Bagian Keempat

10.9K 3.8K 621
                                    

Lo tahu apa yang akan terjadi jika lo menghadiri sebuah pesta pernikahan di Indonesia? Lo akan menemukan ibu-ibu berpenampilan ala istri pejabat duduk sambil kipas-kipas pakai robekan kardus bekas akua. Lalu terus-terusan menggerutu sebab masih kepanasan. Di meja yang sangat jauh dari sepasang pengantin itu berdiri bersebelahan, bersalam-salaman pada tamu-tamu undangan yang datang, gue duduk sendirian.

Akhirnya, hari dimana gue melihat Andara utuh dengan pilihannya datang juga. Di depan sana, dia sudah resmi menjadi bagian dari hidup Arjuna. Sementara di sini, gue masih bagian dari hati yang patah sebab merelakan dia untuk dimiliki orang lain.

Kalian tahu, bagaimana awalnya Andara bertemu dengan Arjuna hingga akhirnya mereka berdiri di pelaminan seperti sekarang? Gue. Hahahah, iya gue! Kurang goblok apalagi coba?

Gue memperkenalkan Andara kepada Arjuna di sebuah liburan akhir tahun di Seminyak, Bali, 2 tahun yang lalu. Sebenarnya itu acara kantor. Semacam reward untuk pegawai yang sudah berkontribusi tinggi untuk perusahaan. Gue, Arjuna dan 6 orang lainnya mendapat reward liburan di Bali selama 4 hari. Tidak mau senang-senang sendirian, gue mengajak Andara. Ya begitulah. Mungkin ini semacam mengamini sebuah pepatah lama, bahwa jodoh tidak akan pernah tertukar.

Di tengah-tengah resepsi patah hati ini, gue tiba-tiba menjadi orang bijak. Bahwasanya itu benar, takdir akan selalu berjalan ke tempat dimana seharusnya ia menyatu. Berdirinya Andara di depan sana bersama Arjuna adalah bukti nyata bahwa dia bukanlah jodoh gue. Buset, kurang bijak apa lagi gue, Cuk!

"Hen?" gue menoleh, bersamaan dengan kedatangan Regan yang membawa dua piring nasi dengan kuah rawon dan kerupuk udang di atasnya. "Makan, Hen. Patah hati juga butuh banyak tenaga. Kan nggak lucu kalau lo tiba-tiba semaput, terus mati."

"Sopan banget suara lo masuk ke telinga gue, Gan." gue mengetukkan tangan ke meja dan kepala gue secara bergantian. Menghalau agar kata-kata jahat Regan tidak menjadi kenyataan. Ya emang bener, patah hati rasanya menyakitkan. Tapi rasa sakitnya nggak cukup bikin gue pengen mati.

Laki-laki itu cuma ketawa aja. Tapi terima kasih untuk Regan, dia baik banget perhatiin gue sampai-sampai bawain gue makanan. Entah kenapa ya, emang rasanya nggak lapar sama sekali. Seakan-akan melihat senyuman di bibir Andara saat ini sudah lebih cukup buat gue.

"Gan, seumpama nih, lo jadi gue... lo bakal bilang ke Andara nggak, kalau lo selama ini sayang sama dia?"

"Jadi bener?" gue menoleh kebingungan, lalu Regan menatap gue dengan raut wajah jenaka. "Lo selama ini menaruh perasaan lebih buat Andara. Lo jatuh cinta sama dia."

Gue tidak mengatakan apa-apa. Tapi gue yakin Regan cukup pintar untuk membaca situasi, apa yang sebenarnya terjadi.

"Gue akan tetap bilang." kata Regan. Piring berisi nasi rawonnya ia abaikan begitu saja. Sorot matanya berlari jauh ke arah Andara dan Arjuna berada. "Karena gue nggak mau suatu hari nanti gue menerka-nerka, 'kalau waktu itu gue jujur sama Andara, kira-kira apa yang bakal terjadi?'. Hidup ini selalu dipenuhi resiko, Hen. Tapi ketika lo berani mencoba, terlepas itu berhasil atau enggak, pada akhirnya lo tetap berhasil. Kalau lo nggak berhasil dalam hubungan lo dan Andara, lo akan berhasil dalam hal untuk tidak menyerah pada sesuatu. Tapi saat ini, lo terlanjur kalah bahkan sebelum lo bergerak."

Mendengar penuturan Regan, gue nggak bisa berkata-kata. Gue rasa apa yang cowok itu bilang ada benarnya. Buktinya sekarang gue berandai-andai dalam diam. Seandainya saat itu gue mengaku pada Andara, kira-kira bagaimana akhirnya? Apakah orang yang berdiri di samping Andara saat ini adalah gue? Atau... tetap orang lain.

"Tapi sekarang, mengaku udah nggak ada artinya lagi, Hen. Andara udah punya mimpi baru sekarang. Dia punya rencana-rencana indah yang akan dia wujudkan sama Arjuna. Dan lo... lo harus tetap melanjutkan hidup. Karena Andara sekarang udah bahagia, lo juga harus bahagia. Mungkin butuh waktu lebih lama dari proses lo jatuh cinta sama dia, tapi bukan berarti lo nggak akan pernah bisa."

