Memory

67 2 1
                                    

Aku tidak ingat pernah memiliki sebuah masa lalu yang berharga atau tidak. Sulit untuk serius memikirkannya saat kejadian-kejadian di hari kemarin saja banyak yang terbuang dari ingatan.

Mungkin biasa saja. Tidak ada kenangan yang spesial sampai bisa mengubah diriku menjadi orang baru setelah peristiwa penting. Namun saat dipikir kembali, sejak lahir aku memang tidak pernah mengalami pengalaman unik.

Perjalanan hidupku selalu datar-datar saja. Senang atau sedih pun hanya berlalu tanpa menjadi kenangan. Mungkin alasan keberadaanku di muka bumi ini memang untuk menjadi manusia tak berguna, tidak berpengaruh bagi dunia, dan bisanya hanya menghabiskan persediaan bumi saja.

Ketika mengingat usiaku yang sudah hampir seperempat abad, rasanya mulai hambar untuk menjalani rutinitas harian. Pergi bekerja pagi-pagi lalu pulang dengan surya sudah tenggelam tiap hari, tentu makin tambah membosankan saja hidupku ini.

Beberapa rekan kerja di kantor sering menyarankan untuk segera mencari pasangan lawan jenis. Katanya, usiaku sudah cukup matang untuk mendapatkan jodoh dan membangun rumah tangga.

Kelihatannya memang mudah. Seakan semua beban hidup selama melajang bakal luruh begitu saja dengan menikah. Padahal, memikirkan biaya pernikahan serta gaya hidup baru setelah lepas keperawanan itu jauh lebih rumit.

"Cobalah sekali saja mengikuti kencan buta. Kalau mau, aku ada seseorang yang sedang mencari pasangan juga."

"Tapi aku tidak sedang mencari pasangan. Bahkan enggan juga untuk mendapatkannya." Aku menyahut malas pada rekan kerjaku itu.

"Kalau tidak cocok ya tinggal ucapkan selamat tinggal. Cuma kencan buta ini, anggap iseng saja."

Meski enggan, aku tetap menaruh perhatian pada layar ponselnya yang menampilkan sosial media pria itu. Katanya, dia berumur dua tahun lebih tua dariku. Namun, dalam sekilas saja aku sudah bisa mengetahui alasan kenapa orang tersebut repot-repot meminta bantuan pada teman untuk mendapat pasangan kencan. Melihat wajahnya yang terlihat cuek dan tidak terlalu menarik pun, aku sama sekali tak menaruh minat untuk bertemu.

Namun, pada akhirnya aku tetap meluangkan waktu di akhir pekan. Bangun lebih awal dari biasanya untuk berdandan rapi dan tampil semenarik mungkin demi memberi kesan pertama yang baik. Bauku juga sudah seperti parfum berjalan saat memasuki restoran dimana kami telah janji temu sebelumnya.

Agak berbeda dari foto dalam unggahan di sosial media, pria itu kelihatan lebih kurus dan pucat. Matanya yang kecil dan tak berseri pun membuatku ciut saat duduk di hadapannya.

"Namaku Min Yoongi. Salam kenal."

Aku menjabat tangannya yang besar dan berjemari panjang kurus tersebut seraya menyebutkan namaku.

Obrolan kami berjalan biasa saja. Si pria berambut hitam yang helai depannya sering jatuh ke kening itu juga tampak tak terlalu menikmati kencan buta ini.

"Tagihannya biar aku yang bayar," katanya saat aku hendak mengambil dompet dari tas.

Aku tidak menolak. Lagipula jumlah tabunganku juga sudah sekarat di akhir bulan.

"Terima kasih." Aku lantas membungkukkan badan dengan sopan.

Reaksi pria itu di luar dugaan. Setelah kembali menegakkan badan, aku melihat gusi atas serta jajaran giginya yang kecil-kecil tampak imut saat tertawa.

Well, kalau saja lebih sering menunjukkan sisi diri yang seperti itu, tentu ia tak perlu repot-repot mencari seseorang untuk dijadikan pasangan. Jika bertemu sekilas juga, aku akan langsung tertarik saat melihat matanya yang menyipit lucu itu.

Aku pasti terlihat konyol sekali di matanya.

"Jangan terlalu formal begitu," katanya. Tawanya berangsur lenyap dan berganti jadi senyum tipis. "Aku memang agak canggung dan tidak pandai mencari topik obrolan. Tapi, kapan-kapan ayo bertemu lagi."

MemoryWhere stories live. Discover now