Rubah dan Gagak

167 18 10
                                    

"Ginjima, kau mau tambah kopimu?"

"Tidak usah, Rintaro. Terima kasih."

Osamu menghabiskan suapan terakhir panekuknya, lalu meletakkan garpu. Hari ini sarapan ala barat, disiapkan oleh si butler serba bisa klan Inarizaki, Suna Rintaro. Ojiro Aran ada pekerjaan dengan kepolisian, mengenai kasus penyelundupan 14 kg ekstasi yang akan dikirim ke Taiwan lewat jalur Okinawa. Latihan iaijutsu dengan Kita Shinsuke akan diadakan jam satu siang nanti di dojo samping rumah. Salah satu seni bela diri tradisional tersebut memang tidak lagi begitu diminati saat ini. Di era modern seperti sekarang, para yakuza lebih suka menggunakan senjata api dan tangan kosong dibanding katana yang terlalu mencolok perhatian. Kita sudah mempelajari iaijutsu bahkan sebelum ia tahu bahwa kemakmuran keluarga besarnya berasal dari bayang-bayang dunia kriminal. Kita hanya menjalankan latihan rutinnya seperti biasa, seperti ritual. Beberapa anak buahnya ikut-ikutan hanya karena menilai seni berpedang boss mereka sangat keren dan patut dipelajari.

Ginjima sudah sampai pada tingkat shodan dan Osamu tertahan di kyu 2. Kita menilai bahwa Osamu masih harus mengasah teknik bertahan dan mengajarkannya kesabaran dalam berlatih. Bakatnya memang luar biasa, tetapi tidak baik jika terburu-buru dalam menguasai seni bela diri. Lagipula dia masih sangat muda.

BRAK!

Atsumu membanting pintu kamarnya dan berjalan keluar bahkan tanpa menoleh ke arah meja makan tempat 'keluarga'nya tengah menikmati sarapan pagi.

"Mana salam selamat pagimu untuk Oyakata-sama, anak durhaka?" sindir Osamu.

"Diam kau, bedebah! Aku tidak mood!" hardik Atsumu sambil terus berlari.

"Atsumu." Panggil Kita. "Miya Atsumu!"

Langkah Atsumu terhenti. Lalu ia menoleh. Kita Shinsuke memberinya kebebasan penuh dalam melakukan apapun yang diinginkannya selama tidak ada misi yang dijatuhkan khusus padanya. Kali ini, panggilan nama lengkap itu terdengar seperti peringatan bagi Atsumu. Tatapan laki-laki berambut kelabu keperakan itu datar, dingin dan menelisik. Ia melirik satu kursi kosong di sebrang Osamu.

"Duduk." Titahnya.

Meski enggan, Atsumu mematuhi perkataan Oyakata-sama. Rintaro menyuguhkan secangkir kopi untuk si 'anak sulung'. Osamu tidak ingin menatap kakak kembarnya, hanya menyeruput kopi sambil membuang muka. Semalam, kakak-adik ini berkelahi di dalam kamar. Teriakan mereka membangunkan seisi rumah pada dini hari.

"Osamu," Kita melirik 'anak bungsu'-nya. "Apa yang kau katakan pada kakakmu semalam?"

Pemuda berambut kelabu undercut itu tidak menjawab. Raut wajahnya menyiratkan ketidak-nyamanan.

"Miya Osamu," ucap Kita lagi dengan nada yang lebih rendah dan dingin. Ginjima dan Rintaro saling bertukar pandang, mengantisipasi kemungkinan boss mereka akan melampiaskan amarah. "Perlu kuulangi ucapanku, hmm?"

"Tidak perlu, Oyakata-sama." Balas Osamu. Ia menggerutu kecil sebelum meneguk habis kopinya dan minta tambah. "Kata-kataku buruk. Aku tidak ingin mengulanginya lagi di hadapan Oyakata-sama."

Kita cuma menaikkan sebelah alisnya dengan sengaja. Osamu menunduk, lalu dengan setengah hati memandang kembarannya yang terlihat masih separuh kesal.

"Keparat busuk tidak berguna." Desisnya pada Atsumu. "Aku malu lahir sebagai kembaranmu. Hidupmu jad aib bagi Inarizaki."

Atsumu mengepalkan tangannya kesal. Segaris urat kemarahan timbul di pelipisnya. Kita menaruh tangannya di atas tinju Atsumu dan mengusapnya dengan sayang.

"Kenapa kau berkata seburuk itu pada kakakmu?" tanya Kita, dengan nada yang lebih lembut. "Itu jahat sekali, Osamu. Aku saja sakit hati mendengarnya."

Johnny BlazeWhere stories live. Discover now