Break-up 6

1.1K 216 114
                                    

Sebulan kemudian...

Di salah satu resto ternama di Tokyo, Hinata terlihat duduk gelisah. Entah kenapa seakan ada yang terus mengusik pikiran perempuan itu. Padahal Moegi ikut bersamanya, tapi tetap saja tak dapat mengubah kecemasan dalam benaknya. Meja tamu di tempat mereka duduk sekarang, merupakan meja yang sedari awal direservasi oleh Otsutsuki Toneri.

"Tuan Otsutsuki akan segera tiba." Moegi mengumumkan seraya mengamati si Manajer Umum. Ia menyimpan ipad miliknya, kemudian menyesap teh hijau itu perlahan. "Ada apa? Wajah Anda pucat," tanya Moegi dengan kening berkerut. "Apa perlu kita meminta Tuan Otsutsuki untuk menunda pertemuan ini? Saya mencemaskan Anda."

"Tidak Moegi, aku ingin semua ini segera selesai." Hinata berujar seadanya, namun ia tak dapat menyembunyikan kekhawatiran, matanya gusar menatap ke sembarang arah.

Di balik risau yang kentara, Hinata menyimpan rencananya sendiri. Teringat kejadian bulan lalu, di mana sang suami mengutarakan penegasan mutlak padanya, bukan sekadar ancaman untuk melonggarkan keras kepala Hinata. Faktanya kata-kata Naruto tersebut benar terbukti. Sikap si direktur tampan berubah drastis keesokan harinya. Tak ada tegur kata dan ia justru mengabaikan lalu sapaan Hinata.

Bila Naruto telah memperlihatkan perangai sebagai lelaki otoriter, maka tak ada jalan memutar selain tunduk menuruti dengan sukarela. Hinata tidak pernah bermaksud ingin benar-benar melawan suaminya. Namun tanpa sadar perbuatan yang ia tunjukkan malah kian jelas ke arah tersebut.

Pada akhirnya, jalan paling aman yaitu mengikuti kemauan suaminya dengan melibatkan secara tertutup sebuah perihal berupa kebohongan. Tentu siapapun yang tahu akan langsung bertanya heran. Entah dari sisi mana Hinata menyatakan cara itu merupakan satu-satunya penyelamat baginya. Sudah jelas bisa ditebak seberapa besar amarah yang akan dilepas oleh Naruto andai ia tahu perbuatan istrinya di belakang.

Akar permasalahan yang kini terjadi adalah, Hinata sering membuat janji temu dengan lelaki lain di mana situasi kali ini si Otsutsuki yang menjadi partnernya. Mau bagaimana lagi, Hinata mencoba dengan tegas melayangkan penolakan kepada laki-laki itu, namun ia punya beragam cara untuk bisa tetap berhubungan dengan Hinata. Apa lagi pemimpin Sarutobi Inc, serta-merta mengeluarkan perintah absolut kepadanya untuk mengambil alih perkara menyangkut si Otsutsuki.

Belum tampak jika prahara tersebut akan segera berujung. Meskipun kini Hinata tengah merencanakan siasat terakhir agar secepatnya bisa terlepas dari lelaki berambut perak itu. Nasib mujur karena Moegi siap terlibat di setiap kesempatan perjumpaan mereka. Bagi perempuan berambut cokelat itu, Hinata bukan semata-mata sebagai atasan saja. Banyak hal yang mereka bagi bersama termasuk perihal kisah percintaan dan Moegi cukup tahu kondisi rumah tangga si manajer umum.

"Anda takut ketahuan?" Moegi bertanya blak-blakan, penanda bahwa memang tak ada hal yang ditutup-tutupi di antara mereka berdua.

"Aku tidak bisa tenang semenjak hari itu. Andai kau tahu dan melihat betapa marah dia padaku. Naru bukan pria emosional, aku sangat mengenalnya. Tak ada hal lain yang lebih menakutkan daripada kemarahan suami. Aku juga tidak mungkin tinggal diam jika dia masih terus membelakangiku. Aku ingin segalanya tetap berjalan lancar tanpa menyebabkan salah satunya terancam." Hinata memaparkan asa yang saat ini terombang-ambing.

"Anda tidak bisa berpikir begitu. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Suami dan anak Anda, perasaan mereka. Apakah Anda tega mengenyampingkannya? Maaf, aku tidak bermaksud untuk mendikte Anda, tapi tidak benar jika Anda memilih untuk mengorbankan rasa cinta mereka. Laki-laki seperti Tuan Namikaze membutuhkan istri yang selalu mendampinginya, bukan malah berseberangan. Saya cuma mengulang perkataan Anda." Hinata menahan atensinya pada Moegi, lalu menunduk. Ia menghela napas ringan sebelum menyesap latte yang nyaris dingin.

"Aku tahu." Hinata mendengkus, seharian penuh tanpa rasa tenang. Sangat mudah ditebak kala seseorang dilanda gundah dan Hinata mengalami dilema tersebut. Perempuan itu bergelut dengan pikirannya sendiri, mencari jalan tengah agar bisa menyelamatkan rumah tangga berikut pekerjaan yang ia cintai.

"Dia sudah datang," bisik Moegi seraya melirik ke arah pintu, bermaksud memberitahu dengan isyarat pada Hinata atas kedatangan si Otsutsuki.

"Kepalaku mendadak pusing," keluh Hinata sembari memijit-mijit pelipisnya.

"Anda ingin kita pulang sekarang? Biar kubilang padanya." tawar Moegi serius, namun Hinata langsung menggeleng.

"Pria yang kita temui bukan orang biasa. Pak Asuma sudah mempercayakan hal ini kepadaku. Jika sedikit saja kita berbuat kesalahan, maka habislah segalanya. Mungkin aku tak punya muka lagi untuk bertemu mereka, terutama..."

"Nyonya Kurenai, dosen kesayangan Anda. Aku benar 'kan?"

"Ya, dia yang membuatku bisa sampai seperti ini."

"Selamat datang, Tuan Otsutsuki," sela Moegi sambil agak membungkuk. Sedangkan lelaki berambut perak itu langsung mendudukkan bokongnya ke kursi di sebelah Hinata. Tak lupa senyum lebar terukir di wajahnya.

"Sudah pesan makanan?" tanya lelaki itu seraya memanggil seorang pelayan yang kebetulan melintas. "Tolong daftar menunya, ya." Pinta si Otsutsuki, lalu ia menggulir pandang kepada Hinata. "Maaf karena membuatmu menunggu."

"Kami belum lama berada di sini, Anda tidak perlu sungkan." Hinata menjawab ramah pula diperjelas senyum simpul dari bibirnya. "Omong-omong bagaimana perjalanan Anda?" tak ingin membuat tamunya merasa tak nyaman, Hinata pun memulai obrolan sederhana sebagai pembuka perbincangan mereka.

"Melelahkan, tiga jam di perjalanan. Tapi aku selalu bersemangat bila bertemu denganmu, makanya aku putuskan langsung ke tempat ini." Toneri memandang Hinata dengan tatapan berbeda, tak berhenti mengulas senyum di wajah tampannya. Sementara di seberang Hinata, Moegi diam-diam memberi delikan tajam pada si lelaki berambut perak, sebelum ia berdeham singkat hingga mengalihkan fokus Hinata juga si Otsutsuki. Keduanya serempak menatap Moegi.

"Sebaiknya kita pilih menu terlebih dulu. Bisa-bisa rasa lapar justru mengganggu konsentrasi dan rapat tidak akan berjalan efisien nantinya. Bukankah itu tujuan sebenarnya dari pertemuan ini?" tutur Moegi, ketika pelayan meletakkan dua set daftar menu ke atas meja.

"Aku hampir melupakan kehadiranmu. Apa kabar, nona Moegi?" sapa si Otsutsuki berniat basa-basi.

"Seperti yang Anda lihat, Tuan." Moegi membagi senyum datar dari bibirnya, menyebabkan Hinata terkikik tertahan. "Saya permisi ke toilet sebentar," ucap Moegi pada Hinata dan saat itu juga Toneri bernapas lega. Ia menggeser kursinya agar semakin rapat dengan Hinata.

"Tuan, jaga prilaku Anda. Saya tidak ingin menjadi perhatian orang-orang di sini," protes Hinata lembut. Mengatur ucapannya agar si Otsutsuki tidak tersinggung.

"Papa, kenapa kita tidak mengajak mama untuk makan bersama?" hanya berjarak beberapa meter, seorang bocah berjalan di depan mereka, seraya menggamit tangan papanya, ia bertutur riang.

"Bolt, pelan-pelan, Nak. Lihat! Tali sepatumu lepas. Berhenti dulu, kita harus mengikatnya kembali. Kalau terinjak, kau bisa terjatuh nanti." Bocah kecil itu berbalik menghadap papa dengan wajah tertunduk, memperhatikan tali sepatunya yang tak sengaja terlepas.

Bocah pirang itu tiba-tiba diam mematung, kala ia menengadah dan menangkap sosok yang sangat dikenal. Keningnya berkerut bingung, perlahan kaki-kakinya melangkah ke meja di mana Hinata berada. Meyakinkan pandangannya bahwa benar mama yang ia lihat. Bibir Bolt melengkung lebar, safir birunya berbinar-binar, memang betul mama yang duduk di sana, si bocah kecil berucap dalam hati. Saking gembira suaranya terdengar amat kencang saat berseru, "Mama!"

Spontan sang papa ikut menoleh pula beringsut cepat. Ia mengambil dua langkah lebar menghampiri putranya. Tak kalah terkejut dengan Bolt, kehadiran lelaki lain di samping istrinya memicu amarah si direktur tampan. Ekspresi wajahnya berubah sangar, ia menatap sengit pada si Otsutsuki. "Ayo, kita pulang! Tidak sopan jika mengganggu mama, Nak. Ini pertemuan penting! Begitu 'kan Nyonya Hinata?!" Naruto menghardik ketus, kemudian dengan terburu-buru membawa putranya meninggalkan tempat tersebut. Sementara yang terjadi pada Hinata, perempuan itu menarik napas berat karena terserang panik. Ia sontak tergopoh-gopoh menyusul suaminya.

Bersambung...

Break Up ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang