#05. Nana

757 115 0
                                    

Sinar mentari mengusik tidur Renjun. Bias cahayanya menyilaukan mata, menusuk kelopak matanya yang tertutup rapat. Tubuhnya menggeliat, rasanya seperti remuk semua. Kepalanya pening, pandangannya masih buram. Kini, silau mentari menusuk mata yang terbuka setelahnya. Pandangannya mengedar ke sekitar, memperhatikan tempat yang rupanya asing bagi dirinya.

Renjun kira dia baru bangun tidur dan bermimpi jatuh dari pesawat terbang yang membuat badannya ikutan remuk semua, namun ternyata kenyataan tak kalah pahit dari mimpinya. Tubuhnya sakit, tulangnya seperti mau patah, namun rupanya hatinya jauh lebih teriris mengingat kejadian kemarin.

Kejadian di mana Lami membentaknya, menarik surai sebahunya, dan mendorongnya hingga terjatuh; terantuk meja bekas yang pinggirannya tajam hingga menimbulkan sayatan panjang di lengan.

Haechan yang tiba-tiba menarik lengannya dengan kasar, lalu dihempaskan begitu saja. Rahangnya dicengkeram dengan erat seakan ingin meremukan. Matanya memicing tajam, menghunus hingga ke hulu hati tatapan benci tersebut.

Di sisi kanan dan kirinya ada Keoun dan Hina. Mereka tidak banyak berbuat, selain sesekali turut menjambak rambut Renjun.

Jeno... ya, lagi-lagi lelaki itu hanya diam membisu. Tidak peduli dan seakan tidak mendengar. Jeno selalu seperti itu, kendati beberapa kali gusar di wajah dapat Renjun lihat. Perempuan itu yakin, Jeno takut ketahuan, dan mungkin perasaan iba terkadang datang, terlebih pacarnyalah yang merundingnya, merundingi Renjun.

Perempuan itu bangkit. Kakinya lemas, namun sekuat mungkin dia paksakan berdiri dan berjalan. Jika dilihat dari eksistesi matahari, sinarnya sudah cukup tinggi menandakan hari mulai siang, dengan begitu lebih baik Renjun pulang ke rumah. Beristirahat dan merawat lukanya. Kendati luka kecil sekali pun yang memang kerap kali didapatkannya, Renjuj hanya tidak ingin luka tersebut menjadi semakin besar jikalau ditambah luka lainnya.

Ya, "mereka" pasti tidak akan puas hanya bermain seperti itu. Seakan merundingi Renjun adalah sebuah permainan dan kegemaran, mereka akan terus mengulang dan mengulangnya.

Tidak tahu sampai kapan akan berhenti melakukannya.

Berjalan dengan tertatih-tatih, sesekali berhenti guna mengatur napas. Penampilannya cukup berantakan, dan hal itu mampu menarik perhatian beberapa orang yang berpapasan dengannya. Seakan sudah sangat putus asa, Renjun terus berjalan menuju rumah. Melangkahkan kakinya semakin jauh dari sekolah, pening kepala semakin mendera.

Astaga... seakan terhipnotis, pandangan di sekitarnya berputar. Mengerjapkan matanya sekali, lalu dua kali, sebelum akhirnya benar-benar hanya kegelapan yang dilihatnya.

Renjun pingsan. Seseorang yang berada di belakangnya buru-buru menghampiri dan meminta bantuan beberapa warga sekitar. Perempuan itu pun ada akhirnya dibawa menggunakan taksi yang kebetulan lewat.

//

"Kau sudah sadar?" pertanyaan ini terlalu membingungkan. Jelas dia melihat sendiri bahwa orang yang dibawanya telah bangun dari pingsannya. Memang kerap kali pertanyaan tidak berguna seperti itulah yang selalu dilontarkan pertama kali oleh orang-orang.

Kedua kalinya dalam sehari Renjun terbangun dengan kepala pening. Terbangun dengan sinar matahari yang berbondong-bondong masuk ke retina mata. Hal yang pertama dia lihat adalah dinding berwarna coklat, dengan televisi LCD berukuran besar di depannya. Saat pandangannya di putar ke kanan, seorang perempuan (yang di asumsi seumuran dengannya) menatap dengan khawatir. Renjun rasa dia tidak pernah mengenal sosok perempuan bersurai hitam hijau itu.

"Astaga... kamu haus, ya? Wait, wait."

Renjun mengeryit saat melihat kepanikan perempuan asing itu. Beberapa saat setelah keluar dari kamar, perempuan asing itu menghampiri Renjun dengan segelas air. Menyodorkan gelas tersebut ke Renjun yang dengan senang hati diterima, lalu ditegak olehnya.

Monster Pembimbing ☑️Where stories live. Discover now