02. Berandai

69 46 4
                                    

Alesha memfokuskan dirinya pada selembar kertas ujian Matematika di hadapannya. Dari sepuluh soal, gadis itu baru menyelesaikan lima soal, sedangkan waktu yang tersisa tinggal dua puluh menit.

Dengan teliti ia mengoperasikan angka pada soal tersebut. Keringat di pelipisnya menggambarkan bagaimana perasaan cemasnya.

Isi kepalanya terus bekerja, tangannya kaku digerakkan. Guna menuliskan satu jawaban saja dirinya ragu. Ragu pada kemampuan terbatasnya. Waktu terus berjalan seiring gerak tangannya yang semakin sulit menulis angka yang tidak ia mengerti.

Satu persatu kawan-kawannya silih berganti maju ke depan mengumpulkan lembaran itu, tapi Alesha masih berkutat dengan lembaran penuh kerumitan. Waktu tersisa lima menit lagi, gadis itu belum menunjukkan tanda-tanda akan selesainya.

Kelasnya kosong, menyisakan keheningan antara Alesha dan sosok guru perempuan berkacamata di depan.

Mengisi sebisanya, gadis itu berhasil menyelesaikan ujian berkat meyakinkan dirinya sendiri. Yakin karena semalam ia belajar dengan keras. Lengannya bergerak menaruh sebuah lembar jawaban pada meja guru. Tak lama bel istirahat berbunyi nyaring di penjuru sekolah.

Disaat temannya yang lain pergi ke kantin, ia memilih pergi ke perpustakaan. Menghabiskan waktu istirahatnya untuk membaca novel romance bersampul merah muda.

Alesha duduk manis di kursi perpus, lembaran demi lembaran perlahan membawanya masuk ke alam imajinasi.

Betapa indahnya kisah sang tokoh perempuan mendapat pasangan yang selalu ada di sisinya bagaimana pun keadaan dirinya. Disaat susah juga, lelaki itu selalu ada untuknya, selalu memberikan sandaran padanya. Tokoh perempuan dalam novel juga selalu mencurahkan segala keluh kesahnya pada sang pujaan hati, maka tak heran jika ia sangat mencintainya.

Alesha berandai ingin menjadi seperti gadis dalam cerita itu, pasti hidupnya akan lebih indah karena menjalani lika-liku kehidupan bersama orang yang dicintai. Namun, gadis lemah sepertinya tidak mungkin layak mendapatkan anugerah seperti itu. Ia hanya seorang gadis yang gemar berandai-andai dan selalu menjadi beban bagi orang di sekitarnya. Tak ada kebahagiaan yang mungkin baginya.

"Woi." Suara siswi di belakang menghamburkan lamunan Alesha.

Ia menoleh, "Karin?"

"Lo dipanggil Bu Ela di kelas," katanya singkat kemudian melenggang pergi.

Alesha langsung memenuhi perintahnya menuju ke kelas. Ia mengambil langkah besar agar cepat sampai, karena jarak kelasnya dan perpustakaan cukup jauh.

Sesampainya di hadapan Bu Ela, guru itu melempar kertas ujian tadi di wajah Alesha.

Alesha mengerjapkan matanya menatap sorot netra Bu Ela yang muak. Ia mematung tak berani berbicara apalagi bergerak.

"Kamu ini mau sampai kapan bodoh terus?" singgungnya membuat Alesha tertohok.

"Ini salah semua!" geram Bu Ela.

"Lihat! seluruh nilai kamu di sini nol, gak pernah dapat nilai!" Tunjuknya pada buku laporan di atas meja.

"Kapan kamu sadar kalau kamu cuma naik kelas karna terpaksa? pihak sekolah hanya kasihan sama kamu!" Bentakannya semakin keras membuat seluruh murid di kelas bungkam. Hati Alesha bagai ditusuk benda tajam melebihi pisau. Matanya berkaca-kaca mendengar penuturan gurunya.

"Kapan kamu mau berkembang? Kalau begini terus kamu bisa di keluarkan dari sekolah!" tekannya sukses membuat Alesha bergidik takut.

"Saya gak pernah nyangka bakal nemu murid sebodoh kamu."

Jleb. Air matanya menetes tanpa disuruh. Dadanya sesak mendengar kenyataan tentang dirinya. Mendengar kenyataan yang tak ia inginkan dari bibir orang lain. Lihat? Di sekolah ini bukan hanya muridnya saja yang berperilaku menindas.

"Saya capek ngajarin kamu dan saya gak mau tau pokoknya bulan depan kamu harus bisa. Gimana pun caranya!" tegasnya kemudian melenggang pergi. Guru itu muak melihat kehadiran Alesha di kelas ini.

Seringai tawa anak kelas terdengar jelas di telinganya. Puluhan pertanyaan terbesit di benaknya. Ia harus bagaimana? Bagaimana caranya agar pintar?

Gadis itu kembali ke bangkunya dengan rasa sesak di dada yang harus ia pungkiri. Ia tak yakin bisa seperti apa yang Bu Ela inginkan, terlalu mustahil baginya untuk mencapai hasil yang maksimal.

"Makannya jadi orang jangan terlalu bego!" hardik Fanny dengan lemparan bola kertas yang mengenai punggung Alesha.

                                          🌻🌻🌻

Bel pulang berbunyi sekitar satu menit yang lalu.
Hari ini adalah jadwal Alesha piket. Seperti biasa  piket hanya sendiri, harusnya yang membersihkan kelas adalah nama yang tercantum dalam jadwal, tapi ya sudahlah Alesha tak mempermasalahkan itu. Toh, ia juga sudah terbiasa.

Mulai dari mengangkati kursi, menyapu kelas, membuang sampah, hingga menutup tirai kelas telah ia laksanakan.

Hendak mengambil tas biru mudanya di atas meja lalu pulang, tiba-tiba Laura dkk datang mengganggunya.

Alesha buru buru melangkahkan kakinya ke luar kelas. Namun sayang, Laura melempar tong sampah ke arahnya. Bau busuk seketika menyergapi tubuhnya. Dadanya sesak, cairan bening di mata Alesha terjun membasahi pipi, menyadari seragamnya kotor dan berbau tak sedap.

Tawa Laura dkk seketika memecah keheningan kelas XII IPS-2 ini.

"Ayo dong bersihin lagi, katanya anak rajin." Laura tampak puas dengan perkataannya, ditambah melihat Alesha yang menangis.

Becca menggelinting ujung poni Alesha, "Dasar, babu." Lontarnya sebelum langkah membawa mereka bertiga pergi.

Meninggalkan Alesha yang menangis.

Sampai detik ini, Alesha tak tahu letak kesalahan dirinya terhadap Laura dan kawan-kawan di mana. Sejak pertama menginjakkan kaki di SMA Bakti Satya, ia harus sekelas dengan mereka.

Gadis itu menganggap apa yang mereka lakukan semata hanya untuk membuatnya jauh lebih kuat, walau nyatanya semakin lemah.

Mengapa hari ini banyak rasa sakit?

Dengan sabar dan air mata yang luruh, Alesha meraih sapu, membereskan kembali lantai kelasnya.

______

TBC

Jangan lupa vote dan komen :)
.
.
See u next part!


©ALESHA

AleshaWhere stories live. Discover now