MY 2020

61 13 2
                                    

"Enaknya ganti siapa nih?" Ucapku kepada kedua temanku.

Saat ini kami bertiga sedang mencari satu orang lagi sebagai pengganti anggota kelompok kami. Ya, kami mengeluarkan satu anggota yang tak bertanggung jawab secara paksa. Biar saja, kami sudah jengah dengan sifatnya yang merasa tak bersalah sama sekali.

"Gimana kalo, Via?" tanya salah satu temanku, bernama Marta.

"Mending Audi aja deh!" sela-ku dengan tak sabaran.

"Jangan! Jangan! Mereka 'kan sekretaris. Lah, aku juga sekretaris. Cari yang lain aja," protes satu temanku yang lain, bernama Nora.

Aku menghela napas pelan. "Iya juga yak. Oh, aku tahu! Gimana kalo Liya aja. Dia keknya asik deh."

Keduanya pun mengangguk semangat, setuju dengan pendapatku. Syukurlah!

"Panggil dia, Din!" pinta Nora.

"Bentar, biar aku aja yang kesana," ucapku seraya menuju kelompok lain yang terdapat Liya di sana. Semoga saja kita bisa bekerja sama dengan baik.

"Hai Liya," sapaku saat sudah berada di bangkunya.

"Hai! Ada apa nih?"

"Aku mau ngomong bentar, boleh?"

"Iya, mau ngomong apa?" tanyanya.

Saat aku hendak berucap, tiba-tiba satu sampah plastik mendarat di pangkuanku. Aku melotot, apa-apaan ini? Aku mendongak, sudah tak salah dugaanku. Cowok menyebalkan itu lagi-lagi membuatku kesal juga emosi. Aku berdiri, lalu membuang sampah plastik itu ke arahnya.

"Makan tuh sampah!" Ketusku seraya berbalik, tak ingin memperpanjang masalah dengannya. Tetapi nyatanya memang tak bisa. Dia yang selalu membuatku marah dan kesal setiap hari. Seolah-olah dia ingin menggangguku setiap saat. Dasar pengganggu!

"Kalo buang sampah jangan sembarangan dong!" Protesnya, dan kembali membuang sampah itu ke arahku. Menyebalkan!

Aku menendang tulang keringnya, membuat dia mengaduh kesakitan. "Ini 'kan sampah lo!"

Cowok itu malah tertawa terbahak-bahak dengan sesekali meringis memegang kakinya saat mendengar pengakuanku. Andai saja aku punya kekuatan super, sudah ku tendang jauh-jauh dia dari bumi!

Aku kemudian membungkuk, mengambil sampah itu. Lalu membuangnya di tempat sampah. Terpaksa aku harus keluar kelas. Saat aku memasuki kelas lagi, lihat saja tamanku. Pasti sudah menertawakan diriku yang bodoh ini. Aish, malunya aku!

Aku kembali duduk di bangku Liya, seseorang yang akan menjadi calon anggota baru di kelompokku, sekaligus teman baruku.

"Maaf ya, Liya. Pembicaraan kita jadi terpotong karena dia!" Ujarku seraya menatap cowok yang berada tak jauh itu dengan tajam.

Liya terkekeh. "Iya, gapapa. Oh ya, tadi mau ngomong apa?"

"Jadi gini, kami mau tuker anggota. Kamu mau nggak, yang jadi anggota kelompok kami? Terus si Ani biar jadi anggota di sini."

"Boleh-boleh. Iya, aku mau!"

"Beneran? Kamu nggak keberatan 'kan?"

Liya menggeleng. "Enggak kok. Aku malah seneng."

Aku tersenyum seraya menyodorkan jari jempolku ke arah kelompokku. Mereka juga mengangguk mantap. Dan pada saat itu, Liya resmi menjadi anggota kelompok kami.

Tanpa aku sadari, kita menjadi sahabat yang selalu bersama kemanapun itu. Tak disangka, Liya hampir mempunyai kebiasaan dan kesamaan yang sama denganku. Kita berdua sama-sama kurus dan kita berdua pun sama-sama tidak menyukai pelajaran Matematika. Dan masih banyak lagi kesamaan dari kita. Aneh! Bukan hanya aku dan Liya saja yang menjadi sahabat. Nora dan Marta juga ikut menjadi sahabat kami. Tak disangka kami jadi se-akrab ini. Bahagia sekali rasanya dapat dipertemukan dengan mereka.

Sampai suatu saat, cowok pengganggu itu berhenti menggangguku. Sepertinya cowok itu mencoba menjauh dariku. Seharusnya aku merasa senang, tetapi kenapa rasanya aneh? Aku malah berharap cowok itu menghampiriku. Namun, dugaanku salah. Cowok itu tak akan lagi menggangguku. Dia malah menggoda salah satu temanku. Yah, tepatnya Liya. Teman sebangku-ku yang menjadi anggota pindahan waktu itu.

Rasanya sesak. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang dan dadaku terasa amat sesak. Ada apa ini? Dan kenapa harus Liya yang menjadi sasaran cowok itu? Aku berusaha agar tetap tenang. Aku hanya berpura-pura menulis tanpa mengalihkan pandanganku ke arah samping. Tepatnya, ke arah sahabatku Liya yang sedang asik mengobrol dengan cowok itu. Sesekali mereka tertawa dan Liya yang sempat menggeplak cowok itu dengan bukunya. Seperti diriku yang dulu. Sudahlah, diam. Bukan apa, hanya saja aku tak ingin mengganggu kesibukan mereka.

Sejak saat itu, cowok itu tak pernah menggangguku lagi. Bahkan, saat kita berpapasan dia tak ingin menatapku. Aku salah apa? Rasanya berbeda saat dia mulai menjauh. Aku hanya mengendikkan bahu dan berusaha bodo amat dengan semua itu. Walau kenyatanya tak bisa. Aku terus kepikiran saat di rumah. Bahkan, aku sampai tak bisa tidur. Ah, kacau sekali!

Sampai suatu hari, sahabatku mengejek diriku. Bukan hanya sahabatku, namun ada juga anak cowok yang ikut nimbrung. "Din, masa lo ga bisa naik motor sih?" tanya salah satu teman cowokku, bernama Ibam.

"Aelah! Udah bisa naik motor aja sombong," sahut teman cowokku yang lain, bernama Adit.

"Ish, kata siapa sombong! Orang biasa aja," protesku tak terima.

"Kemarin 'kan lo lewat depan rumah gue. Udah berani main jauh lagi. Terus lo ngajak Sari, ngajak Rina sama Atul juga. Kemana aja lo?" Tentu saja pertanyaan itu dari Adit.

"Ga kemana-mana," ucapku bohong. Memang hari itu, aku dengan teman SD ku berencana untuk mengunjungi rumah guruku. Setiap tahun baru, kami selalu mengunjunginya. Tentu saja kami naik motor, apa salahnya?

"Eh, katanya kamu jatoh 'kan, pas waktu itu?" Bukan Adit yang bertanya, melainkan sahabatku, Nora. Setelah mengucapkan itu dia langsung tertawa. Hahaha lucu ya!

"Salah sendiri, udah bisa naik motor, malah dibuat main jauh. Kena akibatnya 'kan lo?" Adit lagi-lagi meledekku. Sialan!

"Kata Ibunya, dia ga berani ngomong," ujar Marta ikut-ikutan. Lalu disambut gelak tawa dari yang lainnya. Termasuk cowok pengganggu itu. Hanya Liya yang diam seraya memainkan jarinya.

Aku hanya tersenyum kecut, saat mereka mulai menertawakanku. Toh, apa yang dikatakan Marta memang benar. Dan insiden jatuh dari motor itu juga kenyataan. Dan bodohnya lagi, Ibuku malah memberitahu kedua sahabatku itu. Jadilah sekarang, mereka ikut menertawakanku. Tetapi kenapa rasanya sesak ya?

Aku memang seperti itu. Selalu lemah jika sudah menyangkut soal sahabat. Ya sudahlah! Lebih baik diam. Daripada aku menjelaskan juga, mereka tidak akan peduli.

Dan malam itu, aku langsung menangis sejadi-jadinya. Tak berani cerita kepada siapa-siapa. Bahkan, keluargaku tak ada yang tahu, jika aku sering menangis sendirian. Aku selalu seperti itu. Kehidupanku sangat tertutup. Jika ada masalah, selalu memendamnya sendiri. Bukan apa, hanya saja aku tak ingin merepotkan mereka. Tetapi kebanyakan, hanya ingin tahu lalu pergi. Mungkin, kalian juga akan menertawakanku seperti mereka, karena aku tidak bisa naik motor. Sebenarnya bisa, namun tak sekuat mereka. Mungkin karena efek jarang keluar rumah dan jarang main jauh.

Dulu waktu masih sekolah, aku berharap bisa mempunyai pacar. Ah, bodohnya! Temanku sangat mudah mencari pacar. Sedangkan aku? Jujur, selama hidup aku belum pernah merasakan pacaran, tapi aku hanya penasaran dan tak berniat melakukannya. Aish! Aku adalah gadis yang tak mudah akrab dengan siapapun. Aku orangnya suka canggung dan bisa dibilang terlalu cuek. Jujur, aku sudah menyadarinya. Bahwa aku memang suka dengan cowok pengganggu itu. Tapi entah kenapa aku baru menyadari sekarang? Iya, aku rindu dimasa dia menggangguku di sekolah. Tapi aku berusaha menepisnya, karena itu tak akan mungkin bagiku. Entah, aku tidak tahu dia menyukaiku atau tidak?

Sampai saatnya masuk sekolah waktu pengumpulan rapor. Aku sangat senang bisa bertemu dengan temanku lagi. Namun, ada yang berbeda. Yah, dia berbeda. Tepatnya cowok pengganggu itu. Saat kita berpapasan dia tak menyapaku. Bahkan saat kita dekat, dia malah menggoda temanku Liya. Aish! Kenapa aku ini? Pernah juga saat mata kita saling pandang, dia melihatku sembari tertawa. Apa itu? Aku jadi kepedean 'kan.

Eh, tunggu. Di sampingku ada Liya. Aku tak tahu cowok itu menatapku atau Liya? Ah, sudahlah! Aku benci dengan ini. Selalu mengagumi secara diam-diam. Padahal sudah tahu aku bukan siapa-siapa. Memang kejadian ini sudah terulang berkali-kali dalam hidupku. Aku, si gadis lemah yang tak pandai mengungkapkan perasaannya.

END

SHORT STORY - IWSWhere stories live. Discover now