Cerpen no 16 - Kau Akan Tahu

874 21 0
                                    


Aku selalu tahu bahwa kabar itu pasti akan sampai padamu. Kala kabar itu masih jauh, aku berharap kau tidak akan menangis setiap malam setelah mendengarnya. Aku harap waktu bisa kuputar sehingga aku bisa memelukmu erat saat kali terakhir kita berjumpa.

Aku mencintaimu. Aku pun juga merindukanmu.

Pada hari itu, aku ingin mendekapmu erat saat matamu menatap jasadku nanar. Aku ingin bersandar di pundakmu sambil menangis pilu karena waktu memisahkan raga dan jiwa di saat tak terduga.

Sembilan tahun. Dirimu terus mencintaiku selama itu tanpa kata menyerah. Mata coklatmu yang dulu selalu bercahaya saat menatapku, kini terlihat kerap tak fokus. Ragamu hadir di satu tempat, namun pikiranmu mengelana tak tentu arah. Perangaimu yang terkadang terlalu heboh dengan suara tawa yang terdengar bahagia kini sudah tiada. Kau selalu bermuram durja. Pandangan matamu seakan kosong seperti jiwamu yang kau bilang ikut hancur sebagian bersamaan dengan jantungku yang berhenti berdetak.

Sayang, tidakkah kau tahu bahwa aku sudah bahagia? Aku mungkin meninggalkanmu dengan kejam, tanpa salam perpisahan. Aku meninggalkan dirimu tanpa mengucapkan satu kata yang selalu ingin kau dengar.

Jangan terlalu bersedih. Hakikatnya, semua yang memang ditakdirkan untukmu pasti akan menemukan jalan agar bisa kembali padamu. Aku adalah salah satunya.

Terhitung empat tahun semenjak aku meninggalkan kota tempat kita bertemu. Kau yang kala itu mengkhawatirkanku hanya bisa kusuruh diam karena aku pasti akan baik-baik saja. Aku minta maaf. Nyatanya tatapan mata kita tak bisa berjumpa dan raga ini tak bisa menemuimu di waktu yang sudah kita janjikan untuk kembali saling bertatap muka. Aku minta maaf, karena aku tidak bisa menemanimu menuju bukit dekat pantai dan menyaksikkan matahari terbenam. Aku minta maaf, karena tak bisa lagi membelikanmu album BTS yang menjadi favoritmu. Dan aku minta maaf, karena membuatmu menangis nyaris setiap hari semenjak mendengar kabar bahwa ragaku telah mati.

"Rama, aku ingin bercerita."

Renjana, aku kali ini meminta maaf pula karena tak bisa menjawab semua ratapanmu lagi. Aku minta maaf, jika aku tidak bisa menenangkanmu lagi kala pikiranmu kacau dan hidupmu lagi-lagi dirundung kesedihan karena konflik yang kerap datang.

Aku ingat, sejak dulu kau sangat suka menulis surat dan cerita. Aku masih menyimpan surat darimu. Kertas usang berisi tulisan cakar ayam milikmu masih ada di sudut meja belajarku yang berdebu. Pada surat itu, kau kerap mengucapkan kata maaf. Aku sedih ketika kau merasa bahwa cintamu padaku adalah beban untukku.

Tidakkah kau tahu, bahwa aku selalu bahagia kerena mendapat cintamu yang sangat besar hingga saat terakhir kali aku menghembuskan napas?

Aku tak pernah sekalipun membencimu. Semua asumsi bahwa aku tidak pernah memandangmu selama sembilan tahun ini adalah salah besar. Aku kerap memperhatikanmu kala kau tertawa dengan empat temanmu saat kita masih di sekolah menengah pertama. Aku kerap melirikmu saat kita ada di acara reuni sewaktu kita ada di sekolah menengah atas. Dan tidakkah kau sadar bahwa aku berusaha untuk tetap hadir di sampingmu kala jarak yang terbentang di antara kita adalah samudra, melalui pesan singkat?

"Rama, aku rasa aku gila."

Sayang, kau tidak gila. Sama seperti saat jantungku masih berdetak, aku yang selalu mengawasimu secara diam-diam, kala itu pun hadir di sampingmu. Jiwaku menatapmu yang tengah menangis tersedu di dalam kamar. Hatiku ada bersamamu dengan perasaan tak berdaya luar biasa. Aku ingin mengucapkan salam perpisahan dan selamat tinggal. Aku tahu bahwa kau paling benci ditinggalkan tanpa permisi. Aku tahu bahwa lukamu yang timbul karena perpisahan orang tuamu dan rasa sakit karena ayahmu yang mulai menjauh saat kau masih berusia tiga belas menyisakan lubang menganga dalam dada. Dan sumpah, tak ada niatan dalam diriku untuk meninggalkanmu dengan perasaan duka luar biasa seperti ini.

CerpenWhere stories live. Discover now