06

106 27 9
                                    

Waktu terus berjalan bahkan ketika kita tidak melakukan apa-apa. Well, bukan tidak melakukan apapun secara harfiah. Tapi, ketika kita melakukan banyak hal yang tidak berguna. Jadi... sebenarnya apa? Hah, ketidakkonsistenan perkataanku cukup sampai sini saja.

Intinya, aku sampai tidak sadar betapa singkatnya waktu ketika aku sibuk. Nyaris segalanya membuat tulang-tulangku rasanya akan remuk. Pusing, gerah, rindu kasur.

"Apaan katanya gak bakal ngajak gue nyebat," sewot Calvin ketika aku tiba-tiba menghubunginya.

"Eh, aku gak minta kamu dateng ya. Cuma bilang aku mau ngerokok aja," ujarku, denial.

"Gak sayang paru-paru ya lo?" tanyanya  sambil lalu, memperhatikanku menghembuskan asap penuh racun itu.

"Ngaca coba, Mas," timpalku.

"Keputusan lo sih. Gak berhak gue ngatur-ngatur," ia mengutarakan hal tersebut sembari melakukan urusannya, entah apa, di laptopnya.

"Kayaknya kalau cukainya naik lagi, aku bakalan berhenti sih, hahaha," gelakku tak lucu.

Calvin tidak tertawa, ia malah menatapku tajam. Yah, ini kebiasaannya sih, jadi aku tidak terlalu peduli. Aku sendiri bukan manusia tukang peduli akan hal seperti itu. Urusanku sudah banyak.

"Kenapa?" tanyaku akhirnya.

"Gak. Lo gak kesurupan, 'kan?" ia bertanya, mengalihkan pandangannya dariku ke laptopnya.

"Apaan sih?"

"Gak ada yang lucu. Ketawa mulu lo,"

Aku memutar bola mataku. "Penting amat sampai harus ditatap tajam gitu?"

"Ye itu mah emang mata gue," sewotnya. Pandangannya kembali ke layar laptop mahalnya itu.

"Ngerjain apa sih?" tanyaku, akhirnya penasaran. Aku menghampirinya, mencondongkan tubuhku ke arahnya untuk mendapatkan view yang cukup jelas ke layar laptopnya.

"Paper, biasa. Tugas tiap hari ada aja," balas Calvin. "Omong-omong, gimana progres skripsi lo?"

"Ya gitulah. Doain aja biar cepet-cepet selesai. Muak banget, serius," jawabku santai. "Tesismu, gimana?"

Yang aku tahu setelahnya, Calvin mengusak rambutku, mengacaknya. "Masih lama anjing,"

"Iyedah Pak,"

"Anyway, gue udah cerita belum soal Anisa?" tanyanya.

Hatiku mencelos. "Udah. Kenapa?" tanyaku agak memaksakan nada biasa saja.

"Doain ya,"

"Biar cepet jadian?" tanyaku, menyenderkan tangan ke teralis pembatas antara rooftop dan udara kosong.

"Ya... gitulah,"

"Usaha dong. Kalau cuma doa udah bisa, semua orang gak ada yang jomblo kali," ujarku. Mataku mengerjap ketika angin dingin menerpa wajahku.

"Ya menurut Anda, kemarin-kemarin itu saya ngapain?" tanyanya yang kujawab dengan kedikan bahu. Aku sungguh tidak tahu ada apa dengan diriku.

"Jangan-jangan lo suka ya sama gue?"

Pertanyaan itu terdengar seperti pertanda adanya badai. Karena untuk pertama kalinya aku menyadari. Mungkin saja memang benar aku menyukainya. Tapi, apa alasannya?

Jeda agak lama. Aku memandangi bulan, sedari tadi aku sudah menginjak rokok yang baru seperempat kuisap.

"Fan?"

"Enggak. Darimana kamu bisa narik kesimpulan aku suka sama kamu?" tanyaku mencoba tenang. Mungkin ia mendengar getar suaraku, mungkin tidak.

Perasaan sialan tak terundang ini.

"Lo gak pernah suka kalau gue bahas soal dia," jawabnya.

Aku menggeleng. "Aku cuma gak suka ngomongin orang lain," sangkalku. Selama ini, sejak kecil, aku memang jarang membicaraka orang lain. Mungkin pernah, tapi kebanyakan soal apa yang baik saja dan yang mengundang tawa.

"Tapi--"

"Emangnya kalau aku gak suka kamu ngomongin dia terus aku suka kamu gitu? Oke taruhlah itu udah bener aku gak suka ngomongin Anisa. Tapi, bukannya pernyataan kalau aku begitu maka aku suka sama kamu itu cuma premis yang berdasarkan asumsimu aja?"

Calvin terdiam, ia tahu aku sedikit emosi. "Iya iya, sori. Gak mikir gitu lagi dah gue. Traumatis," balasnya dramatis, mencoba mencairkan suasana.

Aku menghela napas. "Gabung aja deh aku, mau ngerjain skripsi,"

"Mau ngopi gak?" tanyanya, membereskan benda-benda di atas ruang meja yang tersisa.

"Kasihan Adit, dah tidur kali," jawabku, menyalakan laptop. "Tar aku nanya-nanya ya kalau perlu,"

Ia mengangguk. "Masih telfonan dia sama bininya. Lagian, lo kan juga bisa bikinnya,"

"Males banget,"

"Halah, yaudah," kesalnya. Aku tertawa karena tahu Calvinlah yang sebenarnya ingin meminum kopi.

Aku berdiri. "Sekalian wafernya gak? Gratisan dari aku," tawarku.

"Tsundere abis lo kaya Ino," komentarnya terhadap kelakuanku yang tiba-tiba mengiyakan permintaannya setelah sebelumnya sok-sokan menolak. "Boleh deh,"

"Hes, sopo neh kui? Aku turun dulu," (Siapa lagi itu)

Seraya nenuruni tangga, aku menyusun (hampir) semua kemungkinan soal mengapa aku (bisa jadi benar) menyukai seorang Calvin Antares. Mungkin aku terlalu kesepian sampai-sampai aku menyukai teman dekatku sendiri. Teman dekat ya? Aku bahkan tidak tahu. Pertemuan kami jarang, namun sekali bertemu kami bisa mengobrol sampai subuh. Itu sih karena memang aku selesai shift malam pukul satu. Lalu, tidak ada yang spesial dari pertemuan kami. Obrolan juga seputar kota, rumah, pengalaman masa kecil, soal hukum, kuliner, dan ya itu-itu saja. Bahkan kadang hening dengan kepulan asap saja. Itupun ketika aku sedang lelah sekali.

Kemudian apa? Apa yang membuatku menyukainya?

Hanya satu tebakan asal yang terbayang di dalam kepalaku selama aku berjalan mendekati mesin espresso. Seketika aku merasa bersalah.

Dulu, bahkan sebenarnya sekarang masih, aku pernah berujar bahwa uang adalah prioritas utamaku. Dan aku takut.

Apakah aku hanya memanfaatkannya saja?

─────

notes :

hai, ketemu lagi (gak ada yg nunggu ok)

jaga kesehatan ya (siapapun kamu, di manapun kamu, dan kapanpun itu saat kamu baca ini). it's been a while buat aku mengunjungi wattpad karena i'm a lil busy these days, im so sorry guys (ga ada yg baca woi)

have a nice day, afternoon, evening, night, terserah :" LUV U!

i. get back toTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang