Halaman Kedua

5.6K 760 38
                                    

Setengah jam lalu Ares menapakkan kaki di rumah. Masih sore, jadi tak ada Adrian yang menyambut. Ia segera berlari ke kamar dan mengunci pintu, berjaga-jaga kalau sang ayah tiba-tiba pulang. Ares kelimpungan bukan main. Kedua kakaknya masih di kampus sampai waktu yang Ares tak bisa tentukan, ia tak tahu harus berlindung pada siapa lagi.

Ares memutar otak. Diam saja selama sisa waktu berharga ini akan mendatangkan petaka. Cowok itu berjalan mondar-mandir. Entah sudah berapa kali berputar, hingga ia berhenti. Dengan gerakan tergera, ia mengambil ponsel, kemudian menelpon Genta. Meminta pertolongan omnya mungkin akan menjadi jalan keluar terbaik.

"Om Ta!" ucap Ares sesaat setelah telponnya diangkat.

"Wassup?"

"Om, gawat! Gawat!" ujar Ares sengaja melebih-lebihkan.

"Apa yang gawat? Kamu jadi macem ibu-ibu gitu kenapa, sih. Lebay."

Decakan kecil muncul dari Ares. Suara keramaian yang terdengar dari seberang sana memberi isyarat kalau Genta masih ada di tempat kerja. Well, sebagai seorang aktor sukses, pria itu memang memiliki jadwal yang cukup padat. Sebuah keberuntungan telepon Ares tadi langsung dijawab tanpa harus menunggu jeda lama.

"Astaghfirullah. Om jangan solimi, ya!"

Genta merotasikan bola mata. Lelaki itu memejamkan mata sejenak sambil membiarkan penata riasnya memperbaiki make-up. "Jadi kamu ngapain nelpon? Om sibuk banget, nih."

"Aduh, Om. Seriusan ini tuh urgent, gawat!" ujar Ares. Bodohnya, cowok itu berjalan berkeliling kamar sebagai bentuk ekspresif dari apa yang ia rasakan.

"Ya iya, apa?!"

"Aku dapat surat panggilan--"

Belum sempat Ares menyelesaikan kalimat yang hendak ia ucap, Genta langsung menyerobot tanpa izin.

"What?! Kamu ngapain? Cari mati, hah?!"

"Om, dengerin dulu!" kesal si taruna.

"Surat panggilan apa itu?!"

"Aku kelahi."

Panggilan mereka mendadak hening. Ares diam menunggu jawaban dari Genta. Sementara, yang ditunggu tengah melongo sampai rahangnya hampir jatuh ke tanah. Benar-benar tak terpikir dalam kepala Genta kalau Ares bisa melakukan hal semacam itu juga. Ia pikir Ares hanya anak SMA yang terlalu terobsesi pada pelajaran.

Ternyata ... Ares tetaplah anak remaja pada umumnya. Kalau Genta yang jadi ayah anak itu, mungkin tak akan berefek apa pun. Namun, Genta tahu sendiri kalau Adrian itu orang yang keras. Bisa saja Ares diberi hukuman berat.

"Sinting kamu!"

"Tapi, Om, dengerin dulu. Aku cuma khilaf, sumpah! Om juga tau 'kan kalau aku ini anak baik-baik, nggak mungkin kelahi sama orang tanpa alasan?"

"Ya tetep aja itu kamu kelahi! Mana dapet surat panggilan pula," ujar Genta agak ketus. Sengaja. Ia memang menaruh porsi sayang yang sedikit lebih banyak pada Ares, tetapi hal itu tak membuat ia buta akan kesalahan yang telah diperbuat olehnya.

"Ya ... itu 'kan anu ..." Jemari Ares ribut memilin kaos panjang yang ia kenakan. Bingung harus menjawab apa. Ia tahu di sini posisinya sebagai orang bersalah. Jadi, tak banyak pembelaan yang bisa ia berikan.

"Kalau kamu mau minta tolong sama Om, nggak akan Om kasih. Bye!"

"Loh, Om-- Om Ta!"

Ares mengerang kesal ketika sambungan mereka diputus sepihak oleh Genta. Ia ingin sekali berteriak sekeras mungkin. Tahu kalau akan begini, Ares akan memanfaatkan momen ketika Genta lupa menjemput dan menyebabkan Ares ketahuan oleh sang ayah. Sayang sekali kesempatan itu tak datang.

Segenggam Asa ✓Where stories live. Discover now