one; it's us

12.1K 1.2K 205
                                    

[Name] Brookheimer. Tahun keenam.

Slytherin.

Sassy. Bossy. Bitchy.

Half-Blood.

Teman dekat Draco Malfoy.

Tunggu— apa?!

Empat belas tahun Draco hidup, hanya dua orang yang ia tahu merupakan Half-Blood dan juga Slytherin pada waktu bersamaan. Severus Snape, Tom Riddle. Bukan orang-orang lemah.

Lalu pada suatu hari, sebelum kepergiannya ke Hogwarts untuk pertama kali, Lucius memperingati Draco soal keberadaan Half-Blood Slytherin ketiga.

Tentu Lucius ingin anaknya menjadi mata-mata, namun dengan sikap Draco yang sejak kecil saja sudah susah diatur, memata-matai [name] menjadi sedikit sulit.

Anehnya, mereka malah jadi dekat. Bahkan terhitung sahabat. Yang awalnya Draco selalu mengajak gadis itu berkelahi, apa-apa ia komentari, berakhir keduanya menjadi seperti ini.

Bisa disebut, love-hate friendship.

Tapi [name] selalu menolak tiap Draco ajak nongkrong bersama teman-teman cowoknya yang lain, alias Crabbe dan Goyle. Alasannya seringkali karena [name] lebih suka ketenangan, kadang gadis itu menghabiskan sehari penuh di perpustakaan. Kegiatannya tidak selalu membaca, terkadang menulis, atau menggambar. Di lain waktu [name] lebih suka tidur.

Pernah sekali kejadian, Draco dimarahi habis-habisan gegara menjahili Harry. Ketika [name] mulai membela karena kasihan, Profesor McGonagall langsung mengakhiri sesi marah-marahnya.

Lalu untuk beberapa alasan, Draco menaruh respek pada gadis yang dua tahun lebih tua darinya itu. Mayoritasnya karena [name] adalah versi lebih dari seorang Draco.

Lebih songong. Lebih galak. Lebih pintar.

Dan yang paling penting, Draco tahu [name] menaruh hati pada seorang siswa di Dorm Hufflepuff. Hal ini menjadi senjata bagi si pemuda, pokoknya biar tiap hari ada bahan ribut aja.

"Cedric."

"Berisik."

Draco tertawa sarkas. "Sok galak. Disuruh menyapa saja tak berani. Jauh-jauh menjadi kekasih."

[name] menggeleng, "Aku terlalu keren untuk dimiliki." 

"Cih, bilang saja tak punya nyali." Draco mulai kumat, "Mudblood memang pengecut."

"Malfoy, kapan kamu terakhir kali berbicara sedekat ini dengan perempuan selain aku? Ibumu? Profesor McGonagall? Hm? Kapan?"

Ekspresi Draco kian kecut, lirikannya dialihkan ke arah lain. Banyak murid berlalu-lalang di aula besar, biasanya Draco tak pernah mau makan disini bersama yang lain.

Hanya karena [name] yang mengajak, dan mungkin karena cowok itu sedikit bosan.

"Tak ada kan? Nah, ngaca."

"Ada!" Draco yang mulai jengkel agak mengeraskan suaranya, "Kemarin. Di Quidditch World Cup, Hermione dan aku-"

"Pfft. Mengaku juga."

Draco menggeram, "Awas ya, Brookheimer. Pokoknya Ayahku akan dengar soal ini."

"Dengar soal kau dan Hermione?"

"Diam!"

Lalu pergilah si putra Malfoy, meninggalkan satu-satunya teman perempuan yang ia miliki tengah tertawa keras sendiri. Hanya [name] yang punya energi untuk membuat Draco sekesal itu, selain Harry tentunya.

Namun sifat songong [name] akan hilang begitu saja saat seorang Cedric Diggory melintas di depan. Iya, bahkan ketika sekedar melintas, apalagi kalau berada pada ruangan yang sama.

Beruntung Cedric satu tahun lebih tua daripada [name], tidak ada harapan akan menempati satu kelas yang sama.

[name] selalu linglung. Lemas. Tak berdaya. Berkeringat. Pusing. Kejang-kejang. Muntaber.

Tunggu, yang itu gejala malaria.

Yang pasti sih, [name] selalu menghindar. Setiap Cedric melintas gadis itu pasti membuang muka. Memasang raut kecut. Matanya melirik kemana-mana, asal bukan pada si pemuda.

Dari luar, sikap [name] terlihat bitchy. Judes, ketus. Namun aslinya adalah apa yang Draco sebutkan tadi, malu. Bahkan Cedric sendiri merasa gadis itu tak menyukainya, habisnya hampir semua murid Hogwarts selalu ramah terhadap Cedric.

Tentu saja karena laki-laki itu well-known sebagai murid yang pandai dalam akademik maupun atletik, dari tahun pertama saja para pengajar dan pelajar sudah banyak mengaguminya.

Terhitung lima tahun sudah [name] menyukai Cedric Diggory. Tak pernah mengobrol, belum sekalipun bertegur sapa. Tapi, [name] sungguhan suka.

Slytherin itu sulit jatuh cinta. Namun sekalinya kena, pasti setia.

handwritten. | cedric diggory Where stories live. Discover now