Sepuluh

18.3K 2.7K 91
                                    

Jantungku masih berdegub tak karuan hingga pagi menjelang. Mengingat kejadian semalam saat aku mencium pipi Pak Dirga di depan umum sebagai sebuah bentuk pencitraan. Aku tidak bermaksud mempermainkan, lagipula sebelumnya sudah minta persetujuan Pak Dirga dan dia tidak keberatan aku minta tolong. Pak Dirga sama sekali tidak menghubungi sesudah insiden tersebut. Apakah dia marah atau tersinggung? Ah, kepalaku jadi pusing.

Masih hari Minggu, aku kembali merebahkan diri. Berusaha kembali memejamkan mata sekaligus untuk menghalau peristiwa semalam. Memanfaatkan sebaik-baiknya akhir pekan untuk menjernihkan diri. Aku menguap lebar. Tiba-tiba dering gawai menginterupsiku untuk melanjutkan tidur. Sontak mataku terbelalak melihat sebuah nama yang terpampang di layar. Dirgantara. Sekarang aku menyimpan namanya demikian di kontak ponsel.

"Halo?" sapaku setelah menarik napas dalam-dalam.

"Prisha, saya di depan rumah kamu. Saya ketuk-ketuk pintu nggak ada yang buka. Kamu keluar, ya."

Sambungan dimatikan. Aku melongo. Bisa-bisanya dia sudah datang ke rumahku sepagi ini. Lantas aku ingat kalau mama dan papa sudah berangkat ke acara lamaran sepupuku pagi-pagi buta. Aku tidak ikut karena menjaga Mbak Intan di rumah yang sedang hamil.

Sesudah membasuh wajah dan menyisir rambut sekenanya, aku menuju ruang tamu. Kuintip dari balik gorden yang belum tersingkap, sebuah mobil berhenti di depan pagar. Itu adalah mobil yang mengantarku semalam. Pak Dirga datang ke rumahku. Apakah dia ingin membuat perhitungan atas sikapku tadi malam?

Saat aku membuka pintu, pada saat itu juga Pak Dirga keluar dari mobilnya. Aku berdiri terpaku menatapnya berjalan mendekat. Pak Dirga memandangku tak berkedip. Sepertinya aku tidak memakai busana yang tepat. Daster kedodoran warna kuning menyala dengan motif bunga matahari terlihat mencolok tanpa polesan make up. Ya ampun, kelihatan banget aku baru bangun tidur.

"Selamat pagi, Pak," sapaku tersenyum kikuk.

"Pagi. Formal banget, Sha. Kayak kita mau close meeting saja. Kamu baru bangun tidur?" Pak Dirga bertanya balik sambil mengamatiku.

"Iya, kan hari Minggu. Hari rebahan sedunia," sahutku seraya melebarkan pintu, memberi isyarat supaya Pak Dirga masuk.

"Berarti kamu lagi nggak pengin keluar, ya? Rebahan seharian apa badan kamu nggak pegal?"

"Ya nggak seharian juga, tapi pengin malas-malasan gitu."

"Padahal saya ingin ajak kamu jalan-jalan, lho. Mumpung libur."

Sudah lama aku tidak keluar di akhir pekan dalam rangka jalan-jalan—maksudnya dengan seseorang yang bukan keluarga atau teman dekat. Ajakan Pak Dirga terdengar menggiurkan, tapi tidak mungkin. Aku harus menjaga Mbak Intan. Kalau dia butuh sesuatu aku harus siaga. Kehamilannya memang baik-baik saja, tapi setidaknya Mbak Intan harus ditemani.

"Kakak saya sedang hamil. Saya nggak bisa ninggalin dia sendiri," ucapku.

"Oh, sudah berapa bulan usia kandungannya?"

"Lima bulan."

"Nggak usah khawatir sama gue, Sha. Lo kalau mau pergi pergi saja. Gue nggak usah dijaga lagian gue nggak ke mana-mana." Tiba-tiba Mbak Intan muncul sambil membawa nampan berisi minuman.

Aku tercengang, dengan sigap mengambil alih nampan di tangannya. Mbak Intan ikut duduk bersama kami. Dia tersenyum kepada Pak Dirga dan momen itu dimanfaatkan Pak Dirga untuk bernegosiasi. Langsung saja Mbak Intan mengiyakan ketika Pak Dirga minta izin. Gara-gara kejadian tadi malam, tampaknya Pak Dirga terbawa suasana. Pasti dia mengira aku memiliki perasaan terhadapnya. Padahal hal itu kulakukan semata-mata untuk membentuk citra.

Selama bersiap-siap, Mbak Intan dan Pak Dirga saling berbincang. Aku malah berpikir bagaimana kalau Mbak Intan dan Pak Dirga dijodohkan, ya? Jangan-jangan tujuannya memang begitu. Pak Dirga sengaja mendekatiku untuk mendapatkan hati Mbak Intan. Walaupun dalam keadaan hamil, pesona kecantikan Mbak Intan tetap terpancar. Auranya tidak kalah dengan gadis-gadis perawan. Mustahil kalau pria normal tidak tertarik dengan kakakku itu.

Why You're Not Married Yet? [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang