereka satu persatu. Orang-orang itu mengangguk sambil tersenyum.
"Terima kasih atas pengertian Kisanak semua. Aku sangat terharu, dan bisa merasakan persahabatan kalian. Mudah-mudahan, di lain waktu aku tidak membuat kekeliruan yang dapat membawa malapetaka bagi banyak orang," kata Rangga lirih.
Nyai Kati mengangguk. Begitu juga yang lainnya. "Sisa-sisa anak buah Ki Netra Buana melarikan diri. Dan..., rasanya, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan. Kalau kau memerlukan bantuan, kau bisa menghubungi kami. Pendekar Rajawali Sakti, kami mohon pamit," lanjut Nyai Kati.
Bersama yang lain, mereka meninggalkan tempat itu. Beberapa orang menepuk-nepuk pundak Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum haru. Tempat ini telah sepi. Orang-orang itu telah menjauh. Dan yang tinggal hanya mayat-mayat yang bergelimpangan.
Rangga terpaku. Ternyata ada seseorang yang belum beranjak dari tempatnya. Seorang gadis belia berwajah cantik berbaju lusuh, seperti wajahnya yang suram penuh kesedihan. Rambutnya yang panjang, dibiarkan lepas begitu saja. Dan beberapa helai di antaranya menyapu wajah manakala angin bertiup perlahan.
"Pandan, siapa gadis itu? Kenapa dia menatapku sedemikian rupa? Apakah aku pernah mengenalnya?" tanya Rangga heran.
"Kau betul-betul tidak mengingatnya?"
Rangga terdiam. Dan dahinya tampak berkerut berusaha mengingat-ingat. "Samar-samar...."
"Namanya, Sarti. Dan ketika kau tidak sadar, dia adalah kekasihmu. Sehingga kau melupakan aku begitu saja," jelas Pandan Wangi setelah menarik napas panjang, berusaha menekan perasaan gemuruh di hatinya.
"Benarkah...?" tanya Rangga seperti tak percaya.
Pandan Wangi tidak berusaha meyakini. Perlahan, Sarti menghampiri mereka, lalu berhenti tepat di depan pada jarak dua langkah. Dia memandang sesaat pada Pandan Wangi.
"Maafkan.... Aku tidak bermaksud merebutnya darimu. Sungguh, aku tidak mengetahui sebelumnya," ujar Sarti lirih.
Pandan Wangi berusaha tersenyum. Sarti menoleh pada Rangga dan memandangnya agak lama.
"Kakang Rangga, maafkan. Mungkin kau lupa kalau kita pernah dekat untuk sesaat. Itu sangat indah, meski hanya kurasakan seorang diri. Tanpa sadar, aku telah merebutmu dari orang lain. Semula itu kulakukan untuk menuruti perintah Ki Netra Buana. Aku tidak punya pilihan, sebab pernah berhung budi padanya. Namun belakangan kusadari, bahwa aku memang suka padamu. Tapi rasanya tak pantas bagiku. Diriku kotor. Dan lebih dari itu..., ada seseorang amat mencintaimu. Maafkan aku..." setelah berkata begitu, perlahan Sarti berbalik. Kemudian kakinya melangkah pergi meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
"Masih ingatkah di benakmu...?" tanya Pandan Wangi kembali, ketika gadis itu telah semakin menjauh.
"Entahlah," desah Rangga.
"Hm.... Dia cantik."
Rangga memandang Pandan Wangi sambil tersenyum pahit. "Dalam keadaan sadar, orang bisa saja berbuat salah. Dan banyak orang bisa memaafkannya. Tapi bila dalam keadaan tidak sadar, dan seseorang melakukan kesalahan, apakah orang lain tidak bisa memaafkannya? Apalagi, orang yang amat dekat di hatinya...? Jadi, apakah kau betul-betul tidak bisa memaafkan ku...?"
Pandan Wangi membalas tatapan pemuda itu. Lalu sambil memberengut kesal, segera digamitnya lengan Rangga.
"Sudahlah..." kata Pandan Wangi seraya mengajak Rangga berlalu.

***

TAMAT

🎉 Kamu telah selesai membaca 147. Pendekar Rajawali Sakti : Tongkat Sihir Dewa Api 🎉
147. Pendekar Rajawali Sakti : Tongkat Sihir Dewa ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang