Chapter 9

2.1K 191 48
                                    

Kesadarannya baru kembali ketika Varel sudah benar-benar pergi dari sana. Secara reflek tangannya langsung menyentuh ke bibir, Teo jatuh ke tempat duduk di dekatnya dengan wajah yang masih syok. Ini memang bukan ciuman pertamanya, bukan juga hal baru yang dilakukan oleh Varel, tapi perlakuan pria itu selalu berhasil mengejutkan baik dari segi ucapan maupun tindakan.

"Dia ngapain nyium gue...."

Tanpa aba-aba langsung menciumnya dan pergi begitu saja setelah berkata hanya ingin melihatnya, Teo rasanya bisa gila jika terus diperlakukan seperti itu oleh Varel.

Pria itu menepuk wajahnya beberapa kali dengan kencang, mencoba menghilangkan rasa panas di kedua pipinya yang mulai merona. Kenapa juga dia harus tersipu karena apa yang baru saja dilakukan oleh Varel? Oh, ayolah. Tampaknya dia benar-benar sudah tidak waras.

Hari berganti malam begitu cepatnya.

Tanpa Teo sadari sudah sekitar delapan jam ia duduk di depan layar laptop dan mengerjakan pekerjaannya hari itu. Teo melirik arloji pada tangannya lalu sedikit meringis ketika melihat jarum jam di arlojinya sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Ini sudah bisa dibilang lembur, tapi ia sama sekali tidak menyadarinya.

Segera ia matikan laptop dan merapihkan segala hal yang ada di atas meja kerjanya. Di dalam hati Teo merasa ada yang aneh, bukankah biasanya Samuel akan datang untuk sekedar menyapa atau menyuruhnya pulang ketika sudah jam delapan malam? Tapi malam ini seperti tidak ada sedikit pun tanda-tanda akan kehadiran anak magang tersebut, setidaknya Samuel pasti akan datang mengajaknya makan malam, namun ini tidak sama sekali.

Mencoba melupakan Samuel, Teo memilih untuk mengabaikannya dan langsung turun ke bawah begitu ia sudah mengunci pintu ruangan pribadinya. Ketika tak sengaja melewati kamar anak magang, dengan rasa penasaran yang lumayan tinggi Teo menyempatkan dirinya untuk berbelok dan mengintip Samuel tetapi tubuhnya langsung dihadang begitu sisa beberapa langkah lagi dirinya akan sampai di depan pintu kamar.

Teo yang tak sengaja menabrak tubuh orang di depannya pun langsung mendongak dan terkejut.

"Maaf sa---lo ngapain di sini?" Dari kalimat formal langsung berganti begitu saja ketika melihat wajah Varel yang juga menunduk untuk balas menatapnya. "Lo masih di sini?" tanyanya lagi merasa heran, meski awalnya juga sempat terkejut bukan main. Bagaimana tidak, melihat wajah Varel yang datar di malam hari adalah hal terburuk yang pernah dirinya alami. Lebih menakutkan daripada berada di ruang mayat seharian.

Sebelah alis Varel terangkat melihat wajah terkejut yang sempat Teo coba sembunyikan namun ternyata gagal. "Gak boleh?" tanyanya singkat.

Teo tidak menjawab pertanyaan Varel barusan, karena tanpa perlu dijawab pun ia sudah tahu bagaimana kelanjutkan dari kalimat itu. Pria itu lebih memilih untuk pergi dari sana tanpa kata-kata, tapi tentu saja tidak semudah yang ia bayangkan. Selama ada Varel di sekitarnya apapun tidak akan menjadi seperti yang ada di pikirannya.

"Gue mau ngecek anak magang di sini," ujar Teo yang kembali menatap Varel, ia mencoba menurunkan lengan Varel agar bisa lewat namun gagal. "Kenapa? Gue gak boleh cek mereka? Gue cuma mau tau apa yang lagi mereka lakuin," katanya lagi sedikit merenggut.

Teo sama sekali tidak mengerti apa yang Varel inginkan dengan menghalangi jalannya, dia bukan Dean yang bisa dengan mudah menebak raut wajah seseorang. Teo sama sekali tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh pria berumur dua puluh enam tahun di depannya ini.

"Ayo pulang," kata Varel masih dengan wajah datarnya mengajak untuk pulang bersama. Teo berkedip beberapa kali, takut jika yang barusan itu hanya salah dengar.

"Hah?"

"Lo gak tuli, Teo." Balasan yang sarkas diberikan oleh Varel membuat Teo berdecih pelan.

"Kalau lo mau pulang ya lo tinggal pulang, kenapa harus bilang ke gue."

Someone From The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang