dua belas

183 7 0
                                    

Selamat membaca...

----





Sudah dua hari yang lalu Elina memilih gaun untuk pernikahannya besok. Sekarang, ia harus menyebar undangan yang sudah diurus oleh Vania. Dikarenakan pernikahan mereka tidak terlalu meriah, jadi hanya orang-orang terdekat saja yang diundang.

Vania duduk sambil meminum teh hangat yang dibuat Elina. Sekarang ia sedang berada di panti, memberikan undangan yang akan Elina sebarkan.

"Mamah pergi dulu ya, masih banyak yang harus diurus." Vania pamit berdiri sambil menentang tas putih mahalnya.

Sebelum pergi dia mencium pipi dan dahi Elina lalu berlanjut mengelus perut Elina. Suatu hal yang akan menjadi kebiasaannya mulai sekarang.

"Iya Mah hati-hati," ucap Elina mengantarkan calon mertuanya sampai pintu gerbang.

Sudah pukul 09.00 pagi, ia sudah meminta Arsen datang untuk membantunya menyebarkan undangan. Baru saja ia ingin masuk ke dalam, tiba-tiba suara klakson mobil mengejutkannya.

Arsen turun lalu melepaskan kaca mata hitamnya agar lebih jelas untuk melihat Elina. Senyumnya merekah kala melihat gadisnya itu, setiap detiknya ia akan selalu terpana melihat Elina. Tangannya terulur mengacak rambut gadisnya yang sudah tertata rapih.

"Mau pergi sekarang?" tanya Arsen sambil mengelus pipi Elina.

Elina mengangguk lalu pergi ke dalam untuk mengambil beberapa lembar undangan. Sedangkan Arsen menunggu sambil bersandar di mobilnya.

Orang pertama yang akan mereka datangi adalah Deffan. Sebenarnya Arsen malas melihat wajah Deffan namun Elina terus memaksa sampai dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menurut.

Mereka sampai di apartemen Deffan dan langsung disambut hangat oleh sang pemilik. Elina memberikan selembar undangan dan diterima oleh Deffan. Mata teduh pria itu menatap Elina sendu. Ekspresi wajahnya berubah menjadi murung, tidak seperti saat ia menyambut mereka.

Arsen memperhatikan gerak-gerik Deffan yang menatap calon istrinya tanpa berkedip.

"Udah kan? Yuk pergi!" ucap Arsen lalu meraih tangan Elina bersiap membawanya pergi.

Elina menghempaskan tangan Arsen lalu menatapnya tajam.

"Aku harap kamu bisa hadir di acara itu." ucap Elina sambil melempar senyum ke Deffan.

Deffan balas tersenyum lalu mengangguk. "Gue usahain."

"Kalau gitu kami pamit ya, ada banyak yang harus diurus soalnya."

"Iya, hati-hati."

Deffan melirik Arsen yang sedang menatapnya. Ia tahu, Arsen tidak suka dengannya. Semua bisa dilihat dari cara Arsen bicara, dan ekspresi wajahnya. Lelaki itu keluar melingkarkan tangannya ke pinggang ramping Elina tanpa berpamitan. Deffan menatap mobil yang mulai menjauh dan undangan bergantian.

"Ada apa ini, kenapa gue nggak rela ya?" Deffan bertanya pada dirinya sendiri.

----

"Kita mau ke mana lagi?" tanya Elina menatap Arsen yang sedang fokus menyetir.

"Gimana kalo ke gedung resepsi, sahabat kamu juga ada di sana kan?

"Boleh, Tiara sama Fara yang mengurus dekorasi ... aku juga mau bantu dekor pasti asik," ucap Elina exited.

Arsen menatap tajam Elina, dengan tegas ia menjawab, "Nggak! Kamu nggak boleh bantu, nanti kamu kecapean."

SaudadeWhere stories live. Discover now