Prolog

7.3K 727 32
                                    

"Aku berusaha, Tha. Tapi kamu tahu sendiri hasilnya, kan?"

"It's okay, Al. Aku tahu."

"Maaf. Kamu boleh benci aku."

Aldan tersentak ketika ingatan yang seringkali menjadi mimpi di tiap tidurnya, membuat napasnya tersengal dengan kedua mata yang sudah membesar.

Ingatan itu .. mimpi buruk untuknya.

Menarik napas panjang, Aldan berusaha menenangkan diri, sampai sebuah pekikan beriringan dengan bunyi pintu kamar terbuka, membuat Aldan menoleh cepat. Lalu senyumnya melebar saat menemukan putri kecilnya berjalan dengan tangan mungil yang mengusap mata. "Anak Papa pasti kebangun," ucapnya, sambil merentangkan tangan, membiarkan malaikat kecilnya itu langsung berlari bergelung dalam pelukannya. "Jam berapa sih ini? Kok, Ara udah bangun aja?"

"Mau tidur sama Papa aja."

Gumaman kecil itu membuat Aldan kembali membaringkan tubuhnya, dengan lengan yang masih memeluk Ara. "Oke. Tidur lagi, ya? Ini masih jam empat pagi, Sayang. Nanti kan, harus sekolah. Ketemu temen-temen," ujar, sambil mengusap lembut rambut cokelat sang putri.

"Ara kayaknya sakit, Papa. Jadi, nggak bisa sekolah."

Aldan terkekeh geli mendengar balasan Ara, yang masih terpejam, menolak menatapnya. "Kok, badannya nggak panas, ya?" cibirnya, dengan telapak tangan yang sudah terangkat memegang dahi Ara.

"Panas, Papa."

Tawa kecil Aldan akhirnya terdengar. Dengan gemas, lalu semakin mengeratkan pelukannya. "Kan, biar Ara makin pinter, harus rajin belajar. Jadi, nggak boleh males ke sekolah. Lagian kalau Ara nggak sekolah, nanti di sini cuma ditemani sama Mbak Sari, mau?"

"Papa aja yang temani Ara. Boleh, kan?"

Kepala Aldan sontak menunduk untuk kembali melihat ke arah Ara yang masih memejamkan mata. Sejak tadi, terlihat menolak untuk menatapnya. "Ara kok ngomong sambil matanya ditutup gitu? Nggak mau lihat papa?"

Perlahan, mata bulat itu terbuka. Menatap sang papa dengan kerjapan patah.

"Kenapa nggak mau sekolah?"

"Ara sakit. Lagi nggak enak badan." Ara menjawab pelan.

"Ya udah, nanti Papa antar ke dokter. Ara harus disuntik, biar cepet sembuh—"

"Kenapa Mama nggak pernah pulang, Papa?"

Ditanya tiba-tiba begitu, membuat Aldan tersentak di tempatnya.

"Kemarin Sera ulang tahun, terus Mamanya kasih kado jam tangan lucuu. Warna pink. Sera juga selalu diantar sama dijemput Mamanya. Kenapa aku nggak gitu juga, Papa?"

Sekali lagi, Aldan harus menahan getar dalam dadanya. "Ara mau jam tangan yang kayak Sera? Nanti Papa beliin yang lebih bagus. Mau, kan?"

"Mau Mama aja. Ara janji nggak nakal-nakal lagi. Tapi nanti mama yang antar sama jemput Ara ke sekolah, biar kayak temen-temen Ara yang lain. Boleh nggak, Pa?"

Aldan menelan ludahnya, susah payah. Dadanya mulai sesak. Matanya mulai memanas saat melihat mata bulat putrinya itu sudah berair. Dengan senyum patah, Aldan kembali merengkuh putrinya itu dalam pelukan. "Boleh, dong," jawabnya, dengan suara yang dibuat semangat. "Nanti Papa bilang sama Mama biar cepet pulang. Jadi bisa antar-jemput Ara ke sekolah."

"Bener ya, Pa?" Mata bulat itu kembali berbinar.

Kali ini, Aldan yang tak sanggup membalas tatapan antusias itu. Karenanya, yang Aldan lakukan hanya mengangguk, sambil tetap memeluk malaikat kecilnya itu dalam diam. "Tapi Ara harus tidur lagi. Biar nanti bisa bangun pagi buat sekolah."

"Ara kan lagi sakit, Papa. Nggak enak badan."

"Kalau suka bohong, nanti hidungnya bisa panjang—"

"Aku baru aja sembuh! Sekarang mau tidur lagi sama papa." Ara memotong kalimat itu dengan riang. Kemudian mengangkat tangan dan kaki mungilnya untuk melingkar di tubuh sang papa.

Aldan tertawa sesaat karena tingkah Ara yang selalu menggemaskan baginya. Namun, detik selanjutnya, raut wajah Aldan berubah keruh. Dadanya masih menghentak sesak.

Bukan kali pertama Ara menanyakan tentang hal ini. Sejak resmi berpisah, dan perempuan itu menghilang tanpa jejak, Ara seringkali merengek mencari sang mama. Waktu itu, Ara bahkan masih berusia dua tahun lebih satu bulan. Karenanya, yang Aldan lakukan hanya berusaha menenangkan dengan mengatakan kalimat kebohongan; 'Mama lagi kerja, belum bisa pulang. Tapi nanti pasti pulang buat temenin Ara lagi.'

Aldan masih tak sanggup mengatakan kalau Ara tak lagi memiliki keadaan keluarga yang utuh. Demi Tuhan, putrinya masih sangat kecil untuk mengerti.

Kemudian, kebohongan itu akhirnya terus berlanjut. Sampai sekarang Ara sudah berusia hampir lima tahun. Dan beberapa bulan lalu, saat Ara kembali menanyakan hal yang sama, Aldan pun memberi jawaban yang tak pernah berubah. Hanya saja, tanggapan yang Ara berikan waktu itu, membuat Aldan kehabisan kata-kata.

Kan, Papa juga udah kerja. Kenapa Mama juga kerja? Temen aku Papanya kerja, tapi Mamanya nggak kerja.

Entah sampai berapa lama lagi, Aldan harus melakukan kebohongannya. Entah sampai berapa lama lagi Aldan sanggup menyembunyikan kenyataan pahit dari putri kesayangannya ini.

Menarik napas panjang, Aldan sedikit merenggangkan pelukannya. Bibirnya mengulas senyum getir menatap Ara yang sudah memejam, kembali tertidur.

Maafin papa, Sayang.

Aldan mengecup mata yang memejam itu dengan pelan. Lalu kembali mengamati wajah mungil di depannya. Mata bulat dan bulu mata lentik ini, milik perempuan yang sudah dimintanya untuk berhenti. Bibir tipis ini, juga milik perempuan itu; Agatha Seruni.

===

haiiii, kubawa ceritanya Aldan—masnya Cherish (buat yang masih inget Jejak Kisah hahaha). semoga sukaaaaa. ohiya, karna udah gak ada newsfeed lagi, biar gak ketinggalan kalo pas update, kalian mesti masukin ke library kalian soalnya mungkin gak bakal info tiap update :"

semoga betah menunggu yaaaa.

salam,
yenny marissa

18 Oktober 2020

Distorsi Hati [Completed] ✔️Where stories live. Discover now