- 17 -

114K 10.3K 220
                                    

Retha merenggangkan otot tangan dan kakinya sejenak, melakukan pemanasan kecil selagi mempersiapkan dirinya untuk rock climbing pertamanya. Kepalanya sesekali mendongak, untuk melihat seberapa tingginya lintasan gunung yang dilengkapi via feratta* sebagai jalur pendakiannya.

(*Via ferrata : teknik memanjat dengan mendaki tangga besi yang "ditanam" di dinding tebing. )

Dua minggu setelah pembahasan di kafe bersama Bagas, akhirnya mereka benar-benar melakukan perjalanan ini. Retha tampak bersemangat untuk memulai langkah pertamanya, melakukan pijakan pada tangga besi yang tertanam di bebatuan ini.

"Pelan-pelan, Tha." Bagas yang mengikuti di belakangnya mengingatkan, saat melihat Retha yang begitu antusias untuk menggapai pijakan demi pijakan yang menjulur hingga ke puncak gunung.

"Iya," sahut Retha. Gerakannya kini diperlambat, menuruti ucapan Bagas untuk pelan-pelan. Ia juga tidak mau kehabisan energi karena terlalu bersemangat saat berada di tengah perjalanan.

Retha memindahkan carabiner* yang tersambung pada tali karmantelnya secara berkala, setiap kali wanita itu berpindah dari satu pijakan ke pijakan berikutnya. Ia tidak terlihat kesulitan setiap kali memindahkan benda logam tersebut, tangan yang selama ini hanya berkutat dengan keyboard komputer saat bekerja, tampak telaten meski belum pernah melakukan rock climbing.

(*Carabiner : jenis cincin pengait khusus dengan pengait metal yang dilengkapi pegas)

Retha pernah melakukan wall climbing saat kuliah dulu. Ia bahkan tidak membayangkan untuk reuni dengan olahraga ini, dalam versi yang lebih ekstrem.

"Wah, udah lumayan tinggi nih. Lo gak capek, Tha?" tanya Bagas dari bawahnya.

Retha memindahkan carabinernya pada pijakan besi di atasnya, sebelum menjawab, "Nanggung, sampe yang nyamping itu deh, kita berenti dulu."

Bagas mengangguk, dan kembali mengikuti langkah Retha. Di bawahnya ada seorang pemandu yang bertugas mendampingi setiap kelompok wisatawan, untuk mengawasi keamanan mereka.

"Hari kerja gini emang sepi yaa, Pak?" tanya Bagas setengah berteriak, agar terdengar oleh bapak tersebut.

"Iyaa, Mas. Tapi tiap jam ada aja sih yang dateng meski cuma beberapa orang."

Sepuluh menit kemudian, mereka akhirnya sampai di lintasan menyamping yang tadi dikatakan Retha. Tempat tersebut rupanya juga bisa bersandar, karena batuannya yang lebih miring.

Retha menghentikan langkahnya, diikuti Bagas. Wanita itu mencoba untuk membalikkan tubuhnya agar dapat melihat hamparan alam di sekelilingnya.

Bagas sampai heran, Retha benar-benar tidak ada takutnya untuk ukuran wanita yang baru pertama kali melakukan hal ini. Retha memang selalu luar biasa.

"So..., are you happy?" tanya Bagas ketika Retha tengah takjub memandangi alam sekitarnya dari ketinggian ini.

Retha mengangguk, sambil membenahi beberapa anak rambutnya yang keluar dari ikatan. Sudut bibirnya kini bergerak untuk membentuk senyuman.

Kali ini, senyuman itu tampak semakin merekah, hingga menampakan barisan giginya.

Damn! She's cute.

"Thank you," ucap Retha kemudian. Wanita itu menoleh ke sampingnya, mendapati Bagas yang justru tengah memperhatikannya alih-alih pemandangan di hadapannya. "Gue masih gak nyangka, akhirnya gue bisa berdiri di sini. Gue kira, pemandangan ini, pengalaman ini, cuma bisa gue liat di pinterest doang."

"What's next?" tanya Bagas, membahas trip berikutnya setelah perjalanan ini.

Mata Retha semakin berbinar mendengar pertanyaan ini, ia bahkan tak menyangka akan ada yang berikutnya, saking hal ini saja sudah membuatnya begitu bahagia.

Win-Win Solution Where stories live. Discover now