ANAK LAUT

275 23 3
                                    

Laut Jawa, Medio 2012

Empatbelas Tahun sebelumnya...

Peralihan musim tidak pernah memberikan angin yang tenang. Seringnya angin dingin berhembus dan berbalik. Terutama di daerah perairan tropis dimana perubahan suhu seringkali cukup ekstrim walau hanya dalam jangka waktu yang cukup pendek.

Pergerakan arah dan kecepatan angin selalu berubah setiap saat, dan terkadang mempengaruhi arah dan tinggi gelombang air. Terlebih di lautan lepas, sesekali permukaan laut yang seperti datar, sebenarnya sedang bergerak, kadang dengan ketinggian gelombang mencapai belasan meter.


Tak berbeda halnya dengan hari ini, ketika sebuah boat pemancing sedang menikmati pagi ini ditengah laut lepas. Speed boat itu disewa khusus oleh sekelompok pria di usia empat-puluhan tahun. Dari pakaian dan perlengkapan yang mereka bawa, nampak bahwa mereka adalah sekumpulan penghobi memancing.

Dini hari mereka meninggalkan rumah mereka untuk menuju pelabuhan kapal-kapal pemancing lainnya, untuk menaiki boat yang sudah biasa mereka sewa dari beberapa kali kegiatan sebelumnya. Dan jauh sebelum fajar menyingsing, perahu mereka sudah meluncur menuju spot-spot pemancingan yang sudah santer diketahui terdapat banyak ikan didalamnya.

Bukan untuk menjual hasil tangkapan yang mereka harapkan, bagai para nelayan dari kampung sebelah pelabuhan, yang menangkap ikan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, melainkan hanya sebuah sarana melepas penat yang mereka alami di kehidupan sehari-harinya.

Speed boat itu kini diam terapung di permukaan laut tenang. Empat batang tongkat pancing terentang keluar, dengan sebuah binar tipis dari sebuah senar nylon yang terulur kedalam air. Sesekali bergantian salah satu dari pemilik keempat kail itu menengok tali pancingnya.


Tiba-tiba salah satu senar tertarik menegang. Gerakan-gerakan pelampung yang tadinya tenang mengikuti arus mendadak bergerak liar kesana kemari. Sebuah kekuatan besar sedang bergerak dibawah laut sana.

"Cak Rae, pancingane si Bimo enthuk ki. Ndangen si Bimo-ne" (Cak Rae, pancingan si Bimo kena, cepat panggilkan si Bimo-nya), panggil salah satu pemancing itu.

Orang-orang diatas perahu segera memanggil nama "Ma... BIMAAAAAAAAA!!!!"

Yang dipanggil ternyata adalah seorang anak laki-laki, tubuh kurus, beratnya mungkin hanya 25-30kg saja. Kulitnya sebenarnya putih walau terlihat sangat kusam. Usianya baru 8 tahun.

Dengan sigap si anak kecil tadi seperti bergerak lincah diantara sejumlah peti-peti cool-box dan perlengkapan memancing yang berserakan di lantai dek perahu itu, menuju batang joran pancingnya, yang sekarang terlihat sudah mulai melengkung karena adanya tarikan dari bawah.

Dengan cepat jarinya menyentuh tombol pengikat silinder reel senar, membiarkan senarnya terulur dan mengikuti gerakan tarikan dari bawah. Beberapa saat kemudian ketika tarikan di senar mengendur, di-engkol-nya handle pada reel untuk mengurangi panjang uluran senar.

Sesekali tarikan ringan terasa di senar pancing, dan apabila dirasa tidak terlalu kuat, anak kecil itu meneruskan memutar reel-nya.

Satu orang dewasa mengawasinya dari belakang, dan sesekali mulutnya terucap, "tahan, ulur, putar", dan sejenisnya, memberikan instruksi apa yang harus dilakukan oleh anak itu.


Selama Bima berjuang untuk menarik hasil tangkapan pancingannya itu, langit-pun perlahan berubah dari cerah berawan, dan tiba-tiba awan gelap telah bergelung dan berkumpul tidak jauh dari posisi mereka.

"Baiknya segera bantu dia menangkap ikannya, lalu kita cepat pergi dari sini, sepertinya cuaca akan sangat buruk", ucap nahkoda kapal kepada salah satu pemancing.

Namun peringatan itu hanya dijawab ringan, "biarkan dia berjuang sampai dapat atau lepas. Ini pengalaman pertamanya"

"Dan itu akan jadi pengalaman terakhirnya apabila kita tidak segera bergegas", balas si Nahkoda kapal lagi.

"Ini kan bukan pertama kali kita terjebak badai saat memancing, Cak, biar saja lah, paling jelek cuma muntah-muntah karena mabuk laut aja"

"Yang saya khawatirkan, melihat awan dan angin, kita akan mengalami lebih dari sebuah mabuk laut", ucap Nahkoda kapal lagi sambil berlalu.


Beberapa menit terus berlalu sementara Bima berjuang dengan joran pancingnya. Nampaknya si ikan yang tertangkap belum mau menyerah begitu saja, namun Bima-pun terdorong untuk terus melawan. Bagi Bima, ini adalah perang tekad antara Bima dengan ikan tangkapannya.

Sementara, langit semakin gelap dan awan semakin menggelung tebal diatas mereka. Nahkoda kapal berseru sekali lagi, "Kita pergi sekarang, Bapak-bapak, atau kita tidak akan pernah pulang".


Bima sama sekali tidak mendengar seruan Nahkoda, ia terlalu fokus dengan pancingannya. Dan baru menyadari kapal itu bergerak ketika tiba-tiba arah tarikan pancingnya menjadi ke sisi belakang kapal.

"Pak?? Gimana ni?", ucap Bima memanggil ayahnya.

"Teruskan, Bim, sampai ikannya menyerah atau senarmu putus. Usaha terus!", seru ayahnya.


Pada saat itu ketiga pemancing yang lain bahkan sudah tidak mempedulikan lagi soal kail pancing Bima. Mereka bahkan sudah mencondongkan tubuhnya berjalan merapat kedalam kabin kapal.

Nahkoda kapal terus melajukan kapal motornya secepat yang dia mampu. Alun gelombang laut sudah semakin meninggi, menyebabkan beberapa kali kapal itu seperti terbang dan menghempas dengan keras ke permukaan air di alun gelombang selanjutnya.

Bima kecil terus berjuang untuk menarik kailnya, sepertinya perlawanan dari si ikan sudah tidak sekuat tadi, namun tentunya menyeret si ikan dengan kecepatan kapal seperti inipun membuat tenaga yang dibutuhkannya menjadi berlipat ganda.

Mengabaikan tubuhnya yang kini basah kuyub akibat cipratan air laut dan hujan yang kini telah turun dengan derasnya, fokusnya masih kepada senar pancingnya yang berulang-ulang menegang atau mengendur itu.


Beberapa kali ketika perahu melayang lagi, Bima dapat melihat seekor ikan besar yang terkait dengan kail pancingnya juga melayang meninggalkan permukaan air.

Dan akhirnya, setelah ayunan kapal yang ke sekian kalinya, ikan besar itupun kembali terangkat dari permukaan air dan meluncur cepat menuju kearah Bima berada.

Bima tidak menyadari, ketika ikan itu meluncur kearahnya, bersamaan itu juga sejumlah perlengkapan memancing dan beberapa peti meluncur kearah belakang kapal.


Ikan yang terpancing itupun akhirnya menghantam dek kapal, dan pada saat itulah Bima menyadari ikan sepanjang lebih dari satu meter itu telah mengalihkan perhatiannya dari keadaan sekelilingnya. Ia baru memahami kenapa ikan itu bisa tertarik dan melompat kedalam kapal, karena posisi kapal itu kini telah terangkat dengan posisi haluan dan buritan dalam keadaan segaris vertikal.

Kapal itu telah terangkat oleh sebuah alun gelombang besar dan kini menghadap keatas.

Nahkoda kapal mendorong tuas tenaga mesinnya pol kedepan, berharap daya dorong dari propeller masih bisa mendorongnya melewati gelombang besar itu.

Selama beberapa detik, semua penumpang berharap kapal itu bisa melewati puncak gelombang untuk bisa melaju kembali.

Namun takdir berkata lain, kapal itu kini seolah diam. Daya dorong mesin berada di titik yang sama dengan tarikan gravitasi dan dorongan arus.

Tidak butuh waktu yang lama hingga akhirnya kapal itu malah bergerak mundur, turun menuju celukan air dibawahnya, sementara gelombang diatasnya semakin meninggi seolah siap menelan kapal kecil itu kedalam mulut gelombang raksasa.

Bima hanya sempat melihat gelombang laut telah berada jauh diatas kabin anjungan kapalnya, dan sesaat kemudian, ia hanya melihat warna abu-abu gelap dan rasa cairan asin didalam mulutnya. Beberapa detik kemudian, Bima, ayahnya, dan seluruh kapal beserta penumpangnya, telah hilang ditelan lautan

Bima - BahariOnde histórias criam vida. Descubra agora