Di titik ini, gue bertanya-tanya mengenai satu hal: apakah Regan pernah mengalami sebuah nasib percintaan yang lebih tragis dari ini? Tapi apapun yang pernah dilalui Regan, gue berterima kasih untuk beberapa nasihat yang ia bilang ke gue.

Regan benar, terlalu terlambat untuk mengaku dan memperbaiki keadaan. Semuanya sudah terlanjur jauh untuk gue tata ulang dari awal. Meski mungkin rasanya akan sulit, gue harus bahagia. Katanya, hidup harus tetap berlanjut kan?

Ini maksud gue. Gue akan melanjutkan hidup setelah gue melakukan satu hal yang menurut gue harus gue lakukan. Mengabaikan Regan, gue berjalan ke depan. Orang-orang awalnya tidak ada yang peduli, tapi saat gue meniup microphone, orang-orang mulai menoleh. Termasuk Andara dan Arjuna.

"Selamat malam semuanya..." gue mengawalinya dengan menggenggam gagang mic begitu erat.

Ayo, Hen, senyum yang lebar!

"Perkenalkan, nama saya Hendery, seseorang yang menghabiskan waktu bersama Andara lebih lama dari Arjuna." saat gue bilang begitu, orang-orang memandang gue dengan tatapan curiga. Seolah-olah gue akan merebut Andara dari sisi Arjuna detik itu juga.

"An, dulu kita pernah camping di Ciwidey, ingat? Waktu itu lo pernah bilang begini, 'Hen, suatu saat kalau gue nikah, tolong nyanyikan lagu paling indah buat gue', lo bilang begitu 6 tahun yang lalu waktu kita melihat begitu banyak bintang menghiasi langit malam. Dan gue bilang, 'gue pasti akan nanyi lagu paling indah buat lo, An. Jangan khawatir.' Dan sekarang gue berdiri di sini buat lo, An. Gue akan menyanyikan satu lagu indah buat lo... sahabat terbaik yang pernah gue punya."

Kurang romantis apa gue jadi sahabat? Hahah jancuk.

"Tapi sebelum itu, ijinkan gue mengatakan sesuatu buat laki-laki yang saat ini berdiri di sebelah lo..." Arjuna menatap gue. Matanya dipenuhi binar-binar bahagia, tersenyum lebar ke arah gue. "Jun, gue kenal Andara udah 10 tahun. Enggak, gue nggak berkeinginan buat membandingkan berapa lama kita berada dalam lingkaran hidup Andara. Gue hanya menginginkan satu hal, jagain sahabat gue, Jun. 10 tahun bukan waktu sebentar buat gue jagain dia. Gue selalu ada setiap kali dia merasa dunia nggak pernah memihak dia. Dan sekarang giliran lo, titip Andara. Tolong bahagiakan dia.."

Dari tempat gue berdiri, gue melihat Andara tersenyum tipis. Tangan melingkar pada lengan Arjuna, cocok sekali. Sementara di sini, gue memeluk gitar dan tersenyum dengan susah payah.

"Selamat menempuh hidup baru, An."

Gue udah nggak sanggup berkata apa-apa lagi. Akhirnya gue memutuskan untuk memainkan gitar yang tengah gue peluk. Diawali dengan nada sendu, kemudian bernyanyi....

"Berjam-jam aku terdiam
Menatap buku catatan
Aku sedang berencana
Menulis puisi tersendu tentang kamu
Hm-mm-mm ...

Semakin ku berusaha
Semakin aku tak bisa
Pura-pura sedang gundah
Bukanlah hal yang mudah

Ternyata aku tak bisa
Sembunyikan bahagia
Dan bila ada orang bertanya-tanya
Siapakah dia yang membuatku bahagia?
Kamulah orangnya

Kamu memang luar biasa
Tak sama dengan lainnya
Aku selalu tertawa
Hingga lupa rasanya
Pahit, getir, kecewa

Ternyata aku tak bisa
Sembunyikan bahagia
Dan bila ada orang bertanya-tanya
Siapakah dia yang membuatku bahagia?
Kamulah orangnya
Kamulah orangnya

Ternyata pada akhirnya
Aku tak bisa berdusta
Bukan hal yang sederhana
Menulis puisi tersendu tentang kamu..."

Semoga lo selalu bahagia dengan apa yang udah lo pilih, An. Karena gue udah nggak bisa jagain lo lagi. Yang bisa gue lakukan sekarang hanya mendoakan lo dari jauh. Suatu saat ketika lo akhirnya menemukan utas ini, An, mungkin lo akan terkejut dan nggak menyangka sama sekali.

Iya, An. Gue sayang sama lo lebih dari sekadar sahabat. 7 tahun gue mati-matian menjaga perasaan ini, tapi akhirnya karam juga. Nggak pa-pa, An. Jangan khawatir. Gue akan selalu baik-baik aja. Selama lo bahagia, gue juga akan bahagia. Ingat itu ya, An. Lo harus bahagia supaya lo juga bisa menemukan gue bahagia.

Gue sayang sama lo, An.

***

Elegi Patah Hati | Hendery✔Where stories live. Discover now