LIMA BELAS

23 3 0
                                    

Angin pagi berhembus begitu terasa dingin menusuk kulit, belum lagi AC yang masih dalam posisi menyala di dalam mobil membuat suhu semakin dingin saja. Ryan yang tertidur pulas dari semalam hingga pagi saat ini, akhirnya terbangun pada pukul 5 pagi. Kini ia terduduk sambil memeluk tubuhnya sendiri seraya menggigil. "L ... loh? K ... kok gue sendirian sih?" Tanyanya dengan suara khas orang yang kedinginan.

Setelah itu, Kepala Ryanpun menengok keluar dari kaca mobil. Begitu terkejutnya, karena ia berada di parkiran, dan yang pasti ini berada di rumahnya. Lalu ia melihat jam yang melingkar di tangannya. Dilihatnya, tepat pukul 4 pagi. "Woy! Gila apa? Jam 4? Gue semalaman tidur di mobil? Sumpah, ya! Papa tega banget." Dia pun membuka pintu mobil dan langsung keluar dari sana.

Kakinya berjalan menuju ke istana megahnya, sementara kedua tangannya tak lepas dari memeluk badannya sendiri. Ia hendak membuka pintu rumah, namun sayangnya pintunya terkunci. Ryan menghembuskan napas kesal seraya memutar bola matanya malas. Tak ingin menunggu lebih lama lagi, ia meraih ponsel di saku celananya, hendak memanggil telepon rumah. Dugaannya, para pembantu di rumah pasti sudah bangun, lalu salah satu dari mereka akan mengangkatnya dan Ryan bisa menyuruh mereka membukakan pintunya. Pintu terbuka lebar, Ryan masuk lalu menuju ke kamarnya, siap untuk bermalas-malasan ria. Ah, indahnya sebuah rencana.

Akan tetapi, sebelum ia berhasil menyambungkan panggilannya ke telepon rumah, pintu terbuka. Dari situ, nampak seorang lelaki berpakaian rapi, lengkap dengan kopiah hitamnya dan juga mengenakan sarung. Oh, salah! Rupanya ada 2 orang laki-laki. Sudah bisa ditebak mereka siapa bukan? Yap, itu adalah Danang bersama dengan asisten pribadinya, Joko.

"Loh, Ryan? Baguslah, kamu sudah bangun," kata Danang sembari membenarkan kopiahnya. "Sudah benar belum, Jok?" Tanya Danang dengan menengok ke arah Joko.

"Sudah, Pak Bos. Guanteng banget pokoknya!" seru Joko memuji dengan mengangkat jempol kanannya.

"Pa? Kok tega banget biarin aku tidur di mobil. Dingin tahu, Pa. Mana badan jadi pegel-pegel pula," keluh Ryan seraya memegangi punggungnya.

"Siapa yang suruh dibangunin beberapa kali gak bergerak sama sekali? Ya, Papa sama Joko tinggalinlah."

"Ya udahlah, Pa. Ryan mau tidur dulu," Ryan melangkahkan kakinya, berniat masuk ke dalam rumah. Namun Danang mencegahnya dengan mencengkal tangan Ryan. Hal itu membuat Ryan menengok ke arah Danang yang kini berada di sampingnya. "Kenapa, Pa?"

Raut wajah Danang seketika itu, berubah menjadi lebih serius. "Jangan tidur! Cuci muka kamu, minta sama Bi Surti suruh ambilin sajadah. Kita berangkat ke Masjid, siap-siap buat shalat subuh."

Ryan hanya memasang tampang melongo. Ia tak tahu bagaimana harus menjawabnya, atau lebih tepatnya, menolaknya.

"Pak Bos, bukannya wudhu, ya? Kok disuruh cuci muka toh, Pak?" bisik Joko yang masih bisa terdengar oleh Ryan.

"Kalau saya suruh dia wudhu sekarang, nanti di jalan dia tidur lagi, harus wudhu lagi. Toh, apa anak ini bisa wudhu?" Danang menjawab pertanyaan Joko dengan suara yang lebih dipertegas. "Nanti dia wudhu di Masjid, biar bisa lihat cara orang wudhu bagaimana." Lanjut Danang lagi.

"Lah niatnya gimana, Pak Bos?" tanya Joko lagi.

Danang memutar kepalanya, menengok ke arah Joko. Menandakan bahwa ia tidak perlu banyak bertanya. "Oh, paham, Pak. Oke, oke."

"Sudah cepat sana!" perintah Danang final, tak bisa diganggu gugat.

Ryan hanya bisa pasrah, berjalan malas ke dalam kamarnya. Ah, sebuah rencana itu memang indah, bukan? Setidaknya, ia sudah bahagia dalam khayalannya tadi.

Beberapa menit menunggu, akhirnya Ryan kembali dengan memakai kopiah dan sarung, tak lupa juga ia membawa sajadah. Tentu saja semuanya masih baru, Danang sendiri yang sudah mempersiapkan semuanya untuk Ryan pakai. "Udah, Pa." Ucap Ryan setelah berada di samping sang Ayah.

Danang memperhatikan dari atas sampai bawah. "Wah, anak Papa ganteng juga kalau begini, ya! Mirip santri. Ternyata kamu bisa, Yan, pakai sarung?"

"Minta tolong Mang Ujang tadi, Pa," jawab Ryan tak begitu semangat. Ah iya, Mang Ujang adalah tukang kebun yang ada di rumah ini. Tak penting, tapi kalian perlu tahu.

"Oh, Mang Ujang," kata Danang manggut-manggut. "Ya udah, ayo! Nanti kalau wudhu, sarungnya diangkat yang tinggi, Yan, biar gak basah."

"Hmm."

Mereka bertiga langsung menaiki mobil yang baru saja tadi merangkap menjadi kamar darurat untuk Ryan. Seperti biasa, Jokolah yang akan bertindak sebagai sopir dengan Danang yang ada di sampingnya dan Ryan di belakang.

******

Dilain pihak, suara lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an menggema di sebuah ruangan. Merdunya suara begitu menyejukkan hati. Sebuah perubahan yang begitu signifikan bagi seorang gadis yang baru saja memutuskan berhijrah semenjak lulus dari bangku SMA. Keputusannya yang dulu karena mengikuti perintah orang-tuanya, kini sudah benar-benar ikhlas karena Allah Ta'ala.

Beberapa saat kemudian, adzan berkumandang. Gadis itu yang pastinya bernama Azkia Khanna Candriana menghentikan bacaannya. Fokus mendengarkan kumandang adzan. Sembari memeluk Kitab, ia menjawab setiap lantunan adzannya. Dengan mata terpejam, sesuatu begitu saja terlintas dalam pikirannya. Suatu hal yang bahagia, lalu mendadak hilang. Raib tak tersisa. Membingungkan. Azkia kehilangan fokus, ia mengerjapkan matanya. Berulang kali mengulang istigfar.

Dadanya terasa sesak bukan karena sakit. Tetapi sesuatu yang baru saja terlintas dalam pikirannya secara tiba-tiba, membuat ia harus memutar otaknya. Apa yang terjadi? Siapa mereka? Dan, bagaimana hal itu bisa masuk dengan bebas ke dalam pikirannya? Tak ingin berlelah pikir, Azkia memutuskan untuk kembali mengambil air wudhu. Walaupun ia belum batal, tetapi setidaknya dengan air wudhu mungkin saja bisa membuatnya lebih tenang kembali.

******

To Be Continued!

Hijrah Cinta [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang