Bagian 4, Tempat Persembunyian

1.2K 236 43
                                    

Bahwa yang terkuat adalah dia yang pernah menjadi sosok paling lemah.
***

Cewek itu keluar dari ruang koperasi seorang diri. Alicia sempat menawarkan untuk mengantar, tapi ia tolak karena Alicia sedang menyalin tugas yang belum dikerjakannya.

Savara berharap perjalanannya akan mulus, ternyata hal tak terduga selalu saja terjadi. Melihat Ardana dan teman-temannya sedang duduk di depan kelas, ia menghembuskan nafas berat. Semoga semesta akan berbaik hati padanya kali ini. Savara lelah hampir setiap hari harus menghadapi mereka.

Berpura-pura tak acuh, ia melewati gerombolan cowok yang sedang bernyanyi diiringi petikan gitar. Namun, siapa sangka mereka malah berhenti bernyanyi, disusul sebuah tangan menahannya.

Terpaksa, Savara menoleh. Didapatinya Ardana sudah tersenyum miring. Ia sedikit berjengkit, berdekatan dengan cowok itu sudah sangat sering, tapi bayangan seringaian menakutkan Ardana di masa lalu masih senantiasa membayanginya.

"Mau ke mana main lewat aja?" tanya Ardana kini bersedekap dada. Sedangkan beberapa teman cowok itu malah menikmati pemandangan di depan mereka yang sudah sangat biasa terjadi.

"Gue gak perlu izin dulu, kan?" Savara menatap sinis dan kembali berujar, "lo bukan yang punya jalan."

Tawa orang-orang di belakang Ardana terdengar, begitupun cowok itu yang terkekeh. Ardan kemudian berbisik, "Gue suka perubahan elo."

Savara memicingkan mata. Cukup tahu saja kalau Ardana selalu menggunakan alasan 'perubahan' untuk terus mengganggunya. Ia menatap was-was sekitar, takut teman-teman Ardana mendengar lalu mempertanyakan perubahan yang dimaksud.

"Oh ya gimana kalau gue buat penawaran," ucap Ardana dengan segala akal bulusnya yang selalu berhasil membuat Savara kesal bukan main. "Lo nyanyi dulu deh, baru boleh pergi."

"Ide bagus tuh!" timpal cowok dengan topi terbalik. "Sini Ratu, duduk di sebelah gue."

Damian sialan! umpat Savara dalam hati. Queen dan Ratu adalah dua kata panggilan yang sangat ia benci. Savara sudah berniat pergi, tapi dengan cepat seseorang melompat ke arahnya.

"Mau ke mana?" Adrian merentangkan tangan menghalangi. Sedangkan teman sekelas Ardana yang lain malah tertawa, seolah apa yang mereka lihat sekarang adalah film bergenre humor yang baru tayang di bioskop.

Savara tidak mengerti, kenapa cowok seperti Adrian bisa memiliki prestasi di sekolah, bahkan menjadi anggota OSIS. Ia kira cowok dengan kelakuan minus tidak pantas mendapatkan semua itu.

"Bisa minggir gak? Jangan buat gue marah ya," ancam Savara membuat mereka bersorak karena berhasil memancing amarahnya.

"Makanya nanyi dulu, baru pergi." Ardana melirik ke arah Damian yang sedang memeluk gitar. "Mi, siap-siap dia mau nyanyi. Oh ya, lo mau nyanyi apa? Abang jago, Jaran Goyang atau-"

"Minggir!" Savara mengabaikan ucapan Ardana dan menatap tajam Adrian yang tak kunjung bergeser sedikit pun. Ia sempat melirik seseorang di sebelah Damian yang hanya melemparkan ringisan kecil, tak ketinggalan raut bersalahnya.

Damian mulai memetik gitarnya membuat yang lain bersorak, memintanya segera bernyanyi. Mungkin bagi mereka ini hanya candaan untuk menghibur penat di sekolah, tapi lain lagi untuk Savara.

Sudah tidak tahan lagi, Savara menginjak keras kaki Adrian yang hanya mengenakan kaos kaki. Cowok itu mengaduh disusul tawa teman-temannya. Sedangkan Savara segera pergi dengan berlari kecil. Bukan menuju kelas melainkan tempat lain. Savara tidak mungkin kembali dengan amarah di dadanya.

"Sialan!" umpat Savara dengan nafas menggembu. Ia kemudian menendang kaleng bekas cat yang ada di dekat kakinya hingga menimbulkan suara keras. Savara tidak peduli, ia hanya butuh melampiaskan amarahnya atau dirinya akan kembali ... sakit dengan memendam sendirian.

I'M (NOT) THE QUEEN ✔️Where stories live. Discover now