Kematian

64 9 2
                                    

Nadia merangkul Jenny yang sejak tadi masih menangisi dua gundukan tanah merah di hadapannya. Ya, itu adalah makam kedua orang tua mereka, Maulana dan Sofia.

"Sabar, Jen. Ikhlaskan papa dan mama. Jika kamu terus menangis, mereka tidak akan pergi dengan tenang."

Hanya itulah yang selalu Nadia katakan pada Jenny. Sebagai kakak, dia mencoba untuk tegar dan menguatkan hati adiknya. Meski terlihat tabah, Nadia juga merasa terpukul atas kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya hingga tewas.

Maulana dan Sofia tewas karena mengalami kecelakaan mobil, saat sepulang menghadiri sebuah acara pernikahan sahabat mereka. Pasangan suami istri itu adalah musisi yang cukup terkenal di era 90an. Maulana seorang penyanyi dengan suara emasnya, sedangkan Sofia seorang pemain instrumen musik Harpa. Mereka berdua melakukan kolaborasi setiap pentas, bahkan sudah menciptakan banyak lagu yang membuat pasangan suami istri itu tenar dan sangat kaya raya.

Siapa sangka? 20 tahun menjalani hidup mewah dengan ketenaran yang tak pernah redup, Maulana dan Sofia malah tewas karena sebuah kecelakaan tragis. Kini, kedua anak perempuan mereka hanya dapat menangis meratapi duka yang mendalam, setelah bertahun-tahun mereka lalui dengan tawa bahagia.

"Ayo kita pulang, Jen. Sebentar lagi maghrib." Nadia mencoba membujuk Jenny yang sejak tadi bergeming dengan tatapan kosong.

"Iya, sebaiknya kita pulang sekarang," timpal Evan, kekasih Nadia.

Dengan berat hati Jenny beranjak menuruti ajakan kakaknya untuk pulang. Gadis itu tampak sangat terpukul atas kematian kedua orang tuanya. Tentu saja, dia adalah gadis yang manja dan juga lebih dekat dengan kedua orang tuanya, dibanding sang kakak yang lebih mandiri.

Evan segera mengantar dua gadis yatim piatu itu pulang ke rumah dengan menggunakan mobilnya. Selama di mobil, Jenny masih terdiam menatap jendela. Sesekali Nadia yang duduk di samping Evan, menoleh ke belakang untuk melihat keadaan adiknya.

"Apa kecelakaan mereka murni, atau karena sabotase?" Tanya Evan memecahkan keheningan di mobil itu.

"Aku tidak tahu, Van. Semua sedang diselidiki oleh kepolisian," jawab Nadia.

"Andai kemarin aku ikut mama dan papa, mungkin saat ini aku juga bersama mereka," timpal Jenny.

Sontak Nadia menoleh ke belakang.

"Jangan berkata seperti itu, Jen!" seru Nadia.

"Tapi aku tidak sanggup tanpa mereka, Kak."

"Ini takdir, mau tidak mau kita harus menerima."

"Tapi ..."

"Tidak ada kata tapi! Jangan pernah berkata seperti itu lagi, kakak tidak suka!" Nadia menegaskan.

Jenny terdiam menunduk dan kembali menangis.

"Sabar, Nad. Jenny sedang terguncang, pasti dia juga syok." Evan menenangkan Nadia sembari fokus mengemudi.

"Aku juga sedih kehilangan merekan, bahkan sebelum aku menikah." Perlahan tapi pasti, Nadia mulai menangis. pertahanan dan ketabahan yang dia kukuhkan sejak semalam ambyar begitu saja.

Tentu Nadia merasa sedih. Evan sudah melamarnya, dan mereka berencana menikah sekitar dua bulan lagi. Nadia sudah membayangkan pesta pernikahan yang mewah, bersama keluarga dan teman-temannya. Namun semua itu hanyalah harapan yang tak akan pernah sampai.

Evan menghela napas gusar, lalu menoleh pada Nadia yang terisak. Tangan kirinya mengusap rambut kekasihnya itu sedangkan tangan kanan masih menyetir.

"Sabar, Sayang. Ini cobaan, dan aku yakin kalian berdua pasti bisa melewati masa duka ini. Aku akan selalu menemani kalian," ucap Evan sembari mengusap rambut Nadia, sesekali dia juga menoleh pada Jenny.

CKIITTT...

Mendadak Evan menginjak rem mobilnya saat dia kembali fokus ke depan, dan mendapati seorang pria akan menyebrang.

"Apa kamu nabrak orang?" tanya Nadia terkejut karena Evan mendadak mengerem mobilnya.

Jenny segera menekan tombol di sisi mobil untuk menurunkan kaca mobilnya. Dia mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil dan memasang wajah penasaran.

"Siapa dia?" batin Jenny saat melihat seorang pria memakai jubah hitam, menatapnya dengan ekspresi datar dan wajahnya terlihat aneh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Siapa dia?" batin Jenny saat melihat seorang pria memakai jubah hitam, menatapnya dengan ekspresi datar dan wajahnya terlihat aneh.
Karena merasa takut, Jenny segera menutup kembali kaca jendela mobil itu.

Evan tak menangapi Nadia, dia segera keluar dan memastikan orang tadi tertabrak atau tidak.

"Kemana dia? Perasaan ... tadi masih di sini. Aku tidak mungkin salah lihat, jelas-jelas aku hampir menabraknya." Evan kebingungan saat di depan mobilnya tidak ada siapapun.

Nadia yang penasaran, keluar dari mobil dan menghampiri Evan.

"Mana orangnya?" tanya Nadia.

Evan mengendikkan bahunya. "Aku tidak tahu. Dia tidak ada, tapi aku yakin tadi hampir menabraknya."

"Mungkin dia sudah pergi." Nadia menerka-nerka sembari melihat sekeliling yang tampak suram dan sepi, karena saat itu waktu menjelang maghrib.

"Mungkin saja. Ayo lanjutkan perjalanan, sudah hampir gelap!" ajak Evan.

Mereka berdua segera kembali ke mobil. Di dalam, Jenny masih terdiam dan tidak mengatakan tentang apa yang dilihat nya.

Evan segera mengemudikan mobilnya kembali. Sesekali dia melihat ke kaca spion, mencari pria yang hampir tertabrak tadi.

"Sudah, Van. Jangan dipikirkan terus! Mungkin dia sudah pergi atau kamu hanya salah lihat," ucap Nadia yang sejak tadi memperhatikan gelagat Evan yang masih kebingungan.

"Jelas-jelas aku melihatnya! Makanya aku mendadak menginjak rem, mataku masih normal, Nad!"

Evan masih bersikeras pada keyakinannya dan merasa keanehan terjadi. Apalagi saat itu menjelang maghrib. Konon, berkendara saat menjelang maghrib tidaklah baik. Banyak makhluk tak kasat mata yang bisa saja mengganggu konsentrasi pengemudi.

Mendengar Evan dan Nadia sedang membicarakan perihal orang yang hampir tertabrak, Jenny kembali menoleh ke belakang.

"Dia masih di sana."

Jenny melihat orang berjubah tadi, masih di tengah jalan memperhatikan laju mobil yang dia tumpangi semakin menjauh.

SEKTE (On Going) Where stories live. Discover now