ingin

14 1 0
                                    


Aku bisa meminta apapun kepada tuhan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku bisa meminta apapun kepada tuhan. Namun hanya satu yang selalu terucap dalam do'aku. Kamu, kamu, dan kamu. Begitulah do'a bodoh yang selalu aku panjatkan. Tapi kata mereka tak ada do'a yang bodoh, meski aku justru menganggap bodoh pemikiran mereka. Bagaimana tidak, mereka menganggap baik do'a yang tak mungkin dikabulkan. Bahkan oleh tuhan. Entah kalau kematian.

Lalu kematian menghampiriku, ia bertanya. "Mengapa kamu mengira aku lebih kuasa daripada tuhan?" 

Sial, sepertinya kematian sama bodohnya dengan mereka. Bahkan kematian tak menyadari kehebatannya menghentikan segala. Bukankah orang yang sedang berbahagia enggan mati? Bukankah orang yang sedang menunggu enggan mati? Bukankah orang yang sedang jatuh cinta enggan mati? Aku sedang jatuh cinta, tapi ingin mati.

Kematian hanya menatapku. Sepertinya ia sedang berdo'a kepada tuhan agar aku berbahagia. Lalu menunggu orang yang membuat aku jatuh cinta tiba. Kematian tersenyum kepadaku, agar aku percaya bahwa do'anya kepada tuhan adalah do'a yang baik. Karena kematian tak mungkin mati. Satu hal yang kematian tak sadari, do'a yang ia panjatkan kepada tuhan adalah do'a yang bodoh.

Lalu kematian memastikan keyakinanku, ia bertanya. "Apakah dengan mati jiwamu akan menjadi damai?"

Entah, aku tak perduli akan setelahnya. Melihat ia bersanding dengan si lelaki bajingan itu saja sudah membuatku ingin bersekutu dengan setan agar mampu membunuhnya. Lalu aku membunuh diriku, karena aku tahu lelaki itu adalah pilihannya. Karena aku tahu saat ia berkata, hatinya akan selalu menjadi milikku adalah ketulusan sebagai ucapan perpisahan. Sungguh ucapan bodoh yang menjadi jawaban dari do'aku yang sama bodohnya.

Kematian menepuk pundakku. Do'amu selamanya kan menjadi do'a yang bodoh jika hatimu tak damai ketika berdo'a. Sejenak aku bersepakat dengan ucapan kematian. Selama ini aku tak mampu berdamai, karena setelah berjumpa dengannya aku jadi ingin hidup selamanya. Lalu kami berbagi kisah dalam tawa seakan langit tak memiliki batas. Hingga awan kelabu menghampiri kami, melepaskan duka yang telah lama dikandungnya. Padahal kami baru saja berandai berbagi cinta selamanya, berbagi luka untuk disembuhkan.

Lalu kematian mendekatiku, ia bertanya. "Apakah kamu mau bercerita kepadaku perasaan bahagia itu?"

Setetes air mata hendak menyeruak dari kelopak mataku. Ingatan-ingatan itu berkelebat begitu cepat. Aku berusaha menangkap salah satunya, lalu ku ceritakan kepada kematian betapa bahagianya aku saat itu. Saat aku menatap matanya, saat aku mengecup lembut bibirnya, saat jantung kami berdegup bersama dalam desah yang sama. Bajingan. Ingatan pun sepertinya ingin meninggalkanku. Membuat aku kebingungan dengan jejak-jejak rasa yang pernah ia tinggalkan.

Kematian mendengus perlahan. Di dalam pikirnya aku hanyalah anak manusia yang teramat kasihan. Berharap mati, namun yang diinginkan adalah kehidupan. Aku pun tak sanggup lagi menahan deras derita yang membuncah dari kedua mataku. Sungguh penghinaan dari kematian adalah yang terburuk. Bagaimana bisa satu-satunya hal aku ingin selain kamu justru mengejekku.  

Lalu kematian menamparku, ia bertanya. "Apakah kamu benar-benar menginginkannya, seperti benar-benar menginginkanku?"

Dengan cepat aku menjawab, ya. 

Lalu kematian menghantamku, ia bertanya. "Apakah kamu benar-benar mencintainya, seperti benar-benar mencintaiku?"

Dengan cepat aku menjawab, tidak.

Lalu kematian menghempaskanku. Ia tak lagi bertanya.

"Jika aku mencintaimu, maka aku tak akan berjumpa dengannya."

Kematian hanya terdiam menatapku dalam hampa. Perlahan tubuh kematian diselimuti oleh asap pekat yang mulai membungkus dirinya. Aku menanti apa yang akan muncul setelahnya. Bahkan, aku membayangkan kamu yang muncul di hadapanku. Aku tak perduli jika kematian yang menyamar jadi kamu. Lalu ia memelukku, kemudian menikamku, selanjutnya aku diseret ke neraka penantian. Karena aku sempat menatap mata indahmu lagi, mengecup bibir lembutmu lagi, lalu berdegup dalam desah yang sama sebelum aku mati.

Namun, setelah sekian purnama berganti, mentari pun enggan tenggelam lagi. Kabut asap yang menyelimuti kematian tak kunjung menghilang. Aku mulai merindukan hempasannya, hantamannya, tamparannya, saat ia mendekatiku untuk memastikan keyakinanku. Aku pun mulai bertanya-tanya, siapakah yang sebenarnya aku cintai? Kematian atau kamu. Hingga akhirnya aku tak mampu berdiri lagi, lalu jatuh memeluk pusaramu.

Aku adalah kehidupan. Do'a bodoh mu telah dikabulkan oleh tuhan. Aku terhenyak seketika. Kabut asap itu telah menghilang. Di hadapanku bukan lagi makhluk hitam gelap yang menebar ketakutan. Ia berwajah terang begitu damai menerangi relung hatiku. Namun, aku justru ketakutan saat melihatnya. Pusara siapa yang terukir namamu ini?

Dia adalah kematian. Dia mengorbankan dirinya karena mencintaimu. Saat kamu dengan bodohnya berdo'a kepada tuhan untuk meminta dia yang kamu sebut dengan cinta. Sadarkah kamu selama ini kematian berbahagia denganmu? Kamu dengan angkuhnya berkata 'besok aku mati! besok aku mati! besok aku mati!' Tapi dengan tulusnya kematian selalu menjagamu. Membiarkanmu melepas segala keluh kesahmu pada tubuhnya. Membiarkanmu merenggut satu-satunya do'a miliknya yang akan di kabulkan tuhan.

Aku pun tertunduk menatap pusara itu. Ku gosok nama kamu yang terukir disana, tergantikan dengan nama yang lain. Air mataku telah habis, hanya tertinggal senggukan yang memaksa nyawa terdesak hingga ke tenggorokan. Aku menatap kepada kehidupan, lalu bertanya.

"Apakah kamu akan mencintaiku? seperti aku mencinta kematian?"

"Tentu saja, aku akan mencintaimu setulusnya. Menemanimu melihatnya dari kejauhan, berbahagia dengan lelaki pilihannya. Aku akan berikan harapan-harapan saat kamu tak sengaja berjumpa dengannya. Akan aku hadirkan pula kejadian-kejadian yang memaksamu untuk menemuinya. Memberitahu dengan sungguh bahwa lelaki yang dipilihnya telah bercinta dengan wanita lain. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Dengan tulusnya ia berkata, 'aku mencintainya daripada kamu si lelaki bodoh yang berdo'a dengan do'a yang bodoh sehingga kematian telah mati. Lalu kematian tak dapat menjemput lelaki bodoh yang aku pilih dibanding lelaki bodoh yang padanya telah aku titipkan hati ini.'"


~ Sajak Lelaki, MMXX

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sajak LelakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang