Chap. 9

2 1 0
                                    

Sesosok wanita muncul di sebuah ruangan gelap gulita. Ia mengenakan atasan rajutan berwarna cokelat muda dan pleated skirt tua yang serasi. Rambutnya yang panjang dan ikal diikat rapi agar tidak menggangu aktivitas hariannya.

Ia membalikkan tubuhnya dan menampakkan wajah tersenyum hangat untuk menyambutku. Jemarinya yang lentik membenahi poni di sisi kanan dahinya yang kecil.

Bola matanya yang bulat dan gelap, menunjukkan kerinduan. Ah.. aku ingin segera berlari menyambut tangannya yang terbuka lebar dan memeluk erat tubuh wanita itu.

Pada jeda waktu yang singkat, bayangan hitam pekat berkelebat mendekati si wanita. Perlahan, bayangan itu membentuk eksistensi pria yang kukenal lama. Ekspresi wajah wanita itu berubah panik, dengan kalap, tangannya mengusirku pergi. Sedangkan ia menerima hujaman pisau bertubi-tubi di sekujur tubuhnya.

Aku menjerit kalut. Reflek, aku berlari sambil meneriakkan perintah pada si lelaki untuk berhenti dan menjauh dari tubuh wanita yang telah roboh ke lantai.

Namun, secepat apapun aku bergerak mendekati mereka, bayangan keduanya justru semakin menjauh dari jangkauan tanganku. Seolah terhisap ke dalam lubang hitam.

Kelopak mataku terbuka spontan. Tubuhku bermandi peluh, jantungku berdegup keras, dan napasku tersengal. Masih dalam kondisi meringkuk di atas lantai semen yang dingin, aku mengamati dinding yang penuh goresan kasar kuku dan jeruji yang terkunci rapat.

Sudah dua minggu aku disekap di tempat ini setelah tragedi malang yang menimpa ibuku di apartemen kami.

Aku tidak bisa melupakan ingatan tentang genangan hitam dan sosok menyedihkan di atasnya. Mimpi buruk itu terus berulang, seakan baru terjadi kemarin.

Pun suasana muram di tempat ini semakin memperjelas tiap detil kekacauannya. Rasanya aku bisa gila jika mendekam lebih lama.

Dan aku tahu, siapa pelaku kejahatan yang harus bertanggungjawab atas kejahatan ini. Ayahku.

Sebelum benar-benar hilang kesadaran di tengah dekapan paksa obat bius, aku sempat melihat wajah sadisnya yang menampakkan kepuasan.

Perlawananku berangsur melemah seiring udara yang kuhirup, dan begitu membuka mata, aku telah kembali ke rumah lama kami dengan kondisi terikat di kursi.

Setelahnya, aku diseret ke sebuah bangunan bertingkat tak terawat. Saat itu, aku benar-benar diseret sepanjang perjalanan tiga blok ke timur dalam keadaan mulut terplester juga tangan dan kaki terikat rapat. Melalui kerikil tajam, lubang jalanan, hingga trotoar yang tak lagi rata. Lengan dan tungkaiku rasanya kebas tak karuan.

Kemudian aku dilemparkan ke tengah kerumunan orang-orang berwajah kejam yang menakutkan. Aku ingin segera lari dari sana. Tapi tak bisa. Mengingat kondisiku yang tak lagi bebas. Dan di sinilah aku kemudian, disekap untuk tunduk dengan perintah mereka.

Keberadaanku di sana sebagai jaminan hingga pria itu membayar tumpukan utang-utangnya. Tapi, kurasa itu sia-sia. Ia tak pernah serius memikirkan tunggakan yang datang sejak dulu. Aku dan ibulah yang bertanggungjawab menyicilnya dengan keringat kami.

Maka, tak perlu waktu lama bagimu untuk menemukanku berkeliling sekitar Giles Road sebagai kurir pengantar paket ilegal ke kamar-kamar sewa para pecandu barang terlarang.

Helena, The Death WandererTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